Senin, 07 Mei 2012

Mendesak Revisi UU Pemasyarakatan


Jurnal Nasional | Rabu, 25 Apr 2012
Muh KhamdanPeneliti Paradigma Institute dan Fungsional Widyaiswara Kementerian Hukum dan HAM



PERDEBATAN sengit atas tindakan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana, yang memunculkan kontroversi di banyak kalangan dalam melakukan sidak ke lapas Pekanbaru untuk membongkar sindikat narkotika, dengan adanya “dramatisasi‘ penamparan jelas menjadi isyarat mendesaknya revisi UU Pemasyarakatan. Keterdesakan tersebut seiring selalu munculnya polemik menyangkut kebijakan atas sistem pemasyarakatan Indonesia.

Tentu masih berkembang betapa sengitnya “pengadilan publik‘ atas semangat pemberantasan korupsi yang dibuat Kementerian Hukum dan HAM melalui pengetatan remisi bagi koruptor. Bagaimanapun, perlawanan atas koruptor harus dilandasi dengan keberadaan peraturan yang kuat. Bahkan, karena sifatnya yang khusus maka perlawanan atas korupsi seharusnya dapat menabrak undang-undang guna melawan extra ordinary crime pidana korupsi.

Opini publik yang berkepanjangan juga sempat terjadi ketika Wamenkumham memergoki praktik kunjungan di luar jam pada Rutan Cipinang. Menjadi penting dengan kasus terungkapnya kunjungan anggota DPR, M Nasir ke sel tersangka kasus Wisma Atlet, M. Nazaruddin di Rutan Cipinang sebagai pintu awal pembenahan sistem pemasyarakatan Indonesia. Pengingkaran dan pengabaian atas prosedur tetap (Protap) dan standar operasional prosedur (SOP) oleh petugas pemasyarakatan mengindikasikan adanya penyimpangan sistemik yang bisa berimplikasi pada penyimpangan-penyimpangan permanen.

Fakta itu tentu harus disadari bahwa jaringan kriminalitas dari balik penjara bisa muncul berdasarkan tipe-tipe situasi yang berbeda, yaitu dari tekanan individu sendiri, tekanan antarpribadi, tekanan antarkelompok, dan adanya konflik antarorgan masyarakat yang tidak mampu atau sengaja tidak mau menampung dalam relasi kehidupan sosial. Karena itu, adanya penyimpangan dalam tingkatan tertentu tidak boleh dibiarkan berlarut-larut tanpa penyelesaian dari situasi hulu yang satu menuju situasi hilir lainnya. Sebab, kriminalitas adalah perwujudan dari tidak teratasinya pertentangan antara dua orang atau kelompok yang sedang memperebutkan kepentingan untuk eksis dan hidup normal.

Lembaga pemasyarakatan yang di dalamnya terdiri atas Lapas, Rumah Tahanan (Rutan), Balai Pemasyarakatan (Bapas), dan Rumah Penyimpanan Barang Sitaan (Rupbasan), selalu menghadirkan dunia yang penuh kecurigaan di masyarakat. Tentu, kecurigaan demikian semakin mendapatkan penguatan dari rentetan kasus yang terjadi di seputar dunia pemasyarakatan, dari kunjungan di luar jam kunjung, sel istana, joki narapidana, transaksi narkoba, dan negosiasi kepentingan-kepentingan berdalih hak narapidana seperti remisi atau pembebasan bersyarat.

Kecurigaan yang muncul di kalangan masyarakat selama ini jelas sebagai akibat belum tuntasnya pembenahan terhadap lembaga pemasyarakatan yang dipicu sebagai “markas perkara hukum‘. Hakikat lembaga pemasyarakatan sebagai institusi pembina masyarakat yang bermasalah dengan hukum belum mampu menjadi medan pembinaan yang sesungguhnya.

Supremasi dan kedaulatan lembaga pemasyarakatan dikhawatirkan benar-benar terancam oleh suatu permainan kepentingan. Sangat disayangkan dunia lembaga pemasyarakatan hanya memiliki petugas lulusan SMA, namun menghadapi narapidana koruptor yang lebih tinggi tingkat pendidikan, keterampilan, dan kekayaannya. Juga, lembaga pemasyarakatan hanya memiliki petugas yang kurang memahami keterampilan beragama, namun menghadapi problem pembinaan terhadap narapidana terorisme.
Persoalan yang merisaukan tersebut harus menjadi momentum bagi semua kalangan untuk mengembalikan sakralitas dunia pemasyarakatan sebagai institusi penyadaran dan pembinaan. Para politisi mestinya menyadari bahwa hakikat dunia pemasyarakatan adalah seni untuk menciptakan insan yang mampu kembali baik bagi masyarakat untuk ikut membangun bangsa. Rutan misalnya, selain melaksanakan tugas perawatan dan pelayanan, juga memiliki kewenangan hukum untuk melindungi harkat dan martabat tahanan.
Demikian pula halnya dengan Lapas yang mengupayakan seoptimal mungkin pemidanaan yang memanusiakan manusia, serta adanya Balai Pemasyarakatan (Bapas) yang mengupayakan pertimbangan-pertimbangan proporsional bagi anak yang berhadapan dengan hukum di pengadilan. Satu unit lain yang penting perannya adalah Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan) yang berfungsi menjaga bukti dan barang sitaan agar tidak disalahgunakan.

Dengan demikian, jika praktik lembaga pemasyarakatan justru menjadi kotor dengan saling mengawal kepentingan, bahkan menjadi kelam dengan perilaku-perilaku transaksional yang saling menguntungkan dalam lingkaran kejahatan, tentu semakin memperjelas terjadinya pergeseran makna. Di sinilah penting untuk mengawal kembali keanekaragaman lembaga pemasyarakatan berdasarkan tingkat dan jenis penyimpangan hukum yang terjadi.

Problem mendasar tersebut kiranya memaksa harus dibangunnya LP khusus, baik diperuntukkan bagi koruptor, teroris, dan lainnya. Hal demikian sebagai penyeimbang menyangkut kontrol keamanan atau prosedur operasional pemasyarakatan dalam menghadapi karakteristik narapidana. Dalam kasus kunjungan atas Nazar oleh kakaknya, petugas mungkin dibingungkan oleh kontrol kebijakan selama ini, mengingat beredarnya kartu khusus yang dimiliki anggota Komisi III DPR RI untuk leluasa mendapatkan akses di lingkungan lembaga pemasyarakatan.

Dalam kasus menghadapi narapidana teroris sebagai kasus lain, petugas sering kecolongan dalam prosedur pembinaan atau bahkan memang tidak memiliki keterampilan melakukan pembinaan. Belum lagi realitas yang terjadi dalam menangani narapidana narkotika, standardmaximum security seperti tidak ada sinyal di area penjara dapat dilanggar atau memang tidak dijalankan sehingga handphone dapat leluasa mengisi sel-sel kamar penjara.

Dilihat dari sudut ini, sangat ironis jika langkah Wamenkumham dalam upaya membenahi sistem pemasyarakatan mendapatkan reaksi berlebihan, karena beban tanggungjawabnya sangat berkaitan dengan pembenahan lembaga pemasyarakatan. Terlebih yang menjadi tantangan adalah melakukan revisi UU Pemasyakatan sebagai regulasi untuk mereformasi kembali lembaga pemasyarakatan dan aturan-aturan turunannya sebagai kebijakan agar benar-benar mengembalikan ruh pemasyarakatan menjadi medan pembinaan narapidana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar