Senin, 07 Mei 2012

Ekoterorisme Menuju Pembangunan Hijau


Jurnal Nasional | Sabtu, 5 May 2012
Muh KhamdanPeneliti Paradigma Institute dan fungsional Widyaiswara Kementerian Hukum dan HAM


PERMINTAAN Presiden SBY yang pernah disampaikan agar memberangus mafia lingkungan terutama bidang kehutanan perlu mendapatkan dukungan dari semua kalangan, sebagaimana tekad membasmi tindak terorisme yang cukup berhasil melalui kiprah Detasemen Khusus 88 (Densus 88) dengan dukungan masyarakat.

Terorisme, selain dianggap sebagai fenomena sosial yang menyimpang, juga telah dianggap sebagai penyelewengan makna keagamaan. Untuk itulah, perlawanan terhadap pengrusakan lingkungan tentu dapat berjalan efektif dengan adanya pengembangan teologi berbasis lingkungan.

Saat ini, pengrusakan lingkungan yang terjadi di Indonesia sudah mengalami titik kulminasi yang mengkhawatirkan. Permainan kekuatan serta kekuasaan menggiring pelaku merasakan kondisi yang aman karena hukuman yang diberikan terbilang sangat ringan. Padahal, dapat dibilang bahwa akibat yang ditimbulkan dari tindak pengrusakan lingkungan jauh lebih besar daripada tindak terorisme bahkan berdampak sistemik.

Perang terhadap terorisme (war on terror) sesungguhnya berkumandang sejak "tragedi 11 September" yang telah dijadikan genderang awal oleh Amerika. Semua negara kemudian latah mengikuti tanpa melihat serius dimensi perang di dalamnya, yang secara tidak langsung membenarkan adanya hubungan konsep teologi dan tindak kekerasan. Tak urung, berbagai forum ilmiah digelar untuk menandaskan bahwa tidak ada terorisme berbasis agama.

Namun tema-tema tentang terorisme kemudian terkubur dengan isu teror lingkungan sejak Nobel perdamaian diberikan kepada Albert Gore dan Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) atas usahanya menyebarluaskan pengetahuan mengenai perubahan iklim yang disebabkan perbuatan manusia. Hal ini menunjukkan bahwa tantangan masa depan bukan konflik antarmanusia, tetapi konflik menghadapi lingkungan yang berubah ekstrem sekaligus memberikan dampak sistemik.

Sebagaimana teroris yang menyebarkan ketakutan, perusak lingkungan juga sama posisinya dengan seorang teroris karena memberikan dampak kerusakan dan kerugian yang tak terbantahkan dan sangat mengerikan. Banjir besar yang pernah menggenangi Jakarta dan daerah lain di hampir seluruh wilayah Indonesia setidaknya menjadi contoh tentang dampak yang lebih besar daripada pengeboman-pengeboman oleh pelaku terorisme yang hanya menimpa area lokal tertentu.

Kerusakan ekologis yang disebabkan tindak keserakahan tersebut tidak dapat dilihat sebagai kerusakan struktur fisik alam, tetapi harus dilihat sebagai kerusakan kompleks. Sebagaimana Felix Guattari dalam The Three Ecologies (2000) mengatakan bahwa terdapat tiga teror lingkungan yang saling berkaitan. Yaitu, kerusakan ekologi lingkungan (environment ecology)berupa kerusakan lingkungan fisik dan habitat di dalamnya, kerusakan ekologi mental (mental ecology) berupa kerusakan mental yang membangun psikis manusia, serta kerusakan ekologi sosial (social ecology) berupa kehancuran kesatuan sosial yang membangun sebuah lingkungan sosial.

Kerugian yang ditimbulkan dengan meledaknya bom di beberapa tempat, jelas hanya menimpa area lokal dan orang yang berada di tempat kejadian. Beda dengan krisis lingkungan yang ditimbulkan para perusak alam. Banjir yang merendam Jakarta setidaknya melumpuhkan sendi-sendi perekonomian secara luas, mulai dari terganggunya jadwal penerbangan, terputusnya jalur arteri kota sehingga melumpuhkan transportasi masyarakat, kerusakan kendaraan, belum lagi rumah beserta harta bendanya. Tak hanya itu, bencana banjir juga memberikan beban psikologis yang teramat luas.

Seperti ditunjukkan kasus-kasus bencana yang terjadi selama ini, benar-benar tak ada anggapan bahwa merusak lingkungan lebih kejam daripada terorisme, padahal telah menghancurkan mental sekaligus kesatuan sosial masyarakat. Dari sini ada hal yang perlu dicatat. Bencana sebagai akibat krisis lingkungan dianggap gejala umum yang sudah menjadi takdir Tuhan tanpa mempedulikan akar masalahnya.

Sallie McFague, teolog ekofeminis Amerika Serikat mengungkapkan kegagalan teologi dalam menanggapi krisis lingkungan. McFague menggambarkan fase-fase pergeseran agenda teologi abad ke-20 yang dikategorikan dalam era pengenalan terhadap Tuhan yang berlangsung hingga 1960-an. Kategorisasi selanjutnya mengarah pada kemunculan teologi pembebasan pada 1970-an yang kemudian berkembang menawarkan pembebasan dunia dalam aspek penyelamatan ciptaan-ciptaan Tuhan. Untuk itulah, pengrusakan lingkungan harus masuk dalam agenda teologi dan perlawanannya disebut sebagai ekoterorisme terhadap teologi itu sendiri.

Di sini kita perlu menilik model-model pendekatan dan etika terhadap lingkungan. Seperti ditulis J Baird Callicott dalam Agama, Filsafat, dan Lingkungan Hidup (2003). Di antara pendekatan yang memiliki pengaruh paling besar dalam pengrusakan lingkungan adalah paradigma antroposentrisme, yaitu terkait penciptaan manusia sebagai penguasa di bumi yang berhak mengeksploitasi alam demi kepentingannya.

Ekoterorisme pada akhirnya harus mampu menjadi paradigma bersama sebagai refleksi dari kian memburuknya hubungan manusia dengan alam. Hal ini karena telah berkembang etika antroposentrisme terlebih dahulu dalam penafsiran-penafsiran diciptakannya manusia di bumi. Sebuah pandangan tentang etika yang mendewakan hasrat manusia atas alam. Akibatnya, beragam kerusakan ekosistem yang disebabkan hipereksplorasi sumber daya alam, hiperkomodifikasi mesin produksi, dan hiperkonsumsi produk untuk memenuhi selera konsumtif semakin tak terkendali.

Tentu, krisis lingkungan akan mudah teratasi jika pelaku perusakan lingkungan dan akibat kerusakannya disamakan dengan aksi terorisme karena keduanya sama-sama mengancam kehidupan manusia. Karenanya, upaya Kementerian Negara Lingkungan Hidup yang pernah merencanakan untuk mencetak hakim-hakim spesialis lingkungan bersertifikat mendesak dilakukan untuk mendukung program ekonomi hijau sebagai satu-satunya jalan menuju pembangunan berkelanjutan.

Gagasan melahirkan "Hakim Hijau" menjadi gerakan ideal untuk meneguhkan supremasi lingkungan yang selama ini terdiskriminasikan dalam ranah hukum. Terlebih hukuman bagi pelaku perusakan lingkungan masih dinilai sangat ringan. Padahal, dampak kerusakan lingkungan lebih besar daripada kerusakan akibat terorisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar