Jumat, 28 November 2014

UU ITE dan Supremasi Moral




Prita Mulyasari harus berhadapan dengan pengadilan, setelah putusan sela Pengadilan Negeri (PN) Tangerang yang membebaskannya dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi (PT) Banten. Ibu dengan dua putra ini oleh Kejaksaan Negeri Tangerang dijerat dengan pasal 45 jo pasal 27 (3) UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ((UU ITE). UU yang semestinya memberi angin segar bagi pengguna teknologi informasi dan komunikasi elektronik, sebaliknya menjadi UU yang menakutkan karena mengancam kebebasan dengan jerat kejahatan elektronik berupa pencemaran nama baik.
 Dari sinilah prahara hukum itu terjadi karena delik pencemaran nama baik jelas menjadi senjata ampuh yang dapat membungkam demokrasi berpendapat. Prita menjadi tersangka pencemaran nama baik yang dituduhkan RS OMNI Internasional Hospital Alam Sutera Tangerang, setelah menulis keluhan pelayanan RS OMNI terhadap dirinya melalui internet.
Majelis hakim PN Tangerang pada 25 Juni lalu telah mengabulkan eksepsi (keberatan) terdakwa pencemaran nama baik RS Omni International, Prita dan menolak semua dakwaan jaksa penuntut umum (JPU). Menurut ketua majelis, Hakim Tuppu, surat dakwaan JPU batal demi hukum dengan alasan tidak memenuhi syarat sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 143 ayat 2 huruf b KUHAP. Tidak terima putusan tersebut, JPU langsung melakukan perlawanan (verzet) atas putusan itu dan oleh Pengadilan Tinggi Banten putusan PN Tangerang dibatalkan, sehingga secara otomatis dakwaan Prita yang terdahulu dianggap sah. Dari sinilah dapat dibedakan posisi antara supremasi prosedural dengan supremasi moral di dalam proses hukum.
UU ITE yang diundangkan pada 21 April 2008 sebagai cyber law pertama di Indonesia, merupakan bentuk perlindungan kepada seluruh masyarakat dalam dalam rangka menjamin kepastian hukum, khususnya berkenaan dengan maraknya kegiatan berbasis elektronik. Materi yang diatur dalam UU ini adalah hal baru dalam sistem hukum Indonesia, seperti penyelesaian sengketa, perlindungan data, pengakuan transaksi dan alat bukti elektronik semacam e-banking, e-commerce, atau e-buy, dan nama domain atas Hak Kekayaan Intelektual. Dari alasan di atas, keberadaan UU ITE diharapkan mampu memberikan dasar hukum bagi transaksi elektronik agar timbul keteraturan sosial yang memudahkan masyarakat saling bertransaksi.
Posisi UU ITE adalah wujud apresiasi dalam menyikapi konvergensi di bidang telekomunikasi dan informatika (telematika) yang memiliki implikasi luas di tengah masyarakat dan berpotensi melakukan kejahatan pada permasalahan hukum. Persoalan ini perlu difahami ketika misalnya terdapat pengubahan data elektronik tertentu melalui penyadapan, pemalsuan, dan publikasi yang tidak sebenarnya. Maka keberadaan 13 bab dan 54 pasal pada UU ITE sesungguhnya cukup komprehensif dan mengakomodasi semua hal tentang dunia siber, bahkan menyangkut berbagai aspek hukum, seperti hukum transnasional, hukum perdata, hukum administrasi, dan hukum pidana.
Secara kebetulan, kejadian yang menimpa Prita Mulyasari menjadi gerbang sosialisasi gratis dalam ranah hukum pidana dan perdata pada UU ITE tersebut. Masalah meyangkut dengan hak asasi manusia dalam menyampaikan pendapat dan ketentuan sanksi pidana yang berlebihan sekaligus memberatkan karena implementasi peraturan harus memberikan keadilan bagi masyarakat. Oleh sirkumstansi, keterbatasan, dan intensitas waktu yang kurang, maka membawa interpretasi hukum yang subjektif terutama menyangkut pencemaran nama baik di dalam UU ITE tersebut.
Perlu disosialisasikan kembali bahwa di dalam UU ITE setidaknya mengatur dua domain permasalahan. Pertama, adanya pengakuan transaksi elektronik dan dokumen elektronik dalam kerangka pembuktian hukum. Kedua, adanya pengklasifikasian tindakan-tindakan yang tergolong pelanggaran hukum dalam penyalahgunaan teknologi informasi. Di antaranya yang masuk dalam klasifikasi ini adalah pembobolan informasi rahasia, penipuan, persaingan bisnis yang curang, dan hacking. Sementara itu pencemaran nama baik yang mengancam kemerdekaan berpendapat, sejak awal dalam rumusan RUU pada tahun 2003 itu, sudah mendapatkan perlawanan dan gagal untuk uji materiil di Mahkamah Konstitusi. Ibaratnya, supremasi moral telah dikalahkan oleh supremasi prosedural sehingga keputusan yang salah melalui prosedur yang benar maka sulit untuk digugat.
Setidaknya pasal 27, 28, dan pasal 29 pada Bab VII memiliki implikasi pada pelanggaran hak asasi manusia karena membelenggu kebebasan masyarakat untuk memperoleh dan menyampaikan informasi yang secara konstitusional dijamin oleh pasal 28F UUD 1945. Pasal-pasal tersebut tetap bertahan karena mengacu pada perlunya batas dan rambu-rambu dalam kebebasan berpendapat di masyarakat, kendati dalam pasal 310 KUHP juga sudah mengatur adanya batasan kebebasan berpendapat yang tidak mencemarkan nama baik pihak lain. Masuk akal memang perlunya rambu-rambu kemerdekaan berpendapat, tetapi kenyataan menunjukkan konsekuensi berbeda sebagaimana dialami Prita Mulyasari yang harus kembali berhadapan dengan pengadilan karena campur aduknya delik materiil pada aturan-aturan yang ada.
Penulis politik Perancis, Alexis de Tocquelle pernah menyebut bahwa kebebasan informasi di tengah masyarakat adalah sebagai oksigen demokrasi. Pernyataan ini jadi sangat hiperbolis, namun dalam kenyataannya hal tersebut mendapatkan pembenaran bahwa di semua rezim-rezim pemerintahan yang diktator akan beriring dengan pemenggalan kebebasan informasi. Di samping rezim pemerintahan, kalangan pemodal atau berduit juga selalu merampas hak-hak masyarakat atas informasi dan berpendapat dengan dalih pencemaran nama baik. Untuk itulah akhirnya demokrasi mengalami “sesak nafas” perjalanannya.
Thomas Friedman, kolumnis luar negeri untuk The New York Times, dalam bukunya The Lexus and the Olive Tree membedakan tiga macam demokratisasi, yaitu teknologi, informasi, dan keuangan. Di balik ketiganya itu, revolusi teknologi memainkan peranan penting dalam hal peningkatan kapasitas masyarakat mengakses dan mendapatkan informasi yang luar biasa. Adalah benar dan tepat hadirnya era sibernetika merupakan wujud peradaban terakhir sebagaimana diuraikan oleh Alvin Toffler yang membagi tahapan umat manusia dalam tiga gelombang, berupa era agraris, era industri, dan era informasi yang akhirnya menciptakan global village.
Dengan latar belakang itu, “tempora mutantur, nos et mutamur in Illis” yang berarti zaman berubah membuat masyarakat juga berubah bersamanya. Kekecewaan dan kebingungan yang dipicu dari subjektivitas pasal dalam UU ITE menegaskan bahwa persoalan itu perlu diajukan kembali ke Mahkamah Konstitusi untuk diuji materiil, terlebih pasal-pasal tentang pencemaran nama baik yang sudah tidak relevan di masa sekarang. Adalah hak pemerintah dan DPR memberlakukan UU dan peraturan yang dibuatnya, tetapi adalah hak masyarakat juga untuk ikut mengawal perbaikan dan pelaksanaannya.
Apa yang dilakukan Prita lebih lanjut ternaungi dalam pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) PBB yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk berpendapat dan mengeluarkan ekspresinya serta mencari, menerima, dan menyebarkan informasi atau ide gagasan. Dengan berpedoman pada deklarasi tersebut, informasi adalah milik masyarakat dan hal yang mampu mengawal demokrasi untuk tetap hidup karena akan menciptakan iklim pelayanan publik yang lebih terbuka dan transparan, sehingga mematikan upaya pembodohan massal serta pemiskinan struktural sistemik.


Muh. Khamdan, Harian Suara Merdeka, 11 Agustus 2009

Runtuhnya Moralitas Hukum


Masyarakat baru saja melihat kejadian hukum yang merusak moralitas sehingga berkembang persepsi bahwa kini sudah tidak ada lagi keadilan di lembaga penegak hukum. Pertama, putusan hakim terhadap Minah (55) yang diganjar 1 bulan 15 hari penjara dengan masa percobaan 3 bulan atas dakwaan pencurian 3 buah kakao di perkebunan milik PT Rumpun Sari Antan (RSA), Banyumas.
Belum hilang keheranan publik, hukum juga memaksa Basar dan Kolil mendekam dalam LP Kelas A Kota Kediri karena mencuri sebutir semangka seharga Rp 5.000. Keterkejutan memuncak ketika hukum melalui PT Banten menuntut Prita Mulyasari mengganti kerugian material dan immaterial kepada RS Omni Rp 204 juta karena dakwaan pencemaran nama baik atas pelayanan buruk yang dikeluhkan melalui surat elektronik.
Terakhir, Manisih (40) dan tiga kerabatanya Rabu (10/12) menjalani persidangan di PN Batang atas sangkaan mencuri 14 kilogram kapuk randu di perkebunan PT Segayung, Kecamatan Tulis, Batang. Sidang dilanjutkan Senin (14/12) ini, untuk mendengarkan eksepsi penasihat hukum terdakwa tersebut.
Kejadian-kejadian hukum itu pada akhirnya menimbulkan pengaruh sosial yang bermakna bagi masyarakat, lalu tak kalah penting untuk dipahami, kejadian hukum itu akan meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap pengadilan sebagai sumber keadilan. Mengapa kejadian ini berdampak pada pengadilan? Seberapa penting pengaruhnya?
Pengadilan adalah jantung hukum itu sendiri karena menjadi laboratorium bedah atas paket perundang-undangan, profesional hukum melaksanakan fungsi, produk keadilan, dan pertarungan antara moral dan kepentingan-kepentingan lain.
Untuk itulah berkembang adagium klasik di dunia hukum bahwa sebaik atau seburuk apapun teks perundang-undangan maka produk keadilan yang dihasilkan tetap tergantung pada sosok-sosok yang menjalankannya. Di sinilah pentingnya moralitas hukum yang harus dipegang oleh penguasa pengadilan.
Pernyataan itu dapat dikatakan suatu jawaban atas fenomena hilangnya keadilan di pengadilan adanya kasus Minah, Basar-Kolil, dan Prita Mulyasari. Di sisi lain, semuanya merupakan kelompok masyarakat kelas bawah sehingga menjadi bukti langsung bahwa hukum belum dapat dicerna oleh masyarakat awam.
Hukum dan moral sama-sama berkaitan dengan tingkah laku manusia agar selalu baik, namun positivisme hukum yang murni justru tidak memberikan kepastian hukum. Itulah sebabnya, hukuman terhadap Amir Mahmud, sopir di BNN hanya karena sebuah pil ekstasi justru dikenai hukuman 4 tahun oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat, sedangkan jaksa Ester dan Dara yang telah menggelapkan 343 butir ekstasi hanya divonis 1 tahun.
Hukum merupakan positivasi nilai moral yang berkaitan dengan kebenaran, keadilan, kesamaan derajat, kebebasan, tanggung jawab, dan hati nurani manusia. Hukum sebagai positivasi nilai moral adalah legitimasi karena adil bagi semua orang.
Tanpa moral, hukum tidak mengikat secara nalar karena moral mengutamakan pemahaman dan kesadaran subjek dalam mematuhi hukum. Hal ini sebagaimana diungkapkan K Bertens bahwa quid leges sine moribus yang memiliki arti apa gunanya undang-undang kalau tidak disertai moralitas.
Moral jelas menjadi senjata ampuh yang dapat membungkam kesewenangan hukum dan pertimbangan kepentingan lain dalam penegakan keadilan di pengadilan. Minah, manisih cs, Basar, dan Kolil secara substansi hukum memang melakukan pelanggaran berupa delik pencurian, namun secara moral mesti dipahami bahwa keadilan di tengah lalu lintas hukum modern adalah menekankan pada struktur rasional, prosedur, dan format.
Jika hal ini ditiadakan, maka akan menegaskan tulisan Harold Rothwax dalam buku Guilty- The Collapse of the Criminal Justice System bahwa masyarakat modern tidak lagi mencari keadilan tetapi mencari kemenangan dengan segala cara. Setidaknya hal demikian dapat terbaca dalam kasus Prita yang menjadi tersangka pencemaran nama baik Omni International Hospital Alam Sutera Tangerang. Prita dituduh setelah menulis keluhan pelayanan rumah sakit itu terhadap dirinya melalui internet.

Ranah Publik
Keluhan yang dikirim dalam email ke beberapa temannya semula merupakan ranah pribadi, tetapi kemudian surat elektronik tersebut masuk dalam mailing list sehingga menjadi ranah publik. Subjektivitas muncul karena dalam konteks tersebut, moralitas dalam pengadilan tidak membaca adanya Prita sebagai korban yang membutuhkan keadilan melainkan rumah sakit tersebut sebagai korban.
Menurut Thomas Aquinas dalam buku On the Book of Job, keadilan akan musnah dalam dua kemungkinan, yaitu karena sebuah kebijaksanaan yang tidak bijaksana atau karena perbuatan tidak terpuji dari seseorang yang memiliki kekuasaan atas pengadilan.
Masyarakat harus melakukan check and balances agar hukum benar-benar memiliki visi moral, yaitu mengutamakan kesamaan perlakuan di hadapan hukum tanpa ada diskriminasi, sedangkan profesional hukum harus melakukan lompatan penafsiran atas hukum positif.
Secara kebetulan, kejadian yang menimpa Minah, manisih cs, Basar, Kolil, dan Prita, sekaligus ketimpangan kasus antara Ester-Dara dan Amir Mahmud akan menjadi gerbang sosialisasi gratis untuk pembelajaran masyarakat dalam ranah hukum pidana dan perdata.
Perlu menyosialisasikan kembali tentang pentingnya pemahaman hukum dan kesadaran hukum yang berwawasan moralitas di masyarakat melalui dua domain pencapaian. Pertama, pengembangan atas desa sadar hukum. Kedua, adanya pendidikan hukum rakyat secara dini agar masyarakat mampu mengawal penegakan keadilan baik secara prosedural maupun moral.
Dalam kenyataan tersebut, kasus-kasus hukum itu adalah konflik antara hukum dan moral sehingga membawa kondisi pertarungan nilai-nilai keadilan yang harus dijunjung dalam pengadilan. Oleh karena itu prinsip epikea mesti dijunjung sebagai suatu interpretasi terhadap hukum positif bukan menurut naskah hukum melainkan menurut semangat keadilan moral kebatinan pemegang kuasa pengadilan. Epikea bermaksud mempertahankan esensi hukum yang bersifat intrinsik dan tidak tertulis, bukan dalih pengingkaran atas hukum yang berlaku.
Pasal 28D Ayat 1 UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil. Hasil amandemen ini memiliki misi agar tidak terjadi pembiaran penguasa pengadilan menjatuhkan vonis sesuai kepentingan tertentu, tetapi memiliki semangat berdasarkan pada keadilan.
Jelas bukan suatu keadilan kalau gara-gara pencurian semangka seharga Rp 5.000, negara harus menanggung biaya makan Basar dan Kolil di penjara yang jumlahnya lebih dari berlipat-lipat ganda. Bukankah putusan hakim justru merugikan negara?
Moral hukum berupa ”adil” ini menjadikan para hakim untuk terdorong menggali rasa keadilan substantif (substantive justice) daripada terbelenggu ketentuan UUU (procedural justice). Setidaknya hal tersebut telah menjadi dasar kepada semua hakim mengingat bahwa setiap putusan, hakim selalu menegaskan kalau putusan yang dibuat di pengadilan adalah ”demi keadilan berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”, bukan ”demi kepastian hukum berdasarkan Undang-Undang”. Karena itu, keadilan harus disikapi sesuai karakter masing-masing.
Masyarakat telah menyaksikan betapa simpang-siurnya keadaan hukum yang tidak memberi kepastian keadilan terutama pada masyarakat kelas bawah. Untuk itu profesional hukum harus menghargai nilai-nilai kemanusiaan dalam menegakkan hukum untuk menegakkan keadilan (fiat iustitia) dengan mengusakan kesesuaian antara kebenaran formal dan kebenaran material atau mengedepankan kebajikan dan kepatutan (prudence dan equity) agar keadilan di pengadilan tetap memiliki moralitas sehingga mendapatkan kepercayaan masyarakat.

Muh Khamdan / Harian Suara Merdeka, 14 Desember 2009

Selasa, 14 Oktober 2014

Qurban Ayam


KETIKA Umar, seorang santri senior, menjelaskan tentang bab Qurban, salah satu santri juniornya, Yahya memotong penjelasan dan bertanya. 
“Mas, kenapa kok berqurban hanya unta, sapi taau lembu dan kambing?” tanya Yahya.
Umar pun menjawab, “Ya, karena ada tuntunan dari Al-Qur’an dan Hadis, Ya…”
Kurang puas dengan  jawaban Umar. Yahya pun bertanya lagi, “Mengapa ayam tidak boleh?” 
“Karena unta, sapi dan kambing ada tuntunannya sedangkan ayam tidak ada tuntunannya,” tegas Umar.
Ternyata Yahya masih ngeyel, dan tanya lagi, “Lha iya kenapa tuntunannya begitu, Mas?” 
Umar pun menjawab, “Masa ayam dituntun...!!!”
Yahya pun terdiam, sambil menundukan kepala

Senin, 07 Mei 2012

Ekoterorisme Menuju Pembangunan Hijau


Jurnal Nasional | Sabtu, 5 May 2012
Muh KhamdanPeneliti Paradigma Institute dan fungsional Widyaiswara Kementerian Hukum dan HAM


PERMINTAAN Presiden SBY yang pernah disampaikan agar memberangus mafia lingkungan terutama bidang kehutanan perlu mendapatkan dukungan dari semua kalangan, sebagaimana tekad membasmi tindak terorisme yang cukup berhasil melalui kiprah Detasemen Khusus 88 (Densus 88) dengan dukungan masyarakat.

Terorisme, selain dianggap sebagai fenomena sosial yang menyimpang, juga telah dianggap sebagai penyelewengan makna keagamaan. Untuk itulah, perlawanan terhadap pengrusakan lingkungan tentu dapat berjalan efektif dengan adanya pengembangan teologi berbasis lingkungan.

Saat ini, pengrusakan lingkungan yang terjadi di Indonesia sudah mengalami titik kulminasi yang mengkhawatirkan. Permainan kekuatan serta kekuasaan menggiring pelaku merasakan kondisi yang aman karena hukuman yang diberikan terbilang sangat ringan. Padahal, dapat dibilang bahwa akibat yang ditimbulkan dari tindak pengrusakan lingkungan jauh lebih besar daripada tindak terorisme bahkan berdampak sistemik.

Perang terhadap terorisme (war on terror) sesungguhnya berkumandang sejak "tragedi 11 September" yang telah dijadikan genderang awal oleh Amerika. Semua negara kemudian latah mengikuti tanpa melihat serius dimensi perang di dalamnya, yang secara tidak langsung membenarkan adanya hubungan konsep teologi dan tindak kekerasan. Tak urung, berbagai forum ilmiah digelar untuk menandaskan bahwa tidak ada terorisme berbasis agama.

Namun tema-tema tentang terorisme kemudian terkubur dengan isu teror lingkungan sejak Nobel perdamaian diberikan kepada Albert Gore dan Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) atas usahanya menyebarluaskan pengetahuan mengenai perubahan iklim yang disebabkan perbuatan manusia. Hal ini menunjukkan bahwa tantangan masa depan bukan konflik antarmanusia, tetapi konflik menghadapi lingkungan yang berubah ekstrem sekaligus memberikan dampak sistemik.

Sebagaimana teroris yang menyebarkan ketakutan, perusak lingkungan juga sama posisinya dengan seorang teroris karena memberikan dampak kerusakan dan kerugian yang tak terbantahkan dan sangat mengerikan. Banjir besar yang pernah menggenangi Jakarta dan daerah lain di hampir seluruh wilayah Indonesia setidaknya menjadi contoh tentang dampak yang lebih besar daripada pengeboman-pengeboman oleh pelaku terorisme yang hanya menimpa area lokal tertentu.

Kerusakan ekologis yang disebabkan tindak keserakahan tersebut tidak dapat dilihat sebagai kerusakan struktur fisik alam, tetapi harus dilihat sebagai kerusakan kompleks. Sebagaimana Felix Guattari dalam The Three Ecologies (2000) mengatakan bahwa terdapat tiga teror lingkungan yang saling berkaitan. Yaitu, kerusakan ekologi lingkungan (environment ecology)berupa kerusakan lingkungan fisik dan habitat di dalamnya, kerusakan ekologi mental (mental ecology) berupa kerusakan mental yang membangun psikis manusia, serta kerusakan ekologi sosial (social ecology) berupa kehancuran kesatuan sosial yang membangun sebuah lingkungan sosial.

Kerugian yang ditimbulkan dengan meledaknya bom di beberapa tempat, jelas hanya menimpa area lokal dan orang yang berada di tempat kejadian. Beda dengan krisis lingkungan yang ditimbulkan para perusak alam. Banjir yang merendam Jakarta setidaknya melumpuhkan sendi-sendi perekonomian secara luas, mulai dari terganggunya jadwal penerbangan, terputusnya jalur arteri kota sehingga melumpuhkan transportasi masyarakat, kerusakan kendaraan, belum lagi rumah beserta harta bendanya. Tak hanya itu, bencana banjir juga memberikan beban psikologis yang teramat luas.

Seperti ditunjukkan kasus-kasus bencana yang terjadi selama ini, benar-benar tak ada anggapan bahwa merusak lingkungan lebih kejam daripada terorisme, padahal telah menghancurkan mental sekaligus kesatuan sosial masyarakat. Dari sini ada hal yang perlu dicatat. Bencana sebagai akibat krisis lingkungan dianggap gejala umum yang sudah menjadi takdir Tuhan tanpa mempedulikan akar masalahnya.

Sallie McFague, teolog ekofeminis Amerika Serikat mengungkapkan kegagalan teologi dalam menanggapi krisis lingkungan. McFague menggambarkan fase-fase pergeseran agenda teologi abad ke-20 yang dikategorikan dalam era pengenalan terhadap Tuhan yang berlangsung hingga 1960-an. Kategorisasi selanjutnya mengarah pada kemunculan teologi pembebasan pada 1970-an yang kemudian berkembang menawarkan pembebasan dunia dalam aspek penyelamatan ciptaan-ciptaan Tuhan. Untuk itulah, pengrusakan lingkungan harus masuk dalam agenda teologi dan perlawanannya disebut sebagai ekoterorisme terhadap teologi itu sendiri.

Di sini kita perlu menilik model-model pendekatan dan etika terhadap lingkungan. Seperti ditulis J Baird Callicott dalam Agama, Filsafat, dan Lingkungan Hidup (2003). Di antara pendekatan yang memiliki pengaruh paling besar dalam pengrusakan lingkungan adalah paradigma antroposentrisme, yaitu terkait penciptaan manusia sebagai penguasa di bumi yang berhak mengeksploitasi alam demi kepentingannya.

Ekoterorisme pada akhirnya harus mampu menjadi paradigma bersama sebagai refleksi dari kian memburuknya hubungan manusia dengan alam. Hal ini karena telah berkembang etika antroposentrisme terlebih dahulu dalam penafsiran-penafsiran diciptakannya manusia di bumi. Sebuah pandangan tentang etika yang mendewakan hasrat manusia atas alam. Akibatnya, beragam kerusakan ekosistem yang disebabkan hipereksplorasi sumber daya alam, hiperkomodifikasi mesin produksi, dan hiperkonsumsi produk untuk memenuhi selera konsumtif semakin tak terkendali.

Tentu, krisis lingkungan akan mudah teratasi jika pelaku perusakan lingkungan dan akibat kerusakannya disamakan dengan aksi terorisme karena keduanya sama-sama mengancam kehidupan manusia. Karenanya, upaya Kementerian Negara Lingkungan Hidup yang pernah merencanakan untuk mencetak hakim-hakim spesialis lingkungan bersertifikat mendesak dilakukan untuk mendukung program ekonomi hijau sebagai satu-satunya jalan menuju pembangunan berkelanjutan.

Gagasan melahirkan "Hakim Hijau" menjadi gerakan ideal untuk meneguhkan supremasi lingkungan yang selama ini terdiskriminasikan dalam ranah hukum. Terlebih hukuman bagi pelaku perusakan lingkungan masih dinilai sangat ringan. Padahal, dampak kerusakan lingkungan lebih besar daripada kerusakan akibat terorisme.

Konteks Sosial Keagamaan Munculnya Penjara


 

Muh. Khamdan, Widyaiswara Kemenkumham

Dalam proses penciptaan manusia pertama kali, gugatan terhadap eksistensi manusia telah terjadi dan dilakukan oleh para malaikat. Hal yang melandasi terjadinya peristiwa gugatan tersebut adalah adanya potensi buruk manusia dalam membuat kerusakan sekaligus konflik pertumpahan darah. Dilukiskan dalam QS. Al-Baqarah ayat 30:

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ

Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." [1]

Memahami doktrin keagamaan tersebut, sangat dimungkinkan bahwa tindak kejahatan sekaligus konflik sosial di tengah masyarakat tidak dapat dihilangkan tetapi hanya sekadar diminimalisir. Kenyataan tersebut tentu sangat tergantung potensi ilahi yang telah diberikan kepada manusia berupa fitrah dapat diinteraksikan secara baik atau buruk oleh manusia terhadap unsur-unsur yang ada di lingkungan sekitarnya.
Imam Al-Ghazali sang Hujjatu al-Islam menyatakan bahwa fitrah sebagai keistimewaan manusia, yang meliputi keimanan, kemampuan membedakan baik dan buruk, rasa keingintahuan, dorongan biologis, dan sifat manusiawi.[2] Untuk itulah manusia menjadi makhluk terbaik yang telah diciptakan Allah dengan dibekali adanya akal, rasa, cipta, dan karsa untuk memerankan sebagai khalifah di bumi.
Dengan bekal fitrah, manusia mampu mengetahui seluruh nama benda, seperti termaktub dalam Q.S. Al Baqarah ayat 31, sebagai salah satu syarat memerankan kekhalifahannya. Berawal dari pengetahuan tentang nama-nama benda, rasa keingintahuan selalu muncul. Dan, dari sinilah tragedi kehidupan dimulai, setelah Allah mengamanatkan bahwa cara memanfaatkan bekal itu semua adalah menjadi wewenang manusia.[3] Namun, cara merupakan proses yang membawa manusia sampai pada tujuannya. Manakala cara yang dilaksanakan salah, tentu tujuan yang dimaksud hanya akan membawa pada tindak “beringas” manusia, sampai pada dehumanisasi atau penghilangan nilai-nilai kemanusiaan.
Proses dehumanisasi sebagai tragedi pertumpahan darah pertama kali di muka bumi antara sesama manusia digambarkan di dalam Al-Qur’an ayat Al-Maidah melalui kisah Habil dan Qabil.

وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ آدَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنْ الآخَرِ قَالَ لَأَقْتُلَنَّكَ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنْ الْمُتَّقِينَ

Artinya: Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!". Berkata Habil: "Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa".[4]

Karena aktualisasi bekal yang tidak semestinya itu juga, Nabi Adam dan Hawa harus membangun peradaban barunya di muka bumi, setelah melakukan pengrusakan estetika lingkungan surga yang disimbolkan dengan buah khuldi atau buah terlarang surga. Cara pandang atau paradigma kasus Habil dan Qabil yang terkait dengan pengabdian pada Tuhan melalui aktivitas kurban hasil sumber daya alam yang dikelola, serta kasus Nabi Adam atas pengrusakan lingkungan menguatkan argumentasi bahwa akal manusia harus berinteraksi dan berdialog dengan lingkungan eksternal. Hasil interaksi inilah yang kemudian memunculkan term kebudayaan[5] dalam kehidupan, yang salah satunya justru ditandai adanya bangunan konflik sosial melalui symbol pertumpahan darah.
Oleh karena itu, setiap agama memberikan aturan hukum sebagai pengendali potensi menyimpang manusia yang saling berkonflik atau sering disebut dengan hukum pidana. Dalam Islam misalnya, hukum pidana identik dengan istilah jinayah dan jarimah. Jinayah lebih diarahkan pada tindak pidana yang terkait dengan nyawa atau anggota tubuh manusia lain seperti melukai, memukul, dan  membunuh. [6] Sedangkan jarimah adalah tindakan yang diharamkan agama berkaitan dengan sifat perbuatannya, seperti mencuri, mabuk, zina, murtad, atau melakukan pemberontakan atas negara. [7]
Dua istilah tersebut dalam praktiknya sering dianggap sama, artinya jinayah merupakan bagian dari jarimah karena jelas terdapat dasar-dasar nash yang mengharamkan tindakan tersebut. Hanya saja penegasan jinayah berada pada aspek nyawa dan bagian tubuh manusia yang terluka atau hilang.
Jenis pemidanaan demikian dalam sistem hukum Islam dapat dikelompokkan dalam uraian sebagai berikut:
1.      Pidana pokok (Uqubah Ashliah)
Yaitu tindakan kejahatan yang berkenaan dengan nyawa dan anggota tubuh manusia, biasa disebut dengan tindak pidana pembunuhan atau penganiayaan, yang dihukum dengan sanksi hukuman qishash
2.      Pidana pengganti (Uqubah Badaliah)
Yaitu pengganti hukuman pokok yang tidak dapat dilaksanakan karena adanya alasan yang sah, seperti hukuman diyat sebagai pengganti hukuman qishash atau hukuman ta’zir sebagai pengganti had yang tidak dapat dilaksanakan
3.      Pidana tambahan (Uqubah Taba’iyah)
Yaitu hukuman yang mengikuti pidana pokok tanpa memerlukan keputusan tersendiri seperti larangan menerima warisan bagi pelaku pembunuhan terhadap keluarga sendiri, sebagai tambahan hukuman qishash atau hukuman pencabutan hak sebagai saksi bagi pelaku tindak pidana memfitnah zina (qadzaf).
4.      Pidana pelengkap (Uqubah Takmiliyah)
Yaitu hukuman yang mengikuti hukuman pokok dengan syarat ada keputusan tersendiri dari hakim
Memperehatikan penggolongan di atas, maka sanksi hukuman yang dapat ditimpakan kepada pelaku tindak kejahatan yang ada dapat dibagi atas tiga macam, yaitu:
1.      Jarimah hudud, yaitu pelanggaran terhadap ketentuan syariat yang sanksi hukumnya sudah jelas ditentukan di dalam nash, tidak bisa lebih atau kurang. Hal tersebut seperti perbuatan zina, qadzaf (memfitnah zina), minum khamr, mencuri, perampokan, murtad, dan memberontak
2.      Jarimah qishash dan diyat, yaitu pelanggaran atau kejahatan yang diancam dengan sanksi qishash (hukum mati), atau diyat (denda). Sanksi ini merupakan hak adamy, artinya hak secara individual manusia yang dapat dimaafkan atau tidak dimaafkan oleh korban atau wali korban. Jenis pidana ini seperti membunuh dengan tidak sengaja, membunuh dengan semi sengaja, melukai anggota tubuh secara tidak sengaja
3.      Jarimah ta’zir adalah pelanggaran kejahatan yang dikenakan sanksi hukum secara mendidik atau memberikan pelajaran yang mendiddik atau memberikan pelajaran terhadap pelaku kejahatan yang bersangkutan. Bentuk sanksinya tidak daitur di dalam nash sehingga menjadi wewenang hakim untuk menjatuhkan sanksi sesuai dengan berat ringanya pelanggaran yang dilakukan. Dan disinilah posisi pidana kurungan atau penjara berada dalam kewenangan hakim.

Dalam bahasa Arab, penjara disebut dengan kata As-sajn yang secara bahasa berarti penahanan (al-habs). Dalam Al-Qur’an terdapat pada Surat Yusuf ayat 33.

قَالَ رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ وَإِلاَّ تَصْرِفْ عَنِّي كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ وَأَكُنْ مِنْ الْجَاهِلِينَ

Artinya: Yusuf berkata: "Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.


وَاسْتَبَقَا الْبَابَ وَقَدَّتْ قَمِيصَهُ مِنْ دُبُرٍ وَأَلْفَيَا سَيِّدَهَا لَدَى الْبَابِ قَالَتْ مَا جَزَاءُ مَنْ أَرَادَ بِأَهْلِكَ سُوءًا إِلاَّ أَنْ يُسْجَنَ أَوْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Artinya: Dan keduanya berlomba-lomba menuju pintu dan wanita itu menarik baju gamis Yusuf dari belakang hingga koyak dan kedua-duanya mendapati suami wanita itu di muka pintu. Wanita itu berkata: "Apakah pembalasan terhadap orang yang bermaksud berbuat serong dengan isterimu, selain dipenjarakan atau (dihukum) dengan azab yang pedih? (Q.S. Yusuf: 25)

وَاللاَّتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِنْكُمْ فَإِنْ شَهِدُوا فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلاً
Artinya: Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya (Q.S. An-Nisa: 15)


Oleh. Muh. Khamdan, fungsional widyaiswara Kementerian Hukum dan HAM RI 


[1] Al Qur’an, surat Al-Baqarah Ayat 30, Khadim al Haramain asy Syarifain Raja Fahd ibn ‘Abd al Aziz al Saud, Al Qur’an dan Terjemahnya, Mujamma’ al Malik Fahd Li Thiba’at al Mush-haf asy Syarif, 1421H, hal. 13.
[2]  Zainuddin, dkk., Seluk Beluk Pendidikan Dari al Ghazali, Bumi Akasara, Jakarta, 1991, hal. 66-67. Sebagaimana pendapat tersebut, terjadi kontradiksi dengan aliran behaviourisme ala John Watson dalam Psikologi bahwa manusia terlahir tanpa bekal apapun, melainkan sangat dipengaruhi lingkungan (teori tabularasa). Linda L. Davidoff, Psikologi Suatu Pengantar, (Terj), Erlangga, Jakarta, 1988, hal. 15.
[3]Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan mereka sendiri.” Al Qur’an, Surat Ar-Ra’du Ayat 11, Al Qur’an dan Terjemahnya, Mujamma’ al Malik Fahd Li Thiba’atil Mushhaf asy Syarif, 1421H, hal. 57.
[4] Al Qur’an, surat Al-Maidah Ayat 27, Khadim al Haramain asy Syarifain Raja Fahd ibn ‘Abd al Aziz al Saud, Al Qur’an dan Terjemahnya, Mujamma’ al Malik Fahd Li Thiba’at al Mush-haf asy Syarif, 1421H, hal. 163.
[5] Koentjaraningrat dan J. Vekuyl mendefinisikan kebudayaan sebagai hasil interaksi intelektual manusia yang berasal dari bahasa Sanskerta “budhayah”, berarti akal. Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam: Studi Kritis dan Refleksi Historis, Titian Ilahi Press, Yogyakarta, 1998, hal. 24. juga Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Rineka Cipta, Jakarta, 1990, hal. 181.
[6] Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri’ Al Jinai’I Al-Islami, dar Al-Turats, Beirut, tth, hal. 9
[7] Ibid

Mendesak Revisi UU Pemasyarakatan


Jurnal Nasional | Rabu, 25 Apr 2012
Muh KhamdanPeneliti Paradigma Institute dan Fungsional Widyaiswara Kementerian Hukum dan HAM



PERDEBATAN sengit atas tindakan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana, yang memunculkan kontroversi di banyak kalangan dalam melakukan sidak ke lapas Pekanbaru untuk membongkar sindikat narkotika, dengan adanya “dramatisasi‘ penamparan jelas menjadi isyarat mendesaknya revisi UU Pemasyarakatan. Keterdesakan tersebut seiring selalu munculnya polemik menyangkut kebijakan atas sistem pemasyarakatan Indonesia.

Tentu masih berkembang betapa sengitnya “pengadilan publik‘ atas semangat pemberantasan korupsi yang dibuat Kementerian Hukum dan HAM melalui pengetatan remisi bagi koruptor. Bagaimanapun, perlawanan atas koruptor harus dilandasi dengan keberadaan peraturan yang kuat. Bahkan, karena sifatnya yang khusus maka perlawanan atas korupsi seharusnya dapat menabrak undang-undang guna melawan extra ordinary crime pidana korupsi.

Opini publik yang berkepanjangan juga sempat terjadi ketika Wamenkumham memergoki praktik kunjungan di luar jam pada Rutan Cipinang. Menjadi penting dengan kasus terungkapnya kunjungan anggota DPR, M Nasir ke sel tersangka kasus Wisma Atlet, M. Nazaruddin di Rutan Cipinang sebagai pintu awal pembenahan sistem pemasyarakatan Indonesia. Pengingkaran dan pengabaian atas prosedur tetap (Protap) dan standar operasional prosedur (SOP) oleh petugas pemasyarakatan mengindikasikan adanya penyimpangan sistemik yang bisa berimplikasi pada penyimpangan-penyimpangan permanen.

Fakta itu tentu harus disadari bahwa jaringan kriminalitas dari balik penjara bisa muncul berdasarkan tipe-tipe situasi yang berbeda, yaitu dari tekanan individu sendiri, tekanan antarpribadi, tekanan antarkelompok, dan adanya konflik antarorgan masyarakat yang tidak mampu atau sengaja tidak mau menampung dalam relasi kehidupan sosial. Karena itu, adanya penyimpangan dalam tingkatan tertentu tidak boleh dibiarkan berlarut-larut tanpa penyelesaian dari situasi hulu yang satu menuju situasi hilir lainnya. Sebab, kriminalitas adalah perwujudan dari tidak teratasinya pertentangan antara dua orang atau kelompok yang sedang memperebutkan kepentingan untuk eksis dan hidup normal.

Lembaga pemasyarakatan yang di dalamnya terdiri atas Lapas, Rumah Tahanan (Rutan), Balai Pemasyarakatan (Bapas), dan Rumah Penyimpanan Barang Sitaan (Rupbasan), selalu menghadirkan dunia yang penuh kecurigaan di masyarakat. Tentu, kecurigaan demikian semakin mendapatkan penguatan dari rentetan kasus yang terjadi di seputar dunia pemasyarakatan, dari kunjungan di luar jam kunjung, sel istana, joki narapidana, transaksi narkoba, dan negosiasi kepentingan-kepentingan berdalih hak narapidana seperti remisi atau pembebasan bersyarat.

Kecurigaan yang muncul di kalangan masyarakat selama ini jelas sebagai akibat belum tuntasnya pembenahan terhadap lembaga pemasyarakatan yang dipicu sebagai “markas perkara hukum‘. Hakikat lembaga pemasyarakatan sebagai institusi pembina masyarakat yang bermasalah dengan hukum belum mampu menjadi medan pembinaan yang sesungguhnya.

Supremasi dan kedaulatan lembaga pemasyarakatan dikhawatirkan benar-benar terancam oleh suatu permainan kepentingan. Sangat disayangkan dunia lembaga pemasyarakatan hanya memiliki petugas lulusan SMA, namun menghadapi narapidana koruptor yang lebih tinggi tingkat pendidikan, keterampilan, dan kekayaannya. Juga, lembaga pemasyarakatan hanya memiliki petugas yang kurang memahami keterampilan beragama, namun menghadapi problem pembinaan terhadap narapidana terorisme.
Persoalan yang merisaukan tersebut harus menjadi momentum bagi semua kalangan untuk mengembalikan sakralitas dunia pemasyarakatan sebagai institusi penyadaran dan pembinaan. Para politisi mestinya menyadari bahwa hakikat dunia pemasyarakatan adalah seni untuk menciptakan insan yang mampu kembali baik bagi masyarakat untuk ikut membangun bangsa. Rutan misalnya, selain melaksanakan tugas perawatan dan pelayanan, juga memiliki kewenangan hukum untuk melindungi harkat dan martabat tahanan.
Demikian pula halnya dengan Lapas yang mengupayakan seoptimal mungkin pemidanaan yang memanusiakan manusia, serta adanya Balai Pemasyarakatan (Bapas) yang mengupayakan pertimbangan-pertimbangan proporsional bagi anak yang berhadapan dengan hukum di pengadilan. Satu unit lain yang penting perannya adalah Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan) yang berfungsi menjaga bukti dan barang sitaan agar tidak disalahgunakan.

Dengan demikian, jika praktik lembaga pemasyarakatan justru menjadi kotor dengan saling mengawal kepentingan, bahkan menjadi kelam dengan perilaku-perilaku transaksional yang saling menguntungkan dalam lingkaran kejahatan, tentu semakin memperjelas terjadinya pergeseran makna. Di sinilah penting untuk mengawal kembali keanekaragaman lembaga pemasyarakatan berdasarkan tingkat dan jenis penyimpangan hukum yang terjadi.

Problem mendasar tersebut kiranya memaksa harus dibangunnya LP khusus, baik diperuntukkan bagi koruptor, teroris, dan lainnya. Hal demikian sebagai penyeimbang menyangkut kontrol keamanan atau prosedur operasional pemasyarakatan dalam menghadapi karakteristik narapidana. Dalam kasus kunjungan atas Nazar oleh kakaknya, petugas mungkin dibingungkan oleh kontrol kebijakan selama ini, mengingat beredarnya kartu khusus yang dimiliki anggota Komisi III DPR RI untuk leluasa mendapatkan akses di lingkungan lembaga pemasyarakatan.

Dalam kasus menghadapi narapidana teroris sebagai kasus lain, petugas sering kecolongan dalam prosedur pembinaan atau bahkan memang tidak memiliki keterampilan melakukan pembinaan. Belum lagi realitas yang terjadi dalam menangani narapidana narkotika, standardmaximum security seperti tidak ada sinyal di area penjara dapat dilanggar atau memang tidak dijalankan sehingga handphone dapat leluasa mengisi sel-sel kamar penjara.

Dilihat dari sudut ini, sangat ironis jika langkah Wamenkumham dalam upaya membenahi sistem pemasyarakatan mendapatkan reaksi berlebihan, karena beban tanggungjawabnya sangat berkaitan dengan pembenahan lembaga pemasyarakatan. Terlebih yang menjadi tantangan adalah melakukan revisi UU Pemasyakatan sebagai regulasi untuk mereformasi kembali lembaga pemasyarakatan dan aturan-aturan turunannya sebagai kebijakan agar benar-benar mengembalikan ruh pemasyarakatan menjadi medan pembinaan narapidana.

Minggu, 29 Januari 2012

Dinamika Dunia Pesantren Indonesia


Akar Sejarah Pesantren

Oleh. Muh. Khamdan,
Widyaiswara Kementerian Hukum dan HAM RI


Pintu Gerbang Kompleks Pesantren Lirboyo, Jawa Timur

Membahas pesantren pada dasarnya sama dengan membahas sejarah awal penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa dan Sumatra. Ditilik dari alur sejarahnya, perkembangan Islam di Indonesia sangat erat kaitannya dengan peniruan kultur budaya Islam permulaan di Jazirah Arab, yaitu adanya interaksi antara kaum pedagang yang mengembara dengan masyarakat pribumi pesisir Nusantara.
Hal demikian seringkali dihubungkan dengan sejarah awal Islam di Sumatra sebagai representasi awal Islam di Indonesia. Pengembara Muslim Arab dalam mendinamisasikan perkembangan Islam dan khasanah-khasanah keilmuannya, selalu menghargai budaya dan tradisi lokal, disertai pernikahan dengan masyarakat setempat. Dalam bahasa Husnan Bey Fananie, model perkembangan semacam ini yang melandasi cepatnya perkembangan  Islam di Sumatra.
“One of the reasons of the Muslim Communities growth in North Sumatra was intermarrying between the foreign Muslim traders and women or girls from this area. Eventually, they formed new intercultural communities and estabkished the first Islamic Kingdom “Perlak” on 1st Muharram 225 Hidjra (840 AD). Sultan Alaudin Sayyid Maulana Abdul Aziz Shah was their first king. He was born of an Arab Quraish father and his mother was putri Meurah Perlak”. [1]
Oleh karena itu, komunitas Islam Indonesia merupakan bagian dari masyarakat Arab Makkah (Hijaz) yang cenderung lebih menjadikan Al Qur’an dan sunnah nabi sebagai sumber utama dan satu-satunya dalam problem solving kemanusiaan, daripada mendudukkan secara proporsional akal seperti kaum Mu’tazilah (antropomorfisme). Maklum, di wilayah Arab Hijaz adalah “istana” teks. Implikasinya, Islam Indonesia sangat dipengaruhi ekspresi simbolik teks daripada ekspresi makna kemanusiaan[2] dalam pendidikan, termasuk politik sistem monarkhi dalam gaya pasca-Khulafaur Rasyidin.
Kepemimpinan ulama terkemuka dari luar wilayah setempat, manakala sudah menikah dengan masyarakat pribumi, semakin bertambah kharisma kepengaruhannya. Hal demikian menjadi salah satu aspek penting dalam masyarakat Indonesia bahwa penghargaan berlebih pada “trah” keturunan pribumi menjadi kriteria “terselubung” untuk menjabat sebagai pemimpin informal maupun formal. Tradisi lokal monarkhi tersebut tentu sangat difahami pengembaraan Muslim pada masa-masa awal di Sumatra, sehingga mempengaruhi berdirinya kerajaan Perlak.
Sejalan dengan esensi penyebaran (dakwah) Islam, pendidikan sangat dipegang teguh dalam tradisi awal penyebaran Islam Nusantara. Kekuatan pengajaran yang berlangsung dilandasi kebingungan paternalistik, yang telah mengakar kuat dalam masyarakat Sumatra berupa hikayat atau dalam bahasa lain disebut folk tale.[3] Tak diragukan lagi, cerita merupakan bagian dari masyarakat Indonesia yang bisa didefinisikan sebagai tradisi lokal asli pribumi, bahkan menjadi tradisi di semua peradaban manusia lintas batas, ruang, dan waktu. Dalam konteks yang terakhir ini, masyarakat bisa menerima cerita tertentu jika tanpa kontradiksi di bagian masyarakat lain. Hal ini berbeda manakala lintas batas, ruang, dan waktu, cerita-cerita dasar dalam penyampaian doktrin agama mengalami respon dan tampilan yang berbeda. Diperlukan piranti socio-cultural history dalam wujud institusi pendidikan.
Penyebarluasan ilmu pengetahuan dan doktrin agama dalam komunitas itu selanjutnya berubah pada perkumpulan banyak orang.[4] Praktik-praktik ini berlangsung secara tetap di suatu tempat, baik tempat terbuka atau tertutup, yang dikenal dengan nama pengajian. Husnan Bey Fananie menyatakan: several pengajians were established in Acheh as The First Islamic Educational Institutions in Indonesia.[5] Perkembangan dakwah Islam memunculkan meluasnya komunitas Islam, sehingga proses pengajian itu memerlukan tempat selain Masjid saja. Muncullah institusi bernama meunasah, meulasah, beunasah, atau beulasah, yang berawal dari kata Arab, Madrasah.
Kemajuan kerajaan di wilayah satu, kemudian menarik wilayah lain untuk memajukan diri dengan mendirikan kerajaan baru, atau setidaknya memotivasi integrasi komunitas. Lebih penting lain kemakmuran kerajaan-kerajaan itu mampu memberi peningkatan posisi kerjasama lintas wilayah. Hal ini juga yang mempengaruhi terjalinnya hubungan berkesinambungan antara masyarakat Sumatra dengan Timur Tengah. Kebanyakan masyarakat (Nusantara) pergi ke Hijaz untuk melaksanakan ibadah haji dan sekaligus mengembara untuk mempelajari ilmu-ilmu Islam.[6]
Sejalan dengan perkembangan hubungan internasional, pertukaran tokoh merupakan fakta yang tidak bisa dikesampingkan. Perputaran hubungan tersebut muncul dan terjalin dari genealogi intelektual yang kompleks, dan lebih-lebih menguat oleh ikatan spiritual tarekat sufi dalam hubungan murshid (guru) dan murid (anggota). [7]
Dalam membahas tentang peran sufi ini, Sri Mulyati menggambarkan sebagai berikut:
“Sufism in Indonesia can not be dealt with in isolation from the history of Islam in that country, and yet there is no agreement among scholars about the exact time of the advent of Islam to Indonesian and the particular area of the country which was first islamized. According to Marcopolo, who spent five mont on the north coast of Sumatra in 1292, Islam had already been established there. Like wise Ibn Battuta discovered that there had already long been an Islamic Kingdom in Samudra (Acheh) when he arrived in 1346”. [8]
 Dalam konteks demikian, Islam mulai memerankan kehadirannya dengan dukungan tokoh-tokoh ulama sufi dari luar Nusantara, dalam membentuk masyarakat dagang yang substantif. Gelombang pelayaran pengembara muslim Arab, akhirnya juga sampai pesisir pantai utara Jawa. Islam pada tahap awal di Jawa ini, hanya dipraktikkan sekelompok kecil muslimin yang melaksanakan keberagamaan Islam atas nama seluruh masyarakat desa. Kemunculan Islam sebagai agama yang dianut banyak penduduk Jawa sering dikemukakan sebagai efek kiprah Syekh Maulana Malik Ibrahim[9] dalam membangun institusi pendidikan Islam pertama kali di Jawa, yang disebut pesantren. [10]
Maulana Malik Ibrahim dalam masyarakat santri Jawa merupakan sosok yang dianggap sebagai gurunya para guru pesantren di Jawa.[11] Di samping itu, figur populer Malik Ibrahim mempengaruhi terbentuknya komunitas penyebar Islam di Jawa, dikenal dengan komunitas Walisongo,[12] yang masing-masing menuntaskan islamisasi dalam pengembaraan dan membangun masjid sebagai tempat sentral berkumpulnya komunitas keagamaan, sampai akhirnya terdesak untuk membuat pesantren karena banyaknya peminat dan wilayah yang saling berjauhan untuk proses transfer ilmu sampai terbangunnya jaringan intelektual ulama.
Sebagai gambaran terbangunnya semacam jaringan sarjana muslim berskala dunia adalah dari keberadaan Syekh Ahmad Khatib as-Sambasi Kalimantan yang menjadi mufti Sunni di Makkah dan berperiode dengan Kiai Saleh Darat, masing-masing memiliki santri Nawawi al Bantani dan Mahfud at-Tirmisi. Dari generasi kedua ini, muncullah generasi ketiga Muhammad Kholil Bangkalan serta K.H.R.Asnawi Kudus. Di bawah gerakan generasi ketiga, terjadilah loncatan besar perkembangan penyebaran keilmuan Islam dalam skala luas se-antero Nusantara, masih dalam institusi berwujud pesantren.[13]
Hal demikian karena generasi ketiga yang bernaung dalam institusi pesantren telah mengajarkan sebuah tradisi yang transformatif sebagai adopsi dari strategi penyebaran Islam ala Walisongo, yaitu bukan sekadar mengajak masyarakat dengan Islam, tetapi juga mengubah struktur sosial masyarakat menuju tata sosial yang lebih adil, manusiawi, dan berakar dari pada tradisi setempat. Proses demikian didukung oleh pilar penting penyebaran berdasarkan ikatan kolektifitas slogan, man la syaikhu lahu, fasy Syaithanu syaikhun lahu (siapa yang tidak punya guru, maka setanlah yang akan jadi gurunya). [14] Sikap pesantren tersebut bukan hanya dari segi toleransinya saja, tetapi lebih pada kontribusi pembentukan identitas bangsa dengan kepeduliannya untuk tetap mempertahankan tradisi dan nilai budaya setempat, sehingga melahirkan sebutan Islam Kultural. [15]    
Pemahaman tentang Islam cultural ini penting, supaya mampu menghadirkan varian pendidikan kritis[16] untuk melakukan proagnosa terkait penyebab, konsekuensi, dan cara-cara pemecahan model dikotomik menuju integrasi keilmuan yang memberdayakan sesuai dengan karakteristik budaya masyarakat Nusantara yang heterogen. Dalam konteks ini, unsur emansipatoris menjadi sangat penting sebagai landasan utama membawa masyarakat keluar dari keterpurukan. Emansipatoris adalah derivasi spesifik paradigma humanisme,[17] dimana pengabdian dan pemberdayaan masyarakat lebih dikedepankan daripada klaim pemurnian agama. Aspek kepentingan inilah yang membawa berkembangnya paradigma pendidikan kritis dan berbeda dari yang pernah ada.
Paradigma kultural merupakan mainstream pemikiran Islam yang selama ini berkembang di Indonesia, dan membedakan dengan negara muslim lain di dunia. Asumsi dasar dari paradigma ini adalah bahwasanya Indonesia besar karena sumbangsih besar dari kaum Nahdlatul Ulama (NU), dan NU besar sekaligus dibesarkan dalam tradisi (al-turats). Tradisi yang tergambar dalam keilmuan klasik dan praktik-praktik keagamaan yang berbau lokalitas, telah menjadi bagian terpenting dalam pandangan hidup kalangan Nahdliyin secara umum.
Paradigma kultural tersebut setidaknya sangat dijunjung tinggi dan menjadi identitas terselubung dalam dunia pesantren. Pesantren menjadi institusi pendidikan keagamaan yang sangat baik untuk melestarikan tradisi sekaligus mengembangkannya. Pesantren adalah bentuk institusionalisasi tradisi yang dibentuk kebanyakan oleh kaum elit NU. Tradisi tidak sekadar menghadirkan pandangan-pandangan lama, tetapi mereproduksi dan mereposisi diri berdasarkan konteks realitas, yang berarti aktif sekaligus relevan sepanjang masa dan waktu (sholih li kulli zaman wa makan).
Pelabelan gerakan tradisi terhadap NU juga sebagai konsekuensi atas kelahirannya untuk membela tradisi, yaitu membaca doa dalail al-khairat, membangun kuburan, berziarah, tahlilan, membaca manaqib, al barjanzi, dan kemerdekaan bermazhab, yang terancam oleh kaum puritanisme.[18] Namun dibalik pembelaan tradisi yang dikategorikan konservatif, NU memiliki bibit progresifitas yang dimulai dari pengajaran dan unsur-unsur bernuansa non-agama dalam proses pembelajaran di pesantren Tebuireng, Denanyar, dan Singosari.[19] Hal ini menunjukkan translasi dua arah yang dimainkan kalangan NU sebagai cerminan konsep kosmologinya, ahlussunnah wal jama'ah (Aswaja).
Pandangan dunia NU tersebut menjadikan respon terhadap fenomena kehidupan berdasarkan prinsip keseimbangan, harmonis, dan menghargai kemajemukan sosial. Prinsip semacam ini terangkum dalam tiga aspek keberagamaan, yaitu teologi (aqidah), syari'at, dan etika (tasawuf). [20]
Umat Islam di Indonesia dalam menanggapi tradisi masyarakat lokal, sering diidentikkan dengan tipe pemikiran tradisionalisme sebagai lawan modernisme.[21] Hal ini jelas sesuai dengan uraian di atas. Namun karena modernitas ikut berintegrasi dalam komunitas dan gagasan masing-masing kalangan, label tersebut tidak lagi absah digunakan. M. Muhsin Jamil dalam memetakan pemikiran Islam dengan mengadopsi Muhammad Abid al Jabiri menggunakan tiga tipologi.
Pertama, tipologi yang menolak semua tradisi yang dipersepsi bukan tradisi Islam, karena adanya keyakinan bahwa di dalam Islam sudah mencakup semua aspek kehidupan. Kedua, menonjolkan modernitas karena menganggap bahwa tradisi tidak sesuai dengan kehidupan kontemporer manusia. Ketiga, menjaga tradisi sekaligus mengintegrasikannya dengan modernitas.[22] Tipologi ketiga inilah yang dikembangkan oleh anak muda gerakan tradisioanal (NU) dengan beragam varian,[23] yang mengacu pada prinsip fikih, al muhafazhah 'ala al qadim ash-shalih wal-akhdz bil jadid al-ashlah.
Varian ketiga ini mempunyai concern kepada persoalan-persoalan kemanusiaan daripada persoalan-persoalan teologis. Islam sudah cukup dibela dan tidak perlu dibela, tetapi manusia dan lingkungan hayati  tertindas yang membutuhkan pembelaan. Islam dengan beragam istilah ingin mengalihkan wacana agama dari persoalan melangit (teosentris) menjadi persoalan konkret manusia (antroposentris).
Dalam gugusan pemikiran seperti itu, kalangan pesantren salafy atau identik dengan pesantren NU dan jaringannya, selalu berkonsentrasi melakukan perubahan masyarakat dengan sifat buttom up, yaitu langsung terjun ke lapisan bawah dengan model partisipasi dan aksi pada tataran praksis. Model pendidikan menyatu dengan prinsip-prinsip pelatihan, sehingga format kegiatannya berbentuk Bahtsul Masail, pendampingan atas kebutuhan masyarakat, dan model pelatihan lain.



[1] Husnan Bey Fananie, “Modernism in Islamic Education in Indonesia And India a Case Study of the Pondok Modern Gontor And Aligarh”, Thesis, Netherlands Cooperation in Islamic Studies Leiden University, Leiden, 1997, hal. 6
[2] Dalam tradisi keberagamaan, muslim Indonesia cenderung menerima ketaatan religius sang Kiai, memahami doktrin hanya berlandaskan pada tuturan kiai dan teks-teks dalam kitab salafi abad pertengahan. Akibatnya, klaim sesat begitu semarak karena sesuatu yang “berbau” doktrin agama, selalu diadili berdasarkan teks belaka, tanpa didasari prosedural berfikir akal, nilai-nilai universal kemanusiaan, dan adat kebiasaan. Dari beberapa dasar tersebut, kita bisa menyebut bahwa sunah dan sumber asli doktrin Islam sebagaimana diajarkan Nabi Muhammad, jauh dari maslahat kebangsaan dan kemanusiaan setelah mengalami tampilan respon masyarakat Muslim Indonesia. M. Hasibullah Satrawi, “Fikih Mazhab Indonesia”, dalam [http://www.islamemansipa toris.com/artikel?id=553].
[3] Husnan Bey Fananie, Op. cit, hal. 7
[4] Perkumpulan banyak orang dalam penyebarluasan ilmu pengetahuan dan doktrin agama ini biasa disebut halaqah (study circles, lingkaran belajar) yang sama diselenggarakan di Masjidil Haram Mekah dan Masjid Nabawi Madinah. Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, Sejarah Wacana dan Kekuasaan, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1999, hal. 122.   
[5] Ibid, hal. 8
[6] Untuk menyebut contoh tokoh-tokoh tersebut seperti Syeikh Muhammad Yusuf Abu al Machasin Hadiya Allah Taj al-Khalwati al Maqassari, Nur al Din al Raniri, dan Abdul Rouf al Jawi al Fansuri al Sinkili. Ibid, hal. 145
[7] Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk, dan Makna  (Terj), LKiS Yogyakarta, 1995, hal. 3
[8] Sri Mulyati, “Sufism in Indonesia; an Analysis of  Nawawi al Bantani’s Salalim al Fudala”, Thesis, Institute of Islamic Studies Mc. Gill University, Montreal P.Q. Canada, 1992, hal. 4
[9] Biasanya disebut Syekh Maghribi sebab berasal dari Maghrib (Marocco), dan datang ke Indonesia dari Gujarat (India, Asia Selatan). Wafat pada 8 April 1419 M/ 12 Rabiul Awwal 822 H. Saifudin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, al Ma’arif Bandung, Bandung, 1979, hal. 263. lihat juga Abdurrahman Mas’ud, “Sejarah dan Budaya Pesantren”, dalam Ismail SM, dkk. (Ed), Dinamika Pesantren dan Madrasah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, hal. 3. Bandingkan dengan Husnan Bey Fananie, Op. cit, hal. 9
[10] Pesantren merupakan jenis sekolah di Asia Tenggara yang memberi pengajaran dalam ilmu pengetahuan keIslaman di Jawa, Indonesia. Manfred Ziemek, Pesantren Dalam Perubahan Sosial, LP3ES, Jakarta, 1985, hal. 16.
[11] Saifudin Zuhri, Op. Cit, hal. 263
[12] Secara berturut-turut adalah Maulana Malik Ibrahim, Raden Rahmat, Raden Paku, Maulana Makdum Ibrahim, Syarifudin, Ja’far Shodiq, Raden Sahid, Umar Said, dan Syarif Hidayatullah. Solichin Salam, Sekitar Walisanga, Menara Kudus, Kudus, 1972, hal. 23
[13] Perkembangan luas yang berawal dari pesantren ini didorong dari potensi yang dimiliki pesantren itu sendiri, sebagai basis pendidikan, dakwah, dan kemasyarakatan. Sehingga, karakter inipun secara reflektif akan membentuk karakter alumni yang peduli pada kemajuan, keIslaman, dan pemberdayaan kemanusiaan. Ditransformasikan oleh Hasyim Asyari dengan menjadi agent social of change di wilayah sarang penyamun, Tebuireng Jombang. Lihat Yusuf Hasyim, “Peranan dan Potensi Pesantren Dalam Pembangunan”, dalam Manfred Oepen dan Wolfgang Karcher, Dinamika Pesantren (Kumpulan Makalah Seminar Internasional “The Role of Pesantren in Education and Community Development in Indonesia), P3M, Jakarta, 1988, hal. 89.
[14] Ahmad Baso, NU STUDIES: Pergolakan Pemikiran Antara Fundamentalisme Islam Dan Fundamentalisme Neo-Liberal, Erlangga, Jakarta, 2006, hal. 387
[15] Istilah Islam kultural sebenarnya tidak jelas dalam epistemologi term, namun setidaknya ini mendapatkan booming wacana setelah tokoh intelektual terkemuka NU, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengemukakan gagasan tentang pribumisasi Islam. Menurutnya, wahyu Tuhan hendaknya difahami dengan mempertimbangkan factor-faktor kontekstual dan melakukan rekonsiliasi Islam dengan kekuatan-kekuatan budaya setempat. M. Syafi'I Anwar, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, Membingkai Potret Pemikiran Politik KH Abdurrahman Wahid, dalam pengantar Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita Agama Masyarakat Negara Demokrasi, The Wahid Institute, Jakarta, 2006, hal. xxvii  
[16] Pendidikan kritis adalah model pendidikan yang dipraktikkan sebagai upaya rekonstruksi (perubahan) masyarakat yang menolak sistem kejumudan (antikemapanan). Di antara tokoh-tokoh yang mengusung wacana demikian, misalnya Ivan Illich “de schooling Society”, Paulo Freire “Pedagogy for The Oppressed”, dan Everett Reimer “Kematian Sekolah”. Ahmadi, Ideologi Pendidikan Humanisme Teosentris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hal. 4
[17] Dua pemikir yang berasal dari Semarang mengembangkan paradigma humanisme dengan mengintegrasikan dalam tataran Islam. Pertama, dengan term humanisme religius oleh Prof. Abdurrahman Mas’ud. Lihat dalam bukunya, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik (Humanisme Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam), Gama Media, Yogyakarta, 2002. Kedua, dengan konsep humanisme teosentris yang dikembangkan Prof. Dr. Ahmadi dalam Ideologi Pendidikan Islam; Paradigma Humanisme Teosentris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005. 
[18] Andree Feillard, Op. cit, hal. 11-13.
[19] Abdurrahman Mas'ud, Op.cit, hal. 208
[20]Ahmad Baso, Op.cit, hal. 24
[21] M. Muhsin Jamil, M.A., Membongkar Mitos Menegakkan Nalar, Pergulatan Islam Literal Versus Islam Literal, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hal. 86
[22] Ibid, hal. 126-127. Tiga tipologi ini memiliki kesamaan dengan tipologi yang dihadirkan Masdar Farid Mas'udi dengan istilah Islam tradisional, Islam Fundamental, dan Islam Liberal. Masdar Farid Mas'udi, "Paradigma dan Metodologi Islam Emansipatoris" dalam kumpulan bahan Pendidikan Islam Emansipatoris Angkatan II JIE-P3M, Pusdiklat Depdiknas, 19-24 Mei 2003
[23] Varian tipologi pemikiran anak muda NU membentuk identitasnya masing-masing sesuai lokalitas yang melingkupi. Di Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam NU) berkembang dengan tesis Islam Pribumi, di LKiS berwujud pemikiran Pos-tradisionalisme Islam, di Lembaga Studi Agama dan demokrasi (eLSAD) cenderung biasa menggunakan istilah Islam Kiri, dan di tangan Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) dengan kampanye label Islam Emansipatoris. Hal ini menunjukkan bahwa tradisi adalah kekuatan besar Indonesia. Catatan pribadi dalam dialog subaltern dengan Dr. Yudian Wahyudi dan sahabat-sahabat peserta Pekan Ilmiah Mahasiswa 2006 dalam acara Annual Conference Depag RI di Bandung. Dr. Yudian adalah seorang sarjana muslim Indonesia yang pernah menjadi dosen di Universitas Harvard, dan saat ini aktif mengasuh di "Nawesea" English Pesantren Yogyakarta.