Muh. Khamdan, Widyaiswara Kemenkumham
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ
فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ
الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ
مَا لاَ تَعْلَمُونَ
Artinya: Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." [1]
Memahami doktrin
keagamaan tersebut, sangat dimungkinkan bahwa tindak kejahatan sekaligus
konflik sosial di tengah masyarakat tidak dapat dihilangkan tetapi hanya
sekadar diminimalisir. Kenyataan tersebut tentu sangat tergantung potensi ilahi
yang telah diberikan kepada manusia berupa fitrah dapat diinteraksikan
secara baik atau buruk oleh manusia terhadap unsur-unsur yang ada di lingkungan
sekitarnya.
Imam Al-Ghazali
sang Hujjatu al-Islam menyatakan bahwa fitrah sebagai keistimewaan
manusia, yang meliputi keimanan, kemampuan membedakan baik dan buruk, rasa
keingintahuan, dorongan biologis, dan sifat manusiawi.[2] Untuk
itulah manusia menjadi makhluk terbaik yang telah diciptakan Allah dengan dibekali
adanya akal, rasa, cipta, dan karsa untuk memerankan sebagai khalifah di
bumi.
Dengan bekal
fitrah, manusia mampu mengetahui seluruh nama benda, seperti termaktub dalam
Q.S. Al Baqarah ayat 31, sebagai salah satu syarat memerankan kekhalifahannya.
Berawal dari pengetahuan tentang nama-nama benda, rasa keingintahuan selalu
muncul. Dan, dari sinilah tragedi kehidupan dimulai, setelah Allah
mengamanatkan bahwa cara memanfaatkan bekal itu semua adalah menjadi wewenang
manusia.[3] Namun,
cara merupakan proses yang membawa manusia sampai pada tujuannya. Manakala cara
yang dilaksanakan salah, tentu tujuan yang dimaksud hanya akan membawa pada
tindak “beringas” manusia, sampai pada dehumanisasi atau penghilangan
nilai-nilai kemanusiaan.
Proses dehumanisasi
sebagai tragedi pertumpahan darah pertama kali di muka bumi antara sesama
manusia digambarkan di dalam Al-Qur’an ayat Al-Maidah melalui kisah Habil dan
Qabil.
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ آدَمَ
بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ
مِنْ الآخَرِ قَالَ لَأَقْتُلَنَّكَ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنْ الْمُتَّقِينَ
Artinya: Ceritakanlah
kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang
sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari salah
seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil).
Ia berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!". Berkata Habil:
"Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang
bertakwa".[4]
Karena aktualisasi
bekal yang tidak semestinya itu juga, Nabi Adam dan Hawa harus membangun
peradaban barunya di muka bumi, setelah melakukan pengrusakan estetika
lingkungan surga yang disimbolkan dengan buah khuldi atau buah terlarang
surga. Cara pandang atau paradigma kasus Habil dan Qabil yang terkait dengan
pengabdian pada Tuhan melalui aktivitas kurban hasil sumber daya alam yang
dikelola, serta kasus Nabi Adam atas pengrusakan lingkungan menguatkan
argumentasi bahwa akal manusia harus berinteraksi dan berdialog dengan
lingkungan eksternal. Hasil interaksi inilah yang kemudian memunculkan term
kebudayaan[5] dalam
kehidupan, yang salah
satunya justru ditandai adanya bangunan konflik sosial melalui symbol
pertumpahan darah.
Oleh karena itu, setiap agama memberikan
aturan hukum sebagai pengendali potensi menyimpang manusia yang saling
berkonflik atau sering disebut dengan hukum pidana. Dalam Islam misalnya, hukum
pidana identik dengan istilah jinayah
dan jarimah. Jinayah lebih diarahkan
pada tindak pidana yang terkait dengan nyawa atau anggota tubuh manusia lain
seperti melukai, memukul, dan membunuh. [6]
Sedangkan jarimah adalah tindakan yang diharamkan agama berkaitan dengan sifat
perbuatannya, seperti mencuri, mabuk, zina, murtad, atau melakukan
pemberontakan atas negara. [7]
Dua istilah tersebut dalam praktiknya
sering dianggap sama, artinya jinayah merupakan bagian dari jarimah karena
jelas terdapat dasar-dasar nash yang mengharamkan tindakan tersebut. Hanya saja
penegasan jinayah berada pada aspek nyawa dan bagian tubuh manusia yang terluka
atau hilang.
Jenis pemidanaan demikian dalam sistem
hukum Islam dapat dikelompokkan dalam uraian sebagai berikut:
1.
Pidana pokok (Uqubah
Ashliah)
Yaitu tindakan kejahatan yang berkenaan
dengan nyawa dan anggota tubuh manusia, biasa disebut dengan tindak pidana
pembunuhan atau penganiayaan, yang dihukum dengan sanksi hukuman qishash
2.
Pidana pengganti (Uqubah
Badaliah)
Yaitu pengganti hukuman pokok yang tidak
dapat dilaksanakan karena adanya alasan yang sah, seperti hukuman diyat sebagai pengganti hukuman qishash atau hukuman ta’zir sebagai
pengganti had yang tidak dapat
dilaksanakan
3.
Pidana tambahan (Uqubah
Taba’iyah)
Yaitu hukuman yang mengikuti pidana
pokok tanpa memerlukan keputusan tersendiri seperti larangan menerima warisan
bagi pelaku pembunuhan terhadap keluarga sendiri, sebagai tambahan hukuman
qishash atau hukuman pencabutan hak sebagai saksi bagi pelaku tindak pidana
memfitnah zina (qadzaf).
4.
Pidana pelengkap (Uqubah
Takmiliyah)
Yaitu hukuman yang mengikuti hukuman
pokok dengan syarat ada keputusan tersendiri dari hakim
Memperehatikan penggolongan di atas,
maka sanksi hukuman yang dapat ditimpakan kepada pelaku tindak kejahatan yang
ada dapat dibagi atas tiga macam, yaitu:
1.
Jarimah hudud,
yaitu pelanggaran terhadap ketentuan syariat yang sanksi hukumnya sudah jelas
ditentukan di dalam nash, tidak bisa lebih atau kurang. Hal tersebut seperti
perbuatan zina, qadzaf (memfitnah zina), minum khamr, mencuri, perampokan,
murtad, dan memberontak
2.
Jarimah qishash
dan diyat, yaitu pelanggaran atau
kejahatan yang diancam dengan sanksi qishash
(hukum mati), atau diyat (denda).
Sanksi ini merupakan hak adamy,
artinya hak secara individual manusia yang dapat dimaafkan atau tidak dimaafkan
oleh korban atau wali korban. Jenis pidana ini seperti membunuh dengan tidak
sengaja, membunuh dengan semi sengaja, melukai anggota tubuh secara tidak
sengaja
3.
Jarimah ta’zir adalah pelanggaran kejahatan yang dikenakan
sanksi hukum secara mendidik atau memberikan pelajaran yang mendiddik atau
memberikan pelajaran terhadap pelaku kejahatan yang bersangkutan. Bentuk
sanksinya tidak daitur di dalam nash sehingga menjadi wewenang hakim untuk
menjatuhkan sanksi sesuai dengan berat ringanya pelanggaran yang dilakukan. Dan
disinilah posisi pidana kurungan atau penjara berada dalam kewenangan hakim.
Dalam bahasa Arab, penjara disebut
dengan kata As-sajn yang secara
bahasa berarti penahanan (al-habs).
Dalam Al-Qur’an terdapat pada Surat Yusuf ayat 33.
قَالَ رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي
إِلَيْهِ وَإِلاَّ تَصْرِفْ عَنِّي كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ وَأَكُنْ مِنْ الْجَاهِلِينَ
Artinya: Yusuf berkata:
"Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka
kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu
aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk
orang-orang yang bodoh.
وَاسْتَبَقَا الْبَابَ وَقَدَّتْ قَمِيصَهُ
مِنْ دُبُرٍ وَأَلْفَيَا سَيِّدَهَا لَدَى الْبَابِ قَالَتْ مَا جَزَاءُ مَنْ أَرَادَ
بِأَهْلِكَ سُوءًا إِلاَّ أَنْ يُسْجَنَ أَوْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Artinya: Dan keduanya
berlomba-lomba menuju pintu dan wanita itu menarik baju gamis Yusuf dari
belakang hingga koyak dan kedua-duanya mendapati suami wanita itu di muka pintu.
Wanita itu berkata: "Apakah pembalasan terhadap orang yang bermaksud
berbuat serong dengan isterimu, selain dipenjarakan atau (dihukum) dengan azab
yang pedih? (Q.S. Yusuf: 25)
وَاللاَّتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِنْ
نِسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِنْكُمْ فَإِنْ شَهِدُوا فَأَمْسِكُوهُنَّ
فِي الْبُيُوتِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلاً
Artinya: Dan (terhadap)
para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi
diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi
persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka
menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya (Q.S. An-Nisa:
15)
Oleh. Muh. Khamdan, fungsional widyaiswara Kementerian Hukum dan HAM RI
[1] Al Qur’an, surat Al-Baqarah Ayat 30,
Khadim al Haramain asy Syarifain Raja Fahd ibn ‘Abd al Aziz al Saud, Al
Qur’an dan Terjemahnya, Mujamma’ al Malik Fahd Li Thiba’at al Mush-haf asy
Syarif, 1421H, hal. 13.
[2]
Zainuddin, dkk., Seluk Beluk Pendidikan Dari al Ghazali, Bumi
Akasara, Jakarta, 1991, hal. 66-67. Sebagaimana pendapat tersebut, terjadi
kontradiksi dengan aliran behaviourisme ala John Watson dalam Psikologi
bahwa manusia terlahir tanpa bekal apapun, melainkan sangat dipengaruhi
lingkungan (teori tabularasa). Linda L. Davidoff, Psikologi Suatu Pengantar,
(Terj), Erlangga, Jakarta, 1988, hal. 15.
[3] “Sesungguhnya Allah tidak akan
merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan mereka sendiri.”
Al Qur’an, Surat Ar-Ra’du Ayat 11, Al Qur’an dan Terjemahnya, Mujamma’
al Malik Fahd Li Thiba’atil Mushhaf asy Syarif, 1421H, hal. 57.
[4] Al Qur’an, surat Al-Maidah Ayat 27,
Khadim al Haramain asy Syarifain Raja Fahd ibn ‘Abd al Aziz al Saud, Al
Qur’an dan Terjemahnya, Mujamma’ al Malik Fahd Li Thiba’at al Mush-haf asy
Syarif, 1421H, hal. 163.
[5] Koentjaraningrat dan J. Vekuyl
mendefinisikan kebudayaan sebagai hasil interaksi intelektual manusia yang
berasal dari bahasa Sanskerta “budhayah”, berarti akal. Faisal Ismail, Paradigma
Kebudayaan Islam: Studi Kritis dan Refleksi Historis, Titian Ilahi Press,
Yogyakarta, 1998, hal. 24. juga Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi,
Rineka Cipta, Jakarta, 1990, hal. 181.
[6] Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri’ Al Jinai’I Al-Islami, dar Al-Turats, Beirut, tth, hal. 9
[7] Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar