Senin, 07 Mei 2012

Konteks Sosial Keagamaan Munculnya Penjara


 

Muh. Khamdan, Widyaiswara Kemenkumham

Dalam proses penciptaan manusia pertama kali, gugatan terhadap eksistensi manusia telah terjadi dan dilakukan oleh para malaikat. Hal yang melandasi terjadinya peristiwa gugatan tersebut adalah adanya potensi buruk manusia dalam membuat kerusakan sekaligus konflik pertumpahan darah. Dilukiskan dalam QS. Al-Baqarah ayat 30:

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ

Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." [1]

Memahami doktrin keagamaan tersebut, sangat dimungkinkan bahwa tindak kejahatan sekaligus konflik sosial di tengah masyarakat tidak dapat dihilangkan tetapi hanya sekadar diminimalisir. Kenyataan tersebut tentu sangat tergantung potensi ilahi yang telah diberikan kepada manusia berupa fitrah dapat diinteraksikan secara baik atau buruk oleh manusia terhadap unsur-unsur yang ada di lingkungan sekitarnya.
Imam Al-Ghazali sang Hujjatu al-Islam menyatakan bahwa fitrah sebagai keistimewaan manusia, yang meliputi keimanan, kemampuan membedakan baik dan buruk, rasa keingintahuan, dorongan biologis, dan sifat manusiawi.[2] Untuk itulah manusia menjadi makhluk terbaik yang telah diciptakan Allah dengan dibekali adanya akal, rasa, cipta, dan karsa untuk memerankan sebagai khalifah di bumi.
Dengan bekal fitrah, manusia mampu mengetahui seluruh nama benda, seperti termaktub dalam Q.S. Al Baqarah ayat 31, sebagai salah satu syarat memerankan kekhalifahannya. Berawal dari pengetahuan tentang nama-nama benda, rasa keingintahuan selalu muncul. Dan, dari sinilah tragedi kehidupan dimulai, setelah Allah mengamanatkan bahwa cara memanfaatkan bekal itu semua adalah menjadi wewenang manusia.[3] Namun, cara merupakan proses yang membawa manusia sampai pada tujuannya. Manakala cara yang dilaksanakan salah, tentu tujuan yang dimaksud hanya akan membawa pada tindak “beringas” manusia, sampai pada dehumanisasi atau penghilangan nilai-nilai kemanusiaan.
Proses dehumanisasi sebagai tragedi pertumpahan darah pertama kali di muka bumi antara sesama manusia digambarkan di dalam Al-Qur’an ayat Al-Maidah melalui kisah Habil dan Qabil.

وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ آدَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنْ الآخَرِ قَالَ لَأَقْتُلَنَّكَ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنْ الْمُتَّقِينَ

Artinya: Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!". Berkata Habil: "Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa".[4]

Karena aktualisasi bekal yang tidak semestinya itu juga, Nabi Adam dan Hawa harus membangun peradaban barunya di muka bumi, setelah melakukan pengrusakan estetika lingkungan surga yang disimbolkan dengan buah khuldi atau buah terlarang surga. Cara pandang atau paradigma kasus Habil dan Qabil yang terkait dengan pengabdian pada Tuhan melalui aktivitas kurban hasil sumber daya alam yang dikelola, serta kasus Nabi Adam atas pengrusakan lingkungan menguatkan argumentasi bahwa akal manusia harus berinteraksi dan berdialog dengan lingkungan eksternal. Hasil interaksi inilah yang kemudian memunculkan term kebudayaan[5] dalam kehidupan, yang salah satunya justru ditandai adanya bangunan konflik sosial melalui symbol pertumpahan darah.
Oleh karena itu, setiap agama memberikan aturan hukum sebagai pengendali potensi menyimpang manusia yang saling berkonflik atau sering disebut dengan hukum pidana. Dalam Islam misalnya, hukum pidana identik dengan istilah jinayah dan jarimah. Jinayah lebih diarahkan pada tindak pidana yang terkait dengan nyawa atau anggota tubuh manusia lain seperti melukai, memukul, dan  membunuh. [6] Sedangkan jarimah adalah tindakan yang diharamkan agama berkaitan dengan sifat perbuatannya, seperti mencuri, mabuk, zina, murtad, atau melakukan pemberontakan atas negara. [7]
Dua istilah tersebut dalam praktiknya sering dianggap sama, artinya jinayah merupakan bagian dari jarimah karena jelas terdapat dasar-dasar nash yang mengharamkan tindakan tersebut. Hanya saja penegasan jinayah berada pada aspek nyawa dan bagian tubuh manusia yang terluka atau hilang.
Jenis pemidanaan demikian dalam sistem hukum Islam dapat dikelompokkan dalam uraian sebagai berikut:
1.      Pidana pokok (Uqubah Ashliah)
Yaitu tindakan kejahatan yang berkenaan dengan nyawa dan anggota tubuh manusia, biasa disebut dengan tindak pidana pembunuhan atau penganiayaan, yang dihukum dengan sanksi hukuman qishash
2.      Pidana pengganti (Uqubah Badaliah)
Yaitu pengganti hukuman pokok yang tidak dapat dilaksanakan karena adanya alasan yang sah, seperti hukuman diyat sebagai pengganti hukuman qishash atau hukuman ta’zir sebagai pengganti had yang tidak dapat dilaksanakan
3.      Pidana tambahan (Uqubah Taba’iyah)
Yaitu hukuman yang mengikuti pidana pokok tanpa memerlukan keputusan tersendiri seperti larangan menerima warisan bagi pelaku pembunuhan terhadap keluarga sendiri, sebagai tambahan hukuman qishash atau hukuman pencabutan hak sebagai saksi bagi pelaku tindak pidana memfitnah zina (qadzaf).
4.      Pidana pelengkap (Uqubah Takmiliyah)
Yaitu hukuman yang mengikuti hukuman pokok dengan syarat ada keputusan tersendiri dari hakim
Memperehatikan penggolongan di atas, maka sanksi hukuman yang dapat ditimpakan kepada pelaku tindak kejahatan yang ada dapat dibagi atas tiga macam, yaitu:
1.      Jarimah hudud, yaitu pelanggaran terhadap ketentuan syariat yang sanksi hukumnya sudah jelas ditentukan di dalam nash, tidak bisa lebih atau kurang. Hal tersebut seperti perbuatan zina, qadzaf (memfitnah zina), minum khamr, mencuri, perampokan, murtad, dan memberontak
2.      Jarimah qishash dan diyat, yaitu pelanggaran atau kejahatan yang diancam dengan sanksi qishash (hukum mati), atau diyat (denda). Sanksi ini merupakan hak adamy, artinya hak secara individual manusia yang dapat dimaafkan atau tidak dimaafkan oleh korban atau wali korban. Jenis pidana ini seperti membunuh dengan tidak sengaja, membunuh dengan semi sengaja, melukai anggota tubuh secara tidak sengaja
3.      Jarimah ta’zir adalah pelanggaran kejahatan yang dikenakan sanksi hukum secara mendidik atau memberikan pelajaran yang mendiddik atau memberikan pelajaran terhadap pelaku kejahatan yang bersangkutan. Bentuk sanksinya tidak daitur di dalam nash sehingga menjadi wewenang hakim untuk menjatuhkan sanksi sesuai dengan berat ringanya pelanggaran yang dilakukan. Dan disinilah posisi pidana kurungan atau penjara berada dalam kewenangan hakim.

Dalam bahasa Arab, penjara disebut dengan kata As-sajn yang secara bahasa berarti penahanan (al-habs). Dalam Al-Qur’an terdapat pada Surat Yusuf ayat 33.

قَالَ رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ وَإِلاَّ تَصْرِفْ عَنِّي كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ وَأَكُنْ مِنْ الْجَاهِلِينَ

Artinya: Yusuf berkata: "Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.


وَاسْتَبَقَا الْبَابَ وَقَدَّتْ قَمِيصَهُ مِنْ دُبُرٍ وَأَلْفَيَا سَيِّدَهَا لَدَى الْبَابِ قَالَتْ مَا جَزَاءُ مَنْ أَرَادَ بِأَهْلِكَ سُوءًا إِلاَّ أَنْ يُسْجَنَ أَوْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Artinya: Dan keduanya berlomba-lomba menuju pintu dan wanita itu menarik baju gamis Yusuf dari belakang hingga koyak dan kedua-duanya mendapati suami wanita itu di muka pintu. Wanita itu berkata: "Apakah pembalasan terhadap orang yang bermaksud berbuat serong dengan isterimu, selain dipenjarakan atau (dihukum) dengan azab yang pedih? (Q.S. Yusuf: 25)

وَاللاَّتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِنْكُمْ فَإِنْ شَهِدُوا فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلاً
Artinya: Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya (Q.S. An-Nisa: 15)


Oleh. Muh. Khamdan, fungsional widyaiswara Kementerian Hukum dan HAM RI 


[1] Al Qur’an, surat Al-Baqarah Ayat 30, Khadim al Haramain asy Syarifain Raja Fahd ibn ‘Abd al Aziz al Saud, Al Qur’an dan Terjemahnya, Mujamma’ al Malik Fahd Li Thiba’at al Mush-haf asy Syarif, 1421H, hal. 13.
[2]  Zainuddin, dkk., Seluk Beluk Pendidikan Dari al Ghazali, Bumi Akasara, Jakarta, 1991, hal. 66-67. Sebagaimana pendapat tersebut, terjadi kontradiksi dengan aliran behaviourisme ala John Watson dalam Psikologi bahwa manusia terlahir tanpa bekal apapun, melainkan sangat dipengaruhi lingkungan (teori tabularasa). Linda L. Davidoff, Psikologi Suatu Pengantar, (Terj), Erlangga, Jakarta, 1988, hal. 15.
[3]Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan mereka sendiri.” Al Qur’an, Surat Ar-Ra’du Ayat 11, Al Qur’an dan Terjemahnya, Mujamma’ al Malik Fahd Li Thiba’atil Mushhaf asy Syarif, 1421H, hal. 57.
[4] Al Qur’an, surat Al-Maidah Ayat 27, Khadim al Haramain asy Syarifain Raja Fahd ibn ‘Abd al Aziz al Saud, Al Qur’an dan Terjemahnya, Mujamma’ al Malik Fahd Li Thiba’at al Mush-haf asy Syarif, 1421H, hal. 163.
[5] Koentjaraningrat dan J. Vekuyl mendefinisikan kebudayaan sebagai hasil interaksi intelektual manusia yang berasal dari bahasa Sanskerta “budhayah”, berarti akal. Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam: Studi Kritis dan Refleksi Historis, Titian Ilahi Press, Yogyakarta, 1998, hal. 24. juga Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Rineka Cipta, Jakarta, 1990, hal. 181.
[6] Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri’ Al Jinai’I Al-Islami, dar Al-Turats, Beirut, tth, hal. 9
[7] Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar