Senin, 07 Mei 2012

Ekoterorisme Menuju Pembangunan Hijau


Jurnal Nasional | Sabtu, 5 May 2012
Muh KhamdanPeneliti Paradigma Institute dan fungsional Widyaiswara Kementerian Hukum dan HAM


PERMINTAAN Presiden SBY yang pernah disampaikan agar memberangus mafia lingkungan terutama bidang kehutanan perlu mendapatkan dukungan dari semua kalangan, sebagaimana tekad membasmi tindak terorisme yang cukup berhasil melalui kiprah Detasemen Khusus 88 (Densus 88) dengan dukungan masyarakat.

Terorisme, selain dianggap sebagai fenomena sosial yang menyimpang, juga telah dianggap sebagai penyelewengan makna keagamaan. Untuk itulah, perlawanan terhadap pengrusakan lingkungan tentu dapat berjalan efektif dengan adanya pengembangan teologi berbasis lingkungan.

Saat ini, pengrusakan lingkungan yang terjadi di Indonesia sudah mengalami titik kulminasi yang mengkhawatirkan. Permainan kekuatan serta kekuasaan menggiring pelaku merasakan kondisi yang aman karena hukuman yang diberikan terbilang sangat ringan. Padahal, dapat dibilang bahwa akibat yang ditimbulkan dari tindak pengrusakan lingkungan jauh lebih besar daripada tindak terorisme bahkan berdampak sistemik.

Perang terhadap terorisme (war on terror) sesungguhnya berkumandang sejak "tragedi 11 September" yang telah dijadikan genderang awal oleh Amerika. Semua negara kemudian latah mengikuti tanpa melihat serius dimensi perang di dalamnya, yang secara tidak langsung membenarkan adanya hubungan konsep teologi dan tindak kekerasan. Tak urung, berbagai forum ilmiah digelar untuk menandaskan bahwa tidak ada terorisme berbasis agama.

Namun tema-tema tentang terorisme kemudian terkubur dengan isu teror lingkungan sejak Nobel perdamaian diberikan kepada Albert Gore dan Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) atas usahanya menyebarluaskan pengetahuan mengenai perubahan iklim yang disebabkan perbuatan manusia. Hal ini menunjukkan bahwa tantangan masa depan bukan konflik antarmanusia, tetapi konflik menghadapi lingkungan yang berubah ekstrem sekaligus memberikan dampak sistemik.

Sebagaimana teroris yang menyebarkan ketakutan, perusak lingkungan juga sama posisinya dengan seorang teroris karena memberikan dampak kerusakan dan kerugian yang tak terbantahkan dan sangat mengerikan. Banjir besar yang pernah menggenangi Jakarta dan daerah lain di hampir seluruh wilayah Indonesia setidaknya menjadi contoh tentang dampak yang lebih besar daripada pengeboman-pengeboman oleh pelaku terorisme yang hanya menimpa area lokal tertentu.

Kerusakan ekologis yang disebabkan tindak keserakahan tersebut tidak dapat dilihat sebagai kerusakan struktur fisik alam, tetapi harus dilihat sebagai kerusakan kompleks. Sebagaimana Felix Guattari dalam The Three Ecologies (2000) mengatakan bahwa terdapat tiga teror lingkungan yang saling berkaitan. Yaitu, kerusakan ekologi lingkungan (environment ecology)berupa kerusakan lingkungan fisik dan habitat di dalamnya, kerusakan ekologi mental (mental ecology) berupa kerusakan mental yang membangun psikis manusia, serta kerusakan ekologi sosial (social ecology) berupa kehancuran kesatuan sosial yang membangun sebuah lingkungan sosial.

Kerugian yang ditimbulkan dengan meledaknya bom di beberapa tempat, jelas hanya menimpa area lokal dan orang yang berada di tempat kejadian. Beda dengan krisis lingkungan yang ditimbulkan para perusak alam. Banjir yang merendam Jakarta setidaknya melumpuhkan sendi-sendi perekonomian secara luas, mulai dari terganggunya jadwal penerbangan, terputusnya jalur arteri kota sehingga melumpuhkan transportasi masyarakat, kerusakan kendaraan, belum lagi rumah beserta harta bendanya. Tak hanya itu, bencana banjir juga memberikan beban psikologis yang teramat luas.

Seperti ditunjukkan kasus-kasus bencana yang terjadi selama ini, benar-benar tak ada anggapan bahwa merusak lingkungan lebih kejam daripada terorisme, padahal telah menghancurkan mental sekaligus kesatuan sosial masyarakat. Dari sini ada hal yang perlu dicatat. Bencana sebagai akibat krisis lingkungan dianggap gejala umum yang sudah menjadi takdir Tuhan tanpa mempedulikan akar masalahnya.

Sallie McFague, teolog ekofeminis Amerika Serikat mengungkapkan kegagalan teologi dalam menanggapi krisis lingkungan. McFague menggambarkan fase-fase pergeseran agenda teologi abad ke-20 yang dikategorikan dalam era pengenalan terhadap Tuhan yang berlangsung hingga 1960-an. Kategorisasi selanjutnya mengarah pada kemunculan teologi pembebasan pada 1970-an yang kemudian berkembang menawarkan pembebasan dunia dalam aspek penyelamatan ciptaan-ciptaan Tuhan. Untuk itulah, pengrusakan lingkungan harus masuk dalam agenda teologi dan perlawanannya disebut sebagai ekoterorisme terhadap teologi itu sendiri.

Di sini kita perlu menilik model-model pendekatan dan etika terhadap lingkungan. Seperti ditulis J Baird Callicott dalam Agama, Filsafat, dan Lingkungan Hidup (2003). Di antara pendekatan yang memiliki pengaruh paling besar dalam pengrusakan lingkungan adalah paradigma antroposentrisme, yaitu terkait penciptaan manusia sebagai penguasa di bumi yang berhak mengeksploitasi alam demi kepentingannya.

Ekoterorisme pada akhirnya harus mampu menjadi paradigma bersama sebagai refleksi dari kian memburuknya hubungan manusia dengan alam. Hal ini karena telah berkembang etika antroposentrisme terlebih dahulu dalam penafsiran-penafsiran diciptakannya manusia di bumi. Sebuah pandangan tentang etika yang mendewakan hasrat manusia atas alam. Akibatnya, beragam kerusakan ekosistem yang disebabkan hipereksplorasi sumber daya alam, hiperkomodifikasi mesin produksi, dan hiperkonsumsi produk untuk memenuhi selera konsumtif semakin tak terkendali.

Tentu, krisis lingkungan akan mudah teratasi jika pelaku perusakan lingkungan dan akibat kerusakannya disamakan dengan aksi terorisme karena keduanya sama-sama mengancam kehidupan manusia. Karenanya, upaya Kementerian Negara Lingkungan Hidup yang pernah merencanakan untuk mencetak hakim-hakim spesialis lingkungan bersertifikat mendesak dilakukan untuk mendukung program ekonomi hijau sebagai satu-satunya jalan menuju pembangunan berkelanjutan.

Gagasan melahirkan "Hakim Hijau" menjadi gerakan ideal untuk meneguhkan supremasi lingkungan yang selama ini terdiskriminasikan dalam ranah hukum. Terlebih hukuman bagi pelaku perusakan lingkungan masih dinilai sangat ringan. Padahal, dampak kerusakan lingkungan lebih besar daripada kerusakan akibat terorisme.

Konteks Sosial Keagamaan Munculnya Penjara


 

Muh. Khamdan, Widyaiswara Kemenkumham

Dalam proses penciptaan manusia pertama kali, gugatan terhadap eksistensi manusia telah terjadi dan dilakukan oleh para malaikat. Hal yang melandasi terjadinya peristiwa gugatan tersebut adalah adanya potensi buruk manusia dalam membuat kerusakan sekaligus konflik pertumpahan darah. Dilukiskan dalam QS. Al-Baqarah ayat 30:

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ

Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." [1]

Memahami doktrin keagamaan tersebut, sangat dimungkinkan bahwa tindak kejahatan sekaligus konflik sosial di tengah masyarakat tidak dapat dihilangkan tetapi hanya sekadar diminimalisir. Kenyataan tersebut tentu sangat tergantung potensi ilahi yang telah diberikan kepada manusia berupa fitrah dapat diinteraksikan secara baik atau buruk oleh manusia terhadap unsur-unsur yang ada di lingkungan sekitarnya.
Imam Al-Ghazali sang Hujjatu al-Islam menyatakan bahwa fitrah sebagai keistimewaan manusia, yang meliputi keimanan, kemampuan membedakan baik dan buruk, rasa keingintahuan, dorongan biologis, dan sifat manusiawi.[2] Untuk itulah manusia menjadi makhluk terbaik yang telah diciptakan Allah dengan dibekali adanya akal, rasa, cipta, dan karsa untuk memerankan sebagai khalifah di bumi.
Dengan bekal fitrah, manusia mampu mengetahui seluruh nama benda, seperti termaktub dalam Q.S. Al Baqarah ayat 31, sebagai salah satu syarat memerankan kekhalifahannya. Berawal dari pengetahuan tentang nama-nama benda, rasa keingintahuan selalu muncul. Dan, dari sinilah tragedi kehidupan dimulai, setelah Allah mengamanatkan bahwa cara memanfaatkan bekal itu semua adalah menjadi wewenang manusia.[3] Namun, cara merupakan proses yang membawa manusia sampai pada tujuannya. Manakala cara yang dilaksanakan salah, tentu tujuan yang dimaksud hanya akan membawa pada tindak “beringas” manusia, sampai pada dehumanisasi atau penghilangan nilai-nilai kemanusiaan.
Proses dehumanisasi sebagai tragedi pertumpahan darah pertama kali di muka bumi antara sesama manusia digambarkan di dalam Al-Qur’an ayat Al-Maidah melalui kisah Habil dan Qabil.

وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ آدَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنْ الآخَرِ قَالَ لَأَقْتُلَنَّكَ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنْ الْمُتَّقِينَ

Artinya: Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!". Berkata Habil: "Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa".[4]

Karena aktualisasi bekal yang tidak semestinya itu juga, Nabi Adam dan Hawa harus membangun peradaban barunya di muka bumi, setelah melakukan pengrusakan estetika lingkungan surga yang disimbolkan dengan buah khuldi atau buah terlarang surga. Cara pandang atau paradigma kasus Habil dan Qabil yang terkait dengan pengabdian pada Tuhan melalui aktivitas kurban hasil sumber daya alam yang dikelola, serta kasus Nabi Adam atas pengrusakan lingkungan menguatkan argumentasi bahwa akal manusia harus berinteraksi dan berdialog dengan lingkungan eksternal. Hasil interaksi inilah yang kemudian memunculkan term kebudayaan[5] dalam kehidupan, yang salah satunya justru ditandai adanya bangunan konflik sosial melalui symbol pertumpahan darah.
Oleh karena itu, setiap agama memberikan aturan hukum sebagai pengendali potensi menyimpang manusia yang saling berkonflik atau sering disebut dengan hukum pidana. Dalam Islam misalnya, hukum pidana identik dengan istilah jinayah dan jarimah. Jinayah lebih diarahkan pada tindak pidana yang terkait dengan nyawa atau anggota tubuh manusia lain seperti melukai, memukul, dan  membunuh. [6] Sedangkan jarimah adalah tindakan yang diharamkan agama berkaitan dengan sifat perbuatannya, seperti mencuri, mabuk, zina, murtad, atau melakukan pemberontakan atas negara. [7]
Dua istilah tersebut dalam praktiknya sering dianggap sama, artinya jinayah merupakan bagian dari jarimah karena jelas terdapat dasar-dasar nash yang mengharamkan tindakan tersebut. Hanya saja penegasan jinayah berada pada aspek nyawa dan bagian tubuh manusia yang terluka atau hilang.
Jenis pemidanaan demikian dalam sistem hukum Islam dapat dikelompokkan dalam uraian sebagai berikut:
1.      Pidana pokok (Uqubah Ashliah)
Yaitu tindakan kejahatan yang berkenaan dengan nyawa dan anggota tubuh manusia, biasa disebut dengan tindak pidana pembunuhan atau penganiayaan, yang dihukum dengan sanksi hukuman qishash
2.      Pidana pengganti (Uqubah Badaliah)
Yaitu pengganti hukuman pokok yang tidak dapat dilaksanakan karena adanya alasan yang sah, seperti hukuman diyat sebagai pengganti hukuman qishash atau hukuman ta’zir sebagai pengganti had yang tidak dapat dilaksanakan
3.      Pidana tambahan (Uqubah Taba’iyah)
Yaitu hukuman yang mengikuti pidana pokok tanpa memerlukan keputusan tersendiri seperti larangan menerima warisan bagi pelaku pembunuhan terhadap keluarga sendiri, sebagai tambahan hukuman qishash atau hukuman pencabutan hak sebagai saksi bagi pelaku tindak pidana memfitnah zina (qadzaf).
4.      Pidana pelengkap (Uqubah Takmiliyah)
Yaitu hukuman yang mengikuti hukuman pokok dengan syarat ada keputusan tersendiri dari hakim
Memperehatikan penggolongan di atas, maka sanksi hukuman yang dapat ditimpakan kepada pelaku tindak kejahatan yang ada dapat dibagi atas tiga macam, yaitu:
1.      Jarimah hudud, yaitu pelanggaran terhadap ketentuan syariat yang sanksi hukumnya sudah jelas ditentukan di dalam nash, tidak bisa lebih atau kurang. Hal tersebut seperti perbuatan zina, qadzaf (memfitnah zina), minum khamr, mencuri, perampokan, murtad, dan memberontak
2.      Jarimah qishash dan diyat, yaitu pelanggaran atau kejahatan yang diancam dengan sanksi qishash (hukum mati), atau diyat (denda). Sanksi ini merupakan hak adamy, artinya hak secara individual manusia yang dapat dimaafkan atau tidak dimaafkan oleh korban atau wali korban. Jenis pidana ini seperti membunuh dengan tidak sengaja, membunuh dengan semi sengaja, melukai anggota tubuh secara tidak sengaja
3.      Jarimah ta’zir adalah pelanggaran kejahatan yang dikenakan sanksi hukum secara mendidik atau memberikan pelajaran yang mendiddik atau memberikan pelajaran terhadap pelaku kejahatan yang bersangkutan. Bentuk sanksinya tidak daitur di dalam nash sehingga menjadi wewenang hakim untuk menjatuhkan sanksi sesuai dengan berat ringanya pelanggaran yang dilakukan. Dan disinilah posisi pidana kurungan atau penjara berada dalam kewenangan hakim.

Dalam bahasa Arab, penjara disebut dengan kata As-sajn yang secara bahasa berarti penahanan (al-habs). Dalam Al-Qur’an terdapat pada Surat Yusuf ayat 33.

قَالَ رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ وَإِلاَّ تَصْرِفْ عَنِّي كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ وَأَكُنْ مِنْ الْجَاهِلِينَ

Artinya: Yusuf berkata: "Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.


وَاسْتَبَقَا الْبَابَ وَقَدَّتْ قَمِيصَهُ مِنْ دُبُرٍ وَأَلْفَيَا سَيِّدَهَا لَدَى الْبَابِ قَالَتْ مَا جَزَاءُ مَنْ أَرَادَ بِأَهْلِكَ سُوءًا إِلاَّ أَنْ يُسْجَنَ أَوْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Artinya: Dan keduanya berlomba-lomba menuju pintu dan wanita itu menarik baju gamis Yusuf dari belakang hingga koyak dan kedua-duanya mendapati suami wanita itu di muka pintu. Wanita itu berkata: "Apakah pembalasan terhadap orang yang bermaksud berbuat serong dengan isterimu, selain dipenjarakan atau (dihukum) dengan azab yang pedih? (Q.S. Yusuf: 25)

وَاللاَّتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِنْكُمْ فَإِنْ شَهِدُوا فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلاً
Artinya: Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya (Q.S. An-Nisa: 15)


Oleh. Muh. Khamdan, fungsional widyaiswara Kementerian Hukum dan HAM RI 


[1] Al Qur’an, surat Al-Baqarah Ayat 30, Khadim al Haramain asy Syarifain Raja Fahd ibn ‘Abd al Aziz al Saud, Al Qur’an dan Terjemahnya, Mujamma’ al Malik Fahd Li Thiba’at al Mush-haf asy Syarif, 1421H, hal. 13.
[2]  Zainuddin, dkk., Seluk Beluk Pendidikan Dari al Ghazali, Bumi Akasara, Jakarta, 1991, hal. 66-67. Sebagaimana pendapat tersebut, terjadi kontradiksi dengan aliran behaviourisme ala John Watson dalam Psikologi bahwa manusia terlahir tanpa bekal apapun, melainkan sangat dipengaruhi lingkungan (teori tabularasa). Linda L. Davidoff, Psikologi Suatu Pengantar, (Terj), Erlangga, Jakarta, 1988, hal. 15.
[3]Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan mereka sendiri.” Al Qur’an, Surat Ar-Ra’du Ayat 11, Al Qur’an dan Terjemahnya, Mujamma’ al Malik Fahd Li Thiba’atil Mushhaf asy Syarif, 1421H, hal. 57.
[4] Al Qur’an, surat Al-Maidah Ayat 27, Khadim al Haramain asy Syarifain Raja Fahd ibn ‘Abd al Aziz al Saud, Al Qur’an dan Terjemahnya, Mujamma’ al Malik Fahd Li Thiba’at al Mush-haf asy Syarif, 1421H, hal. 163.
[5] Koentjaraningrat dan J. Vekuyl mendefinisikan kebudayaan sebagai hasil interaksi intelektual manusia yang berasal dari bahasa Sanskerta “budhayah”, berarti akal. Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam: Studi Kritis dan Refleksi Historis, Titian Ilahi Press, Yogyakarta, 1998, hal. 24. juga Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Rineka Cipta, Jakarta, 1990, hal. 181.
[6] Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri’ Al Jinai’I Al-Islami, dar Al-Turats, Beirut, tth, hal. 9
[7] Ibid

Mendesak Revisi UU Pemasyarakatan


Jurnal Nasional | Rabu, 25 Apr 2012
Muh KhamdanPeneliti Paradigma Institute dan Fungsional Widyaiswara Kementerian Hukum dan HAM



PERDEBATAN sengit atas tindakan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana, yang memunculkan kontroversi di banyak kalangan dalam melakukan sidak ke lapas Pekanbaru untuk membongkar sindikat narkotika, dengan adanya “dramatisasi‘ penamparan jelas menjadi isyarat mendesaknya revisi UU Pemasyarakatan. Keterdesakan tersebut seiring selalu munculnya polemik menyangkut kebijakan atas sistem pemasyarakatan Indonesia.

Tentu masih berkembang betapa sengitnya “pengadilan publik‘ atas semangat pemberantasan korupsi yang dibuat Kementerian Hukum dan HAM melalui pengetatan remisi bagi koruptor. Bagaimanapun, perlawanan atas koruptor harus dilandasi dengan keberadaan peraturan yang kuat. Bahkan, karena sifatnya yang khusus maka perlawanan atas korupsi seharusnya dapat menabrak undang-undang guna melawan extra ordinary crime pidana korupsi.

Opini publik yang berkepanjangan juga sempat terjadi ketika Wamenkumham memergoki praktik kunjungan di luar jam pada Rutan Cipinang. Menjadi penting dengan kasus terungkapnya kunjungan anggota DPR, M Nasir ke sel tersangka kasus Wisma Atlet, M. Nazaruddin di Rutan Cipinang sebagai pintu awal pembenahan sistem pemasyarakatan Indonesia. Pengingkaran dan pengabaian atas prosedur tetap (Protap) dan standar operasional prosedur (SOP) oleh petugas pemasyarakatan mengindikasikan adanya penyimpangan sistemik yang bisa berimplikasi pada penyimpangan-penyimpangan permanen.

Fakta itu tentu harus disadari bahwa jaringan kriminalitas dari balik penjara bisa muncul berdasarkan tipe-tipe situasi yang berbeda, yaitu dari tekanan individu sendiri, tekanan antarpribadi, tekanan antarkelompok, dan adanya konflik antarorgan masyarakat yang tidak mampu atau sengaja tidak mau menampung dalam relasi kehidupan sosial. Karena itu, adanya penyimpangan dalam tingkatan tertentu tidak boleh dibiarkan berlarut-larut tanpa penyelesaian dari situasi hulu yang satu menuju situasi hilir lainnya. Sebab, kriminalitas adalah perwujudan dari tidak teratasinya pertentangan antara dua orang atau kelompok yang sedang memperebutkan kepentingan untuk eksis dan hidup normal.

Lembaga pemasyarakatan yang di dalamnya terdiri atas Lapas, Rumah Tahanan (Rutan), Balai Pemasyarakatan (Bapas), dan Rumah Penyimpanan Barang Sitaan (Rupbasan), selalu menghadirkan dunia yang penuh kecurigaan di masyarakat. Tentu, kecurigaan demikian semakin mendapatkan penguatan dari rentetan kasus yang terjadi di seputar dunia pemasyarakatan, dari kunjungan di luar jam kunjung, sel istana, joki narapidana, transaksi narkoba, dan negosiasi kepentingan-kepentingan berdalih hak narapidana seperti remisi atau pembebasan bersyarat.

Kecurigaan yang muncul di kalangan masyarakat selama ini jelas sebagai akibat belum tuntasnya pembenahan terhadap lembaga pemasyarakatan yang dipicu sebagai “markas perkara hukum‘. Hakikat lembaga pemasyarakatan sebagai institusi pembina masyarakat yang bermasalah dengan hukum belum mampu menjadi medan pembinaan yang sesungguhnya.

Supremasi dan kedaulatan lembaga pemasyarakatan dikhawatirkan benar-benar terancam oleh suatu permainan kepentingan. Sangat disayangkan dunia lembaga pemasyarakatan hanya memiliki petugas lulusan SMA, namun menghadapi narapidana koruptor yang lebih tinggi tingkat pendidikan, keterampilan, dan kekayaannya. Juga, lembaga pemasyarakatan hanya memiliki petugas yang kurang memahami keterampilan beragama, namun menghadapi problem pembinaan terhadap narapidana terorisme.
Persoalan yang merisaukan tersebut harus menjadi momentum bagi semua kalangan untuk mengembalikan sakralitas dunia pemasyarakatan sebagai institusi penyadaran dan pembinaan. Para politisi mestinya menyadari bahwa hakikat dunia pemasyarakatan adalah seni untuk menciptakan insan yang mampu kembali baik bagi masyarakat untuk ikut membangun bangsa. Rutan misalnya, selain melaksanakan tugas perawatan dan pelayanan, juga memiliki kewenangan hukum untuk melindungi harkat dan martabat tahanan.
Demikian pula halnya dengan Lapas yang mengupayakan seoptimal mungkin pemidanaan yang memanusiakan manusia, serta adanya Balai Pemasyarakatan (Bapas) yang mengupayakan pertimbangan-pertimbangan proporsional bagi anak yang berhadapan dengan hukum di pengadilan. Satu unit lain yang penting perannya adalah Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan) yang berfungsi menjaga bukti dan barang sitaan agar tidak disalahgunakan.

Dengan demikian, jika praktik lembaga pemasyarakatan justru menjadi kotor dengan saling mengawal kepentingan, bahkan menjadi kelam dengan perilaku-perilaku transaksional yang saling menguntungkan dalam lingkaran kejahatan, tentu semakin memperjelas terjadinya pergeseran makna. Di sinilah penting untuk mengawal kembali keanekaragaman lembaga pemasyarakatan berdasarkan tingkat dan jenis penyimpangan hukum yang terjadi.

Problem mendasar tersebut kiranya memaksa harus dibangunnya LP khusus, baik diperuntukkan bagi koruptor, teroris, dan lainnya. Hal demikian sebagai penyeimbang menyangkut kontrol keamanan atau prosedur operasional pemasyarakatan dalam menghadapi karakteristik narapidana. Dalam kasus kunjungan atas Nazar oleh kakaknya, petugas mungkin dibingungkan oleh kontrol kebijakan selama ini, mengingat beredarnya kartu khusus yang dimiliki anggota Komisi III DPR RI untuk leluasa mendapatkan akses di lingkungan lembaga pemasyarakatan.

Dalam kasus menghadapi narapidana teroris sebagai kasus lain, petugas sering kecolongan dalam prosedur pembinaan atau bahkan memang tidak memiliki keterampilan melakukan pembinaan. Belum lagi realitas yang terjadi dalam menangani narapidana narkotika, standardmaximum security seperti tidak ada sinyal di area penjara dapat dilanggar atau memang tidak dijalankan sehingga handphone dapat leluasa mengisi sel-sel kamar penjara.

Dilihat dari sudut ini, sangat ironis jika langkah Wamenkumham dalam upaya membenahi sistem pemasyarakatan mendapatkan reaksi berlebihan, karena beban tanggungjawabnya sangat berkaitan dengan pembenahan lembaga pemasyarakatan. Terlebih yang menjadi tantangan adalah melakukan revisi UU Pemasyakatan sebagai regulasi untuk mereformasi kembali lembaga pemasyarakatan dan aturan-aturan turunannya sebagai kebijakan agar benar-benar mengembalikan ruh pemasyarakatan menjadi medan pembinaan narapidana.