Akar Sejarah Pesantren
Oleh. Muh. Khamdan,
Widyaiswara Kementerian Hukum dan HAM RI
Widyaiswara Kementerian Hukum dan HAM RI
Pintu Gerbang Kompleks Pesantren Lirboyo, Jawa Timur |
Membahas pesantren pada dasarnya sama
dengan membahas sejarah awal penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Pulau
Jawa dan Sumatra. Ditilik dari alur sejarahnya, perkembangan Islam di Indonesia sangat erat kaitannya
dengan peniruan kultur budaya Islam permulaan di Jazirah Arab, yaitu adanya
interaksi antara kaum pedagang yang mengembara dengan masyarakat pribumi
pesisir Nusantara.
Hal demikian seringkali dihubungkan dengan sejarah awal Islam
di Sumatra sebagai representasi awal Islam di Indonesia. Pengembara Muslim Arab
dalam mendinamisasikan perkembangan Islam dan khasanah-khasanah keilmuannya,
selalu menghargai budaya dan tradisi lokal, disertai pernikahan dengan masyarakat
setempat. Dalam bahasa Husnan Bey Fananie,
model perkembangan semacam ini yang melandasi cepatnya perkembangan Islam di Sumatra.
“One of the reasons of the Muslim Communities growth in North Sumatra was
intermarrying between the foreign Muslim traders and women or girls from this
area. Eventually, they formed new intercultural communities and estabkished the
first Islamic Kingdom “Perlak” on 1st Muharram 225 Hidjra (840 AD). Sultan
Alaudin Sayyid Maulana Abdul Aziz Shah was their first king. He was born of an
Arab Quraish father and his mother was putri Meurah Perlak”.
[1]
Oleh karena itu, komunitas Islam
Indonesia merupakan bagian dari masyarakat Arab Makkah (Hijaz) yang cenderung
lebih menjadikan Al Qur’an dan sunnah nabi sebagai sumber utama dan
satu-satunya dalam problem solving kemanusiaan, daripada mendudukkan
secara proporsional akal seperti kaum Mu’tazilah (antropomorfisme).
Maklum, di wilayah Arab Hijaz adalah “istana” teks. Implikasinya, Islam
Indonesia sangat dipengaruhi ekspresi simbolik teks daripada ekspresi makna
kemanusiaan[2] dalam
pendidikan, termasuk politik sistem monarkhi dalam gaya pasca-Khulafaur
Rasyidin.
Kepemimpinan ulama terkemuka dari luar
wilayah setempat, manakala sudah menikah dengan masyarakat pribumi, semakin
bertambah kharisma kepengaruhannya. Hal demikian menjadi salah satu aspek
penting dalam masyarakat Indonesia bahwa penghargaan berlebih pada “trah”
keturunan pribumi menjadi kriteria “terselubung” untuk menjabat sebagai
pemimpin informal maupun formal. Tradisi lokal monarkhi tersebut tentu sangat
difahami pengembaraan Muslim pada masa-masa awal di Sumatra, sehingga
mempengaruhi berdirinya kerajaan Perlak.
Sejalan dengan esensi penyebaran
(dakwah) Islam, pendidikan sangat dipegang teguh dalam tradisi awal penyebaran
Islam Nusantara. Kekuatan pengajaran yang berlangsung dilandasi kebingungan
paternalistik, yang telah mengakar kuat dalam masyarakat Sumatra berupa hikayat
atau dalam bahasa lain disebut folk tale.[3]
Tak diragukan lagi, cerita merupakan bagian dari masyarakat Indonesia yang bisa
didefinisikan sebagai tradisi lokal asli pribumi, bahkan menjadi tradisi di
semua peradaban manusia lintas batas, ruang, dan waktu. Dalam konteks yang
terakhir ini, masyarakat bisa menerima cerita tertentu jika tanpa kontradiksi
di bagian masyarakat lain. Hal ini berbeda manakala lintas batas, ruang, dan
waktu, cerita-cerita dasar dalam penyampaian doktrin agama mengalami respon dan
tampilan yang berbeda. Diperlukan piranti socio-cultural history dalam
wujud institusi pendidikan.
Penyebarluasan ilmu pengetahuan dan
doktrin agama dalam komunitas itu selanjutnya berubah pada perkumpulan banyak
orang.[4]
Praktik-praktik ini berlangsung secara tetap di suatu tempat, baik tempat
terbuka atau tertutup, yang dikenal dengan nama pengajian. Husnan Bey Fananie
menyatakan: several pengajians were established in Acheh as The First
Islamic Educational Institutions in Indonesia.[5]
Perkembangan dakwah Islam memunculkan meluasnya komunitas Islam, sehingga
proses pengajian itu memerlukan tempat selain Masjid saja. Muncullah institusi
bernama meunasah, meulasah, beunasah, atau beulasah, yang
berawal dari kata Arab, Madrasah.
Kemajuan kerajaan di wilayah satu,
kemudian menarik wilayah lain untuk memajukan diri dengan mendirikan kerajaan
baru, atau setidaknya memotivasi integrasi komunitas. Lebih penting lain
kemakmuran kerajaan-kerajaan itu mampu memberi peningkatan posisi kerjasama
lintas wilayah. Hal ini juga yang mempengaruhi terjalinnya hubungan
berkesinambungan antara masyarakat Sumatra dengan Timur Tengah. Kebanyakan
masyarakat (Nusantara) pergi ke Hijaz untuk melaksanakan ibadah haji dan
sekaligus mengembara untuk mempelajari ilmu-ilmu Islam.[6]
Sejalan dengan perkembangan hubungan
internasional, pertukaran tokoh merupakan fakta yang tidak bisa dikesampingkan.
Perputaran hubungan tersebut muncul dan terjalin dari genealogi intelektual
yang kompleks, dan lebih-lebih menguat oleh ikatan spiritual tarekat sufi dalam
hubungan murshid (guru) dan murid (anggota). [7]
Dalam membahas tentang peran sufi ini,
Sri Mulyati menggambarkan sebagai berikut:
“Sufism
in Indonesia can not be dealt with in isolation from the history of Islam in
that country, and yet there is no agreement among scholars about the exact time
of the advent of Islam to Indonesian and the particular area of the country
which was first islamized. According to Marcopolo, who spent five mont on the
north coast of Sumatra in 1292, Islam had already been established there. Like
wise Ibn Battuta discovered that there had already long been an Islamic Kingdom
in Samudra (Acheh) when he arrived in 1346”. [8]
Dalam konteks demikian, Islam mulai memerankan
kehadirannya dengan dukungan tokoh-tokoh ulama sufi dari luar Nusantara, dalam
membentuk masyarakat dagang yang substantif. Gelombang pelayaran pengembara
muslim Arab, akhirnya juga
sampai pesisir pantai utara Jawa. Islam pada tahap awal di Jawa ini, hanya
dipraktikkan sekelompok kecil muslimin yang melaksanakan keberagamaan Islam
atas nama seluruh masyarakat desa. Kemunculan Islam sebagai agama yang dianut
banyak penduduk Jawa sering dikemukakan sebagai efek kiprah Syekh Maulana Malik
Ibrahim[9] dalam
membangun institusi pendidikan Islam pertama kali di Jawa, yang disebut
pesantren. [10]
Maulana Malik
Ibrahim dalam masyarakat santri Jawa merupakan sosok yang dianggap sebagai
gurunya para guru
pesantren di Jawa.[11] Di samping itu, figur populer Malik
Ibrahim mempengaruhi terbentuknya komunitas penyebar Islam di Jawa, dikenal
dengan komunitas Walisongo,[12]
yang masing-masing menuntaskan islamisasi dalam pengembaraan dan membangun
masjid sebagai tempat sentral berkumpulnya komunitas keagamaan, sampai akhirnya
terdesak untuk membuat pesantren karena banyaknya peminat dan wilayah yang
saling berjauhan untuk proses transfer ilmu sampai terbangunnya jaringan
intelektual ulama.
Sebagai gambaran terbangunnya semacam
jaringan sarjana muslim berskala dunia adalah dari keberadaan Syekh Ahmad
Khatib as-Sambasi Kalimantan yang menjadi mufti Sunni di Makkah dan berperiode
dengan Kiai Saleh Darat, masing-masing memiliki santri Nawawi al Bantani dan
Mahfud at-Tirmisi. Dari generasi kedua ini, muncullah generasi ketiga Muhammad
Kholil Bangkalan serta K.H.R.Asnawi Kudus. Di bawah gerakan generasi ketiga,
terjadilah loncatan besar perkembangan penyebaran keilmuan Islam dalam skala
luas se-antero Nusantara, masih dalam institusi berwujud pesantren.[13]
Hal demikian karena generasi ketiga yang
bernaung dalam institusi pesantren telah mengajarkan sebuah tradisi yang
transformatif sebagai adopsi dari strategi penyebaran Islam ala
Walisongo, yaitu bukan sekadar mengajak masyarakat dengan Islam, tetapi juga
mengubah struktur sosial masyarakat menuju tata sosial yang lebih adil,
manusiawi, dan berakar dari pada tradisi setempat. Proses demikian didukung
oleh pilar penting penyebaran berdasarkan ikatan kolektifitas slogan, man la
syaikhu lahu, fasy Syaithanu syaikhun lahu (siapa yang tidak punya guru,
maka setanlah yang akan jadi gurunya). [14]
Sikap pesantren tersebut bukan hanya dari segi toleransinya saja, tetapi lebih
pada kontribusi pembentukan identitas bangsa dengan kepeduliannya untuk tetap
mempertahankan tradisi dan nilai budaya setempat, sehingga melahirkan sebutan
Islam Kultural.
[15]
Pemahaman tentang Islam cultural ini penting, supaya
mampu menghadirkan varian pendidikan kritis[16] untuk
melakukan proagnosa terkait penyebab, konsekuensi, dan cara-cara
pemecahan model dikotomik menuju integrasi keilmuan yang memberdayakan sesuai dengan karakteristik budaya
masyarakat Nusantara yang heterogen. Dalam konteks ini, unsur
emansipatoris menjadi sangat penting sebagai landasan utama membawa masyarakat
keluar dari keterpurukan. Emansipatoris adalah derivasi spesifik paradigma humanisme,[17] dimana
pengabdian dan pemberdayaan masyarakat lebih dikedepankan daripada klaim pemurnian agama. Aspek
kepentingan inilah
yang membawa berkembangnya paradigma pendidikan kritis dan berbeda dari yang
pernah ada.
Paradigma
kultural merupakan mainstream pemikiran Islam yang selama ini berkembang
di Indonesia, dan membedakan dengan negara muslim lain di dunia. Asumsi dasar
dari paradigma ini adalah bahwasanya Indonesia besar karena sumbangsih besar
dari kaum Nahdlatul Ulama (NU), dan NU besar sekaligus dibesarkan dalam tradisi
(al-turats). Tradisi yang tergambar dalam keilmuan klasik dan
praktik-praktik keagamaan yang berbau lokalitas, telah menjadi bagian
terpenting dalam pandangan hidup kalangan Nahdliyin secara umum.
Paradigma
kultural tersebut setidaknya sangat dijunjung tinggi dan menjadi identitas
terselubung dalam dunia pesantren. Pesantren menjadi institusi pendidikan
keagamaan yang sangat baik untuk melestarikan tradisi sekaligus
mengembangkannya. Pesantren adalah bentuk institusionalisasi tradisi yang
dibentuk kebanyakan oleh kaum elit NU. Tradisi tidak sekadar menghadirkan
pandangan-pandangan lama, tetapi mereproduksi dan mereposisi diri berdasarkan
konteks realitas, yang berarti aktif sekaligus relevan sepanjang masa dan waktu
(sholih li kulli zaman wa makan).
Pelabelan
gerakan tradisi terhadap NU juga sebagai konsekuensi atas kelahirannya untuk
membela tradisi, yaitu membaca doa dalail al-khairat, membangun kuburan,
berziarah, tahlilan, membaca manaqib, al barjanzi, dan
kemerdekaan bermazhab, yang terancam oleh kaum puritanisme.[18]
Namun dibalik pembelaan tradisi yang dikategorikan konservatif, NU memiliki
bibit progresifitas yang dimulai dari pengajaran dan unsur-unsur bernuansa
non-agama dalam proses pembelajaran di pesantren Tebuireng, Denanyar, dan
Singosari.[19]
Hal ini menunjukkan translasi dua arah yang dimainkan kalangan NU sebagai
cerminan konsep kosmologinya, ahlussunnah wal jama'ah (Aswaja).
Pandangan
dunia NU tersebut menjadikan respon terhadap fenomena kehidupan berdasarkan
prinsip keseimbangan, harmonis, dan menghargai kemajemukan sosial. Prinsip
semacam ini terangkum dalam tiga aspek keberagamaan, yaitu teologi (aqidah),
syari'at, dan etika (tasawuf). [20]
Umat
Islam di Indonesia dalam menanggapi tradisi masyarakat lokal, sering
diidentikkan dengan tipe pemikiran tradisionalisme sebagai lawan modernisme.[21]
Hal ini jelas sesuai dengan uraian di atas. Namun karena modernitas ikut
berintegrasi dalam komunitas dan gagasan masing-masing kalangan, label tersebut
tidak lagi absah digunakan. M. Muhsin Jamil dalam memetakan pemikiran Islam
dengan mengadopsi Muhammad Abid al Jabiri menggunakan tiga tipologi.
Pertama,
tipologi yang menolak semua tradisi yang dipersepsi bukan tradisi Islam, karena
adanya keyakinan bahwa di dalam Islam sudah mencakup semua aspek kehidupan. Kedua,
menonjolkan modernitas karena menganggap bahwa tradisi tidak sesuai dengan
kehidupan kontemporer manusia. Ketiga, menjaga tradisi sekaligus
mengintegrasikannya dengan modernitas.[22]
Tipologi ketiga inilah yang dikembangkan oleh anak muda gerakan tradisioanal
(NU) dengan beragam varian,[23]
yang mengacu pada prinsip fikih, al muhafazhah 'ala al qadim ash-shalih
wal-akhdz bil jadid al-ashlah.
Varian
ketiga ini mempunyai concern kepada
persoalan-persoalan kemanusiaan daripada persoalan-persoalan teologis. Islam
sudah cukup dibela dan tidak perlu dibela, tetapi manusia dan lingkungan
hayati tertindas yang membutuhkan
pembelaan. Islam dengan beragam istilah ingin mengalihkan wacana agama dari
persoalan melangit (teosentris) menjadi persoalan konkret manusia
(antroposentris).
Dalam
gugusan pemikiran seperti itu, kalangan pesantren salafy atau identik dengan pesantren NU dan jaringannya, selalu
berkonsentrasi melakukan perubahan masyarakat dengan sifat buttom up,
yaitu langsung terjun ke lapisan bawah dengan model partisipasi dan aksi pada tataran
praksis. Model pendidikan menyatu dengan prinsip-prinsip pelatihan, sehingga
format kegiatannya berbentuk Bahtsul
Masail, pendampingan atas kebutuhan masyarakat, dan model pelatihan lain.
[1] Husnan
Bey Fananie, “Modernism in Islamic Education in Indonesia And India a Case
Study of the Pondok Modern Gontor And Aligarh”, Thesis, Netherlands
Cooperation in Islamic Studies Leiden University, Leiden, 1997, hal. 6
[2] Dalam
tradisi keberagamaan, muslim Indonesia cenderung menerima ketaatan religius
sang Kiai, memahami doktrin hanya berlandaskan pada tuturan kiai dan teks-teks
dalam kitab salafi abad pertengahan. Akibatnya, klaim sesat begitu semarak
karena sesuatu yang “berbau” doktrin agama, selalu diadili berdasarkan teks
belaka, tanpa didasari prosedural berfikir akal, nilai-nilai universal
kemanusiaan, dan adat kebiasaan. Dari beberapa dasar tersebut, kita bisa
menyebut bahwa sunah dan sumber asli doktrin Islam sebagaimana diajarkan Nabi
Muhammad, jauh dari maslahat kebangsaan dan kemanusiaan setelah mengalami
tampilan respon masyarakat Muslim Indonesia. M. Hasibullah Satrawi, “Fikih
Mazhab Indonesia”, dalam [http://www.islamemansipa toris.com/artikel?id=553].
[3] Husnan
Bey Fananie, Op. cit, hal. 7
[4]
Perkumpulan banyak orang dalam penyebarluasan ilmu pengetahuan dan doktrin
agama ini biasa disebut halaqah (study circles, lingkaran belajar) yang sama
diselenggarakan di Masjidil Haram Mekah dan Masjid Nabawi Madinah. Azyumardi
Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, Sejarah Wacana dan Kekuasaan,
Remaja Rosdakarya, Bandung, 1999, hal. 122.
[5] Ibid,
hal. 8
[6] Untuk
menyebut contoh tokoh-tokoh tersebut seperti Syeikh Muhammad Yusuf Abu al
Machasin Hadiya Allah Taj al-Khalwati al Maqassari, Nur al Din al Raniri, dan
Abdul Rouf al Jawi al Fansuri al Sinkili. Ibid, hal. 145
[7] Andree
Feillard, NU vis-à-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk, dan Makna (Terj), LKiS Yogyakarta, 1995, hal. 3
[8] Sri
Mulyati, “Sufism in Indonesia; an Analysis of
Nawawi al Bantani’s Salalim al Fudala”, Thesis, Institute of
Islamic Studies Mc. Gill University, Montreal P.Q. Canada, 1992, hal. 4
[9]
Biasanya disebut Syekh Maghribi sebab berasal dari Maghrib (Marocco), dan
datang ke Indonesia dari Gujarat (India, Asia Selatan). Wafat pada 8 April 1419
M/ 12 Rabiul Awwal 822 H. Saifudin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan
Perkembangannya di Indonesia, al Ma’arif Bandung, Bandung, 1979, hal. 263.
lihat juga Abdurrahman Mas’ud, “Sejarah dan Budaya Pesantren”, dalam Ismail SM,
dkk. (Ed), Dinamika Pesantren dan Madrasah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2002, hal. 3. Bandingkan dengan Husnan Bey Fananie, Op. cit, hal. 9
[10]
Pesantren merupakan jenis sekolah di Asia Tenggara yang memberi pengajaran
dalam ilmu pengetahuan keIslaman di Jawa, Indonesia. Manfred Ziemek, Pesantren
Dalam Perubahan Sosial, LP3ES, Jakarta, 1985, hal. 16.
[11]
Saifudin Zuhri, Op. Cit, hal. 263
[12] Secara
berturut-turut adalah Maulana Malik Ibrahim, Raden Rahmat, Raden Paku, Maulana
Makdum Ibrahim, Syarifudin, Ja’far Shodiq, Raden Sahid, Umar Said, dan Syarif
Hidayatullah. Solichin Salam, Sekitar Walisanga, Menara Kudus, Kudus,
1972, hal. 23
[13]
Perkembangan luas yang berawal dari pesantren ini didorong dari potensi yang
dimiliki pesantren itu sendiri, sebagai basis pendidikan, dakwah, dan
kemasyarakatan. Sehingga, karakter inipun secara reflektif akan membentuk karakter
alumni yang peduli pada kemajuan, keIslaman, dan pemberdayaan kemanusiaan.
Ditransformasikan oleh Hasyim Asyari dengan menjadi agent social of change
di wilayah sarang penyamun, Tebuireng Jombang. Lihat Yusuf Hasyim, “Peranan dan
Potensi Pesantren Dalam Pembangunan”, dalam Manfred Oepen dan Wolfgang Karcher,
Dinamika Pesantren (Kumpulan Makalah Seminar Internasional “The Role of
Pesantren in Education and Community Development in Indonesia), P3M,
Jakarta, 1988, hal. 89.
[14] Ahmad
Baso, NU STUDIES: Pergolakan Pemikiran Antara Fundamentalisme Islam Dan
Fundamentalisme Neo-Liberal, Erlangga, Jakarta, 2006, hal. 387
[15] Istilah
Islam kultural sebenarnya tidak jelas dalam epistemologi term, namun setidaknya
ini mendapatkan booming wacana setelah tokoh intelektual terkemuka NU,
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengemukakan gagasan tentang pribumisasi Islam.
Menurutnya, wahyu Tuhan hendaknya difahami dengan mempertimbangkan
factor-faktor kontekstual dan melakukan rekonsiliasi Islam dengan
kekuatan-kekuatan budaya setempat. M. Syafi'I Anwar, Islamku, Islam Anda,
Islam Kita, Membingkai Potret Pemikiran Politik KH Abdurrahman Wahid, dalam
pengantar Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita Agama Masyarakat
Negara Demokrasi, The Wahid Institute, Jakarta, 2006, hal. xxvii
[16]
Pendidikan kritis adalah model pendidikan yang dipraktikkan sebagai upaya
rekonstruksi (perubahan) masyarakat yang menolak sistem kejumudan
(antikemapanan). Di antara tokoh-tokoh yang mengusung wacana demikian, misalnya
Ivan Illich “de schooling Society”, Paulo Freire “Pedagogy for The
Oppressed”, dan Everett Reimer “Kematian Sekolah”. Ahmadi, Ideologi
Pendidikan Humanisme Teosentris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hal. 4
[17] Dua
pemikir yang berasal dari Semarang mengembangkan paradigma humanisme dengan
mengintegrasikan dalam tataran Islam. Pertama, dengan term humanisme religius
oleh Prof. Abdurrahman Mas’ud. Lihat dalam bukunya, Menggagas Format
Pendidikan Nondikotomik (Humanisme Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam),
Gama Media, Yogyakarta, 2002. Kedua, dengan konsep humanisme teosentris yang
dikembangkan Prof. Dr. Ahmadi dalam Ideologi Pendidikan Islam; Paradigma
Humanisme Teosentris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005.
[18] Andree
Feillard, Op. cit, hal. 11-13.
[19]
Abdurrahman Mas'ud, Op.cit, hal. 208
[20]Ahmad
Baso, Op.cit, hal. 24
[21] M.
Muhsin Jamil, M.A., Membongkar Mitos Menegakkan Nalar, Pergulatan Islam
Literal Versus Islam Literal, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hal. 86
[22] Ibid,
hal. 126-127. Tiga tipologi ini memiliki kesamaan dengan tipologi yang
dihadirkan Masdar Farid Mas'udi dengan istilah Islam tradisional, Islam
Fundamental, dan Islam Liberal. Masdar Farid Mas'udi, "Paradigma dan
Metodologi Islam Emansipatoris" dalam kumpulan bahan Pendidikan Islam
Emansipatoris Angkatan II JIE-P3M, Pusdiklat Depdiknas, 19-24 Mei 2003
[23] Varian
tipologi pemikiran anak muda NU membentuk identitasnya masing-masing sesuai
lokalitas yang melingkupi. Di Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya
Manusia (Lakpesdam NU) berkembang dengan tesis Islam Pribumi, di LKiS berwujud
pemikiran Pos-tradisionalisme Islam, di Lembaga Studi Agama dan demokrasi
(eLSAD) cenderung biasa menggunakan istilah Islam Kiri, dan di tangan
Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) dengan kampanye label
Islam Emansipatoris. Hal ini menunjukkan bahwa tradisi adalah kekuatan besar
Indonesia. Catatan pribadi dalam dialog subaltern dengan Dr. Yudian
Wahyudi dan sahabat-sahabat peserta Pekan Ilmiah Mahasiswa 2006 dalam acara Annual
Conference Depag RI di Bandung. Dr. Yudian adalah seorang sarjana muslim
Indonesia yang pernah menjadi dosen di Universitas Harvard, dan saat ini aktif
mengasuh di "Nawesea" English Pesantren Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar