Minggu, 29 Januari 2012

Dinamika Dunia Pesantren Indonesia


Akar Sejarah Pesantren

Oleh. Muh. Khamdan,
Widyaiswara Kementerian Hukum dan HAM RI


Pintu Gerbang Kompleks Pesantren Lirboyo, Jawa Timur

Membahas pesantren pada dasarnya sama dengan membahas sejarah awal penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa dan Sumatra. Ditilik dari alur sejarahnya, perkembangan Islam di Indonesia sangat erat kaitannya dengan peniruan kultur budaya Islam permulaan di Jazirah Arab, yaitu adanya interaksi antara kaum pedagang yang mengembara dengan masyarakat pribumi pesisir Nusantara.
Hal demikian seringkali dihubungkan dengan sejarah awal Islam di Sumatra sebagai representasi awal Islam di Indonesia. Pengembara Muslim Arab dalam mendinamisasikan perkembangan Islam dan khasanah-khasanah keilmuannya, selalu menghargai budaya dan tradisi lokal, disertai pernikahan dengan masyarakat setempat. Dalam bahasa Husnan Bey Fananie, model perkembangan semacam ini yang melandasi cepatnya perkembangan  Islam di Sumatra.
“One of the reasons of the Muslim Communities growth in North Sumatra was intermarrying between the foreign Muslim traders and women or girls from this area. Eventually, they formed new intercultural communities and estabkished the first Islamic Kingdom “Perlak” on 1st Muharram 225 Hidjra (840 AD). Sultan Alaudin Sayyid Maulana Abdul Aziz Shah was their first king. He was born of an Arab Quraish father and his mother was putri Meurah Perlak”. [1]
Oleh karena itu, komunitas Islam Indonesia merupakan bagian dari masyarakat Arab Makkah (Hijaz) yang cenderung lebih menjadikan Al Qur’an dan sunnah nabi sebagai sumber utama dan satu-satunya dalam problem solving kemanusiaan, daripada mendudukkan secara proporsional akal seperti kaum Mu’tazilah (antropomorfisme). Maklum, di wilayah Arab Hijaz adalah “istana” teks. Implikasinya, Islam Indonesia sangat dipengaruhi ekspresi simbolik teks daripada ekspresi makna kemanusiaan[2] dalam pendidikan, termasuk politik sistem monarkhi dalam gaya pasca-Khulafaur Rasyidin.
Kepemimpinan ulama terkemuka dari luar wilayah setempat, manakala sudah menikah dengan masyarakat pribumi, semakin bertambah kharisma kepengaruhannya. Hal demikian menjadi salah satu aspek penting dalam masyarakat Indonesia bahwa penghargaan berlebih pada “trah” keturunan pribumi menjadi kriteria “terselubung” untuk menjabat sebagai pemimpin informal maupun formal. Tradisi lokal monarkhi tersebut tentu sangat difahami pengembaraan Muslim pada masa-masa awal di Sumatra, sehingga mempengaruhi berdirinya kerajaan Perlak.
Sejalan dengan esensi penyebaran (dakwah) Islam, pendidikan sangat dipegang teguh dalam tradisi awal penyebaran Islam Nusantara. Kekuatan pengajaran yang berlangsung dilandasi kebingungan paternalistik, yang telah mengakar kuat dalam masyarakat Sumatra berupa hikayat atau dalam bahasa lain disebut folk tale.[3] Tak diragukan lagi, cerita merupakan bagian dari masyarakat Indonesia yang bisa didefinisikan sebagai tradisi lokal asli pribumi, bahkan menjadi tradisi di semua peradaban manusia lintas batas, ruang, dan waktu. Dalam konteks yang terakhir ini, masyarakat bisa menerima cerita tertentu jika tanpa kontradiksi di bagian masyarakat lain. Hal ini berbeda manakala lintas batas, ruang, dan waktu, cerita-cerita dasar dalam penyampaian doktrin agama mengalami respon dan tampilan yang berbeda. Diperlukan piranti socio-cultural history dalam wujud institusi pendidikan.
Penyebarluasan ilmu pengetahuan dan doktrin agama dalam komunitas itu selanjutnya berubah pada perkumpulan banyak orang.[4] Praktik-praktik ini berlangsung secara tetap di suatu tempat, baik tempat terbuka atau tertutup, yang dikenal dengan nama pengajian. Husnan Bey Fananie menyatakan: several pengajians were established in Acheh as The First Islamic Educational Institutions in Indonesia.[5] Perkembangan dakwah Islam memunculkan meluasnya komunitas Islam, sehingga proses pengajian itu memerlukan tempat selain Masjid saja. Muncullah institusi bernama meunasah, meulasah, beunasah, atau beulasah, yang berawal dari kata Arab, Madrasah.
Kemajuan kerajaan di wilayah satu, kemudian menarik wilayah lain untuk memajukan diri dengan mendirikan kerajaan baru, atau setidaknya memotivasi integrasi komunitas. Lebih penting lain kemakmuran kerajaan-kerajaan itu mampu memberi peningkatan posisi kerjasama lintas wilayah. Hal ini juga yang mempengaruhi terjalinnya hubungan berkesinambungan antara masyarakat Sumatra dengan Timur Tengah. Kebanyakan masyarakat (Nusantara) pergi ke Hijaz untuk melaksanakan ibadah haji dan sekaligus mengembara untuk mempelajari ilmu-ilmu Islam.[6]
Sejalan dengan perkembangan hubungan internasional, pertukaran tokoh merupakan fakta yang tidak bisa dikesampingkan. Perputaran hubungan tersebut muncul dan terjalin dari genealogi intelektual yang kompleks, dan lebih-lebih menguat oleh ikatan spiritual tarekat sufi dalam hubungan murshid (guru) dan murid (anggota). [7]
Dalam membahas tentang peran sufi ini, Sri Mulyati menggambarkan sebagai berikut:
“Sufism in Indonesia can not be dealt with in isolation from the history of Islam in that country, and yet there is no agreement among scholars about the exact time of the advent of Islam to Indonesian and the particular area of the country which was first islamized. According to Marcopolo, who spent five mont on the north coast of Sumatra in 1292, Islam had already been established there. Like wise Ibn Battuta discovered that there had already long been an Islamic Kingdom in Samudra (Acheh) when he arrived in 1346”. [8]
 Dalam konteks demikian, Islam mulai memerankan kehadirannya dengan dukungan tokoh-tokoh ulama sufi dari luar Nusantara, dalam membentuk masyarakat dagang yang substantif. Gelombang pelayaran pengembara muslim Arab, akhirnya juga sampai pesisir pantai utara Jawa. Islam pada tahap awal di Jawa ini, hanya dipraktikkan sekelompok kecil muslimin yang melaksanakan keberagamaan Islam atas nama seluruh masyarakat desa. Kemunculan Islam sebagai agama yang dianut banyak penduduk Jawa sering dikemukakan sebagai efek kiprah Syekh Maulana Malik Ibrahim[9] dalam membangun institusi pendidikan Islam pertama kali di Jawa, yang disebut pesantren. [10]
Maulana Malik Ibrahim dalam masyarakat santri Jawa merupakan sosok yang dianggap sebagai gurunya para guru pesantren di Jawa.[11] Di samping itu, figur populer Malik Ibrahim mempengaruhi terbentuknya komunitas penyebar Islam di Jawa, dikenal dengan komunitas Walisongo,[12] yang masing-masing menuntaskan islamisasi dalam pengembaraan dan membangun masjid sebagai tempat sentral berkumpulnya komunitas keagamaan, sampai akhirnya terdesak untuk membuat pesantren karena banyaknya peminat dan wilayah yang saling berjauhan untuk proses transfer ilmu sampai terbangunnya jaringan intelektual ulama.
Sebagai gambaran terbangunnya semacam jaringan sarjana muslim berskala dunia adalah dari keberadaan Syekh Ahmad Khatib as-Sambasi Kalimantan yang menjadi mufti Sunni di Makkah dan berperiode dengan Kiai Saleh Darat, masing-masing memiliki santri Nawawi al Bantani dan Mahfud at-Tirmisi. Dari generasi kedua ini, muncullah generasi ketiga Muhammad Kholil Bangkalan serta K.H.R.Asnawi Kudus. Di bawah gerakan generasi ketiga, terjadilah loncatan besar perkembangan penyebaran keilmuan Islam dalam skala luas se-antero Nusantara, masih dalam institusi berwujud pesantren.[13]
Hal demikian karena generasi ketiga yang bernaung dalam institusi pesantren telah mengajarkan sebuah tradisi yang transformatif sebagai adopsi dari strategi penyebaran Islam ala Walisongo, yaitu bukan sekadar mengajak masyarakat dengan Islam, tetapi juga mengubah struktur sosial masyarakat menuju tata sosial yang lebih adil, manusiawi, dan berakar dari pada tradisi setempat. Proses demikian didukung oleh pilar penting penyebaran berdasarkan ikatan kolektifitas slogan, man la syaikhu lahu, fasy Syaithanu syaikhun lahu (siapa yang tidak punya guru, maka setanlah yang akan jadi gurunya). [14] Sikap pesantren tersebut bukan hanya dari segi toleransinya saja, tetapi lebih pada kontribusi pembentukan identitas bangsa dengan kepeduliannya untuk tetap mempertahankan tradisi dan nilai budaya setempat, sehingga melahirkan sebutan Islam Kultural. [15]    
Pemahaman tentang Islam cultural ini penting, supaya mampu menghadirkan varian pendidikan kritis[16] untuk melakukan proagnosa terkait penyebab, konsekuensi, dan cara-cara pemecahan model dikotomik menuju integrasi keilmuan yang memberdayakan sesuai dengan karakteristik budaya masyarakat Nusantara yang heterogen. Dalam konteks ini, unsur emansipatoris menjadi sangat penting sebagai landasan utama membawa masyarakat keluar dari keterpurukan. Emansipatoris adalah derivasi spesifik paradigma humanisme,[17] dimana pengabdian dan pemberdayaan masyarakat lebih dikedepankan daripada klaim pemurnian agama. Aspek kepentingan inilah yang membawa berkembangnya paradigma pendidikan kritis dan berbeda dari yang pernah ada.
Paradigma kultural merupakan mainstream pemikiran Islam yang selama ini berkembang di Indonesia, dan membedakan dengan negara muslim lain di dunia. Asumsi dasar dari paradigma ini adalah bahwasanya Indonesia besar karena sumbangsih besar dari kaum Nahdlatul Ulama (NU), dan NU besar sekaligus dibesarkan dalam tradisi (al-turats). Tradisi yang tergambar dalam keilmuan klasik dan praktik-praktik keagamaan yang berbau lokalitas, telah menjadi bagian terpenting dalam pandangan hidup kalangan Nahdliyin secara umum.
Paradigma kultural tersebut setidaknya sangat dijunjung tinggi dan menjadi identitas terselubung dalam dunia pesantren. Pesantren menjadi institusi pendidikan keagamaan yang sangat baik untuk melestarikan tradisi sekaligus mengembangkannya. Pesantren adalah bentuk institusionalisasi tradisi yang dibentuk kebanyakan oleh kaum elit NU. Tradisi tidak sekadar menghadirkan pandangan-pandangan lama, tetapi mereproduksi dan mereposisi diri berdasarkan konteks realitas, yang berarti aktif sekaligus relevan sepanjang masa dan waktu (sholih li kulli zaman wa makan).
Pelabelan gerakan tradisi terhadap NU juga sebagai konsekuensi atas kelahirannya untuk membela tradisi, yaitu membaca doa dalail al-khairat, membangun kuburan, berziarah, tahlilan, membaca manaqib, al barjanzi, dan kemerdekaan bermazhab, yang terancam oleh kaum puritanisme.[18] Namun dibalik pembelaan tradisi yang dikategorikan konservatif, NU memiliki bibit progresifitas yang dimulai dari pengajaran dan unsur-unsur bernuansa non-agama dalam proses pembelajaran di pesantren Tebuireng, Denanyar, dan Singosari.[19] Hal ini menunjukkan translasi dua arah yang dimainkan kalangan NU sebagai cerminan konsep kosmologinya, ahlussunnah wal jama'ah (Aswaja).
Pandangan dunia NU tersebut menjadikan respon terhadap fenomena kehidupan berdasarkan prinsip keseimbangan, harmonis, dan menghargai kemajemukan sosial. Prinsip semacam ini terangkum dalam tiga aspek keberagamaan, yaitu teologi (aqidah), syari'at, dan etika (tasawuf). [20]
Umat Islam di Indonesia dalam menanggapi tradisi masyarakat lokal, sering diidentikkan dengan tipe pemikiran tradisionalisme sebagai lawan modernisme.[21] Hal ini jelas sesuai dengan uraian di atas. Namun karena modernitas ikut berintegrasi dalam komunitas dan gagasan masing-masing kalangan, label tersebut tidak lagi absah digunakan. M. Muhsin Jamil dalam memetakan pemikiran Islam dengan mengadopsi Muhammad Abid al Jabiri menggunakan tiga tipologi.
Pertama, tipologi yang menolak semua tradisi yang dipersepsi bukan tradisi Islam, karena adanya keyakinan bahwa di dalam Islam sudah mencakup semua aspek kehidupan. Kedua, menonjolkan modernitas karena menganggap bahwa tradisi tidak sesuai dengan kehidupan kontemporer manusia. Ketiga, menjaga tradisi sekaligus mengintegrasikannya dengan modernitas.[22] Tipologi ketiga inilah yang dikembangkan oleh anak muda gerakan tradisioanal (NU) dengan beragam varian,[23] yang mengacu pada prinsip fikih, al muhafazhah 'ala al qadim ash-shalih wal-akhdz bil jadid al-ashlah.
Varian ketiga ini mempunyai concern kepada persoalan-persoalan kemanusiaan daripada persoalan-persoalan teologis. Islam sudah cukup dibela dan tidak perlu dibela, tetapi manusia dan lingkungan hayati  tertindas yang membutuhkan pembelaan. Islam dengan beragam istilah ingin mengalihkan wacana agama dari persoalan melangit (teosentris) menjadi persoalan konkret manusia (antroposentris).
Dalam gugusan pemikiran seperti itu, kalangan pesantren salafy atau identik dengan pesantren NU dan jaringannya, selalu berkonsentrasi melakukan perubahan masyarakat dengan sifat buttom up, yaitu langsung terjun ke lapisan bawah dengan model partisipasi dan aksi pada tataran praksis. Model pendidikan menyatu dengan prinsip-prinsip pelatihan, sehingga format kegiatannya berbentuk Bahtsul Masail, pendampingan atas kebutuhan masyarakat, dan model pelatihan lain.



[1] Husnan Bey Fananie, “Modernism in Islamic Education in Indonesia And India a Case Study of the Pondok Modern Gontor And Aligarh”, Thesis, Netherlands Cooperation in Islamic Studies Leiden University, Leiden, 1997, hal. 6
[2] Dalam tradisi keberagamaan, muslim Indonesia cenderung menerima ketaatan religius sang Kiai, memahami doktrin hanya berlandaskan pada tuturan kiai dan teks-teks dalam kitab salafi abad pertengahan. Akibatnya, klaim sesat begitu semarak karena sesuatu yang “berbau” doktrin agama, selalu diadili berdasarkan teks belaka, tanpa didasari prosedural berfikir akal, nilai-nilai universal kemanusiaan, dan adat kebiasaan. Dari beberapa dasar tersebut, kita bisa menyebut bahwa sunah dan sumber asli doktrin Islam sebagaimana diajarkan Nabi Muhammad, jauh dari maslahat kebangsaan dan kemanusiaan setelah mengalami tampilan respon masyarakat Muslim Indonesia. M. Hasibullah Satrawi, “Fikih Mazhab Indonesia”, dalam [http://www.islamemansipa toris.com/artikel?id=553].
[3] Husnan Bey Fananie, Op. cit, hal. 7
[4] Perkumpulan banyak orang dalam penyebarluasan ilmu pengetahuan dan doktrin agama ini biasa disebut halaqah (study circles, lingkaran belajar) yang sama diselenggarakan di Masjidil Haram Mekah dan Masjid Nabawi Madinah. Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, Sejarah Wacana dan Kekuasaan, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1999, hal. 122.   
[5] Ibid, hal. 8
[6] Untuk menyebut contoh tokoh-tokoh tersebut seperti Syeikh Muhammad Yusuf Abu al Machasin Hadiya Allah Taj al-Khalwati al Maqassari, Nur al Din al Raniri, dan Abdul Rouf al Jawi al Fansuri al Sinkili. Ibid, hal. 145
[7] Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk, dan Makna  (Terj), LKiS Yogyakarta, 1995, hal. 3
[8] Sri Mulyati, “Sufism in Indonesia; an Analysis of  Nawawi al Bantani’s Salalim al Fudala”, Thesis, Institute of Islamic Studies Mc. Gill University, Montreal P.Q. Canada, 1992, hal. 4
[9] Biasanya disebut Syekh Maghribi sebab berasal dari Maghrib (Marocco), dan datang ke Indonesia dari Gujarat (India, Asia Selatan). Wafat pada 8 April 1419 M/ 12 Rabiul Awwal 822 H. Saifudin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, al Ma’arif Bandung, Bandung, 1979, hal. 263. lihat juga Abdurrahman Mas’ud, “Sejarah dan Budaya Pesantren”, dalam Ismail SM, dkk. (Ed), Dinamika Pesantren dan Madrasah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, hal. 3. Bandingkan dengan Husnan Bey Fananie, Op. cit, hal. 9
[10] Pesantren merupakan jenis sekolah di Asia Tenggara yang memberi pengajaran dalam ilmu pengetahuan keIslaman di Jawa, Indonesia. Manfred Ziemek, Pesantren Dalam Perubahan Sosial, LP3ES, Jakarta, 1985, hal. 16.
[11] Saifudin Zuhri, Op. Cit, hal. 263
[12] Secara berturut-turut adalah Maulana Malik Ibrahim, Raden Rahmat, Raden Paku, Maulana Makdum Ibrahim, Syarifudin, Ja’far Shodiq, Raden Sahid, Umar Said, dan Syarif Hidayatullah. Solichin Salam, Sekitar Walisanga, Menara Kudus, Kudus, 1972, hal. 23
[13] Perkembangan luas yang berawal dari pesantren ini didorong dari potensi yang dimiliki pesantren itu sendiri, sebagai basis pendidikan, dakwah, dan kemasyarakatan. Sehingga, karakter inipun secara reflektif akan membentuk karakter alumni yang peduli pada kemajuan, keIslaman, dan pemberdayaan kemanusiaan. Ditransformasikan oleh Hasyim Asyari dengan menjadi agent social of change di wilayah sarang penyamun, Tebuireng Jombang. Lihat Yusuf Hasyim, “Peranan dan Potensi Pesantren Dalam Pembangunan”, dalam Manfred Oepen dan Wolfgang Karcher, Dinamika Pesantren (Kumpulan Makalah Seminar Internasional “The Role of Pesantren in Education and Community Development in Indonesia), P3M, Jakarta, 1988, hal. 89.
[14] Ahmad Baso, NU STUDIES: Pergolakan Pemikiran Antara Fundamentalisme Islam Dan Fundamentalisme Neo-Liberal, Erlangga, Jakarta, 2006, hal. 387
[15] Istilah Islam kultural sebenarnya tidak jelas dalam epistemologi term, namun setidaknya ini mendapatkan booming wacana setelah tokoh intelektual terkemuka NU, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengemukakan gagasan tentang pribumisasi Islam. Menurutnya, wahyu Tuhan hendaknya difahami dengan mempertimbangkan factor-faktor kontekstual dan melakukan rekonsiliasi Islam dengan kekuatan-kekuatan budaya setempat. M. Syafi'I Anwar, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, Membingkai Potret Pemikiran Politik KH Abdurrahman Wahid, dalam pengantar Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita Agama Masyarakat Negara Demokrasi, The Wahid Institute, Jakarta, 2006, hal. xxvii  
[16] Pendidikan kritis adalah model pendidikan yang dipraktikkan sebagai upaya rekonstruksi (perubahan) masyarakat yang menolak sistem kejumudan (antikemapanan). Di antara tokoh-tokoh yang mengusung wacana demikian, misalnya Ivan Illich “de schooling Society”, Paulo Freire “Pedagogy for The Oppressed”, dan Everett Reimer “Kematian Sekolah”. Ahmadi, Ideologi Pendidikan Humanisme Teosentris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hal. 4
[17] Dua pemikir yang berasal dari Semarang mengembangkan paradigma humanisme dengan mengintegrasikan dalam tataran Islam. Pertama, dengan term humanisme religius oleh Prof. Abdurrahman Mas’ud. Lihat dalam bukunya, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik (Humanisme Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam), Gama Media, Yogyakarta, 2002. Kedua, dengan konsep humanisme teosentris yang dikembangkan Prof. Dr. Ahmadi dalam Ideologi Pendidikan Islam; Paradigma Humanisme Teosentris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005. 
[18] Andree Feillard, Op. cit, hal. 11-13.
[19] Abdurrahman Mas'ud, Op.cit, hal. 208
[20]Ahmad Baso, Op.cit, hal. 24
[21] M. Muhsin Jamil, M.A., Membongkar Mitos Menegakkan Nalar, Pergulatan Islam Literal Versus Islam Literal, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hal. 86
[22] Ibid, hal. 126-127. Tiga tipologi ini memiliki kesamaan dengan tipologi yang dihadirkan Masdar Farid Mas'udi dengan istilah Islam tradisional, Islam Fundamental, dan Islam Liberal. Masdar Farid Mas'udi, "Paradigma dan Metodologi Islam Emansipatoris" dalam kumpulan bahan Pendidikan Islam Emansipatoris Angkatan II JIE-P3M, Pusdiklat Depdiknas, 19-24 Mei 2003
[23] Varian tipologi pemikiran anak muda NU membentuk identitasnya masing-masing sesuai lokalitas yang melingkupi. Di Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam NU) berkembang dengan tesis Islam Pribumi, di LKiS berwujud pemikiran Pos-tradisionalisme Islam, di Lembaga Studi Agama dan demokrasi (eLSAD) cenderung biasa menggunakan istilah Islam Kiri, dan di tangan Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) dengan kampanye label Islam Emansipatoris. Hal ini menunjukkan bahwa tradisi adalah kekuatan besar Indonesia. Catatan pribadi dalam dialog subaltern dengan Dr. Yudian Wahyudi dan sahabat-sahabat peserta Pekan Ilmiah Mahasiswa 2006 dalam acara Annual Conference Depag RI di Bandung. Dr. Yudian adalah seorang sarjana muslim Indonesia yang pernah menjadi dosen di Universitas Harvard, dan saat ini aktif mengasuh di "Nawesea" English Pesantren Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar