Jumat, 28 November 2014

UU ITE dan Supremasi Moral




Prita Mulyasari harus berhadapan dengan pengadilan, setelah putusan sela Pengadilan Negeri (PN) Tangerang yang membebaskannya dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi (PT) Banten. Ibu dengan dua putra ini oleh Kejaksaan Negeri Tangerang dijerat dengan pasal 45 jo pasal 27 (3) UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ((UU ITE). UU yang semestinya memberi angin segar bagi pengguna teknologi informasi dan komunikasi elektronik, sebaliknya menjadi UU yang menakutkan karena mengancam kebebasan dengan jerat kejahatan elektronik berupa pencemaran nama baik.
 Dari sinilah prahara hukum itu terjadi karena delik pencemaran nama baik jelas menjadi senjata ampuh yang dapat membungkam demokrasi berpendapat. Prita menjadi tersangka pencemaran nama baik yang dituduhkan RS OMNI Internasional Hospital Alam Sutera Tangerang, setelah menulis keluhan pelayanan RS OMNI terhadap dirinya melalui internet.
Majelis hakim PN Tangerang pada 25 Juni lalu telah mengabulkan eksepsi (keberatan) terdakwa pencemaran nama baik RS Omni International, Prita dan menolak semua dakwaan jaksa penuntut umum (JPU). Menurut ketua majelis, Hakim Tuppu, surat dakwaan JPU batal demi hukum dengan alasan tidak memenuhi syarat sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 143 ayat 2 huruf b KUHAP. Tidak terima putusan tersebut, JPU langsung melakukan perlawanan (verzet) atas putusan itu dan oleh Pengadilan Tinggi Banten putusan PN Tangerang dibatalkan, sehingga secara otomatis dakwaan Prita yang terdahulu dianggap sah. Dari sinilah dapat dibedakan posisi antara supremasi prosedural dengan supremasi moral di dalam proses hukum.
UU ITE yang diundangkan pada 21 April 2008 sebagai cyber law pertama di Indonesia, merupakan bentuk perlindungan kepada seluruh masyarakat dalam dalam rangka menjamin kepastian hukum, khususnya berkenaan dengan maraknya kegiatan berbasis elektronik. Materi yang diatur dalam UU ini adalah hal baru dalam sistem hukum Indonesia, seperti penyelesaian sengketa, perlindungan data, pengakuan transaksi dan alat bukti elektronik semacam e-banking, e-commerce, atau e-buy, dan nama domain atas Hak Kekayaan Intelektual. Dari alasan di atas, keberadaan UU ITE diharapkan mampu memberikan dasar hukum bagi transaksi elektronik agar timbul keteraturan sosial yang memudahkan masyarakat saling bertransaksi.
Posisi UU ITE adalah wujud apresiasi dalam menyikapi konvergensi di bidang telekomunikasi dan informatika (telematika) yang memiliki implikasi luas di tengah masyarakat dan berpotensi melakukan kejahatan pada permasalahan hukum. Persoalan ini perlu difahami ketika misalnya terdapat pengubahan data elektronik tertentu melalui penyadapan, pemalsuan, dan publikasi yang tidak sebenarnya. Maka keberadaan 13 bab dan 54 pasal pada UU ITE sesungguhnya cukup komprehensif dan mengakomodasi semua hal tentang dunia siber, bahkan menyangkut berbagai aspek hukum, seperti hukum transnasional, hukum perdata, hukum administrasi, dan hukum pidana.
Secara kebetulan, kejadian yang menimpa Prita Mulyasari menjadi gerbang sosialisasi gratis dalam ranah hukum pidana dan perdata pada UU ITE tersebut. Masalah meyangkut dengan hak asasi manusia dalam menyampaikan pendapat dan ketentuan sanksi pidana yang berlebihan sekaligus memberatkan karena implementasi peraturan harus memberikan keadilan bagi masyarakat. Oleh sirkumstansi, keterbatasan, dan intensitas waktu yang kurang, maka membawa interpretasi hukum yang subjektif terutama menyangkut pencemaran nama baik di dalam UU ITE tersebut.
Perlu disosialisasikan kembali bahwa di dalam UU ITE setidaknya mengatur dua domain permasalahan. Pertama, adanya pengakuan transaksi elektronik dan dokumen elektronik dalam kerangka pembuktian hukum. Kedua, adanya pengklasifikasian tindakan-tindakan yang tergolong pelanggaran hukum dalam penyalahgunaan teknologi informasi. Di antaranya yang masuk dalam klasifikasi ini adalah pembobolan informasi rahasia, penipuan, persaingan bisnis yang curang, dan hacking. Sementara itu pencemaran nama baik yang mengancam kemerdekaan berpendapat, sejak awal dalam rumusan RUU pada tahun 2003 itu, sudah mendapatkan perlawanan dan gagal untuk uji materiil di Mahkamah Konstitusi. Ibaratnya, supremasi moral telah dikalahkan oleh supremasi prosedural sehingga keputusan yang salah melalui prosedur yang benar maka sulit untuk digugat.
Setidaknya pasal 27, 28, dan pasal 29 pada Bab VII memiliki implikasi pada pelanggaran hak asasi manusia karena membelenggu kebebasan masyarakat untuk memperoleh dan menyampaikan informasi yang secara konstitusional dijamin oleh pasal 28F UUD 1945. Pasal-pasal tersebut tetap bertahan karena mengacu pada perlunya batas dan rambu-rambu dalam kebebasan berpendapat di masyarakat, kendati dalam pasal 310 KUHP juga sudah mengatur adanya batasan kebebasan berpendapat yang tidak mencemarkan nama baik pihak lain. Masuk akal memang perlunya rambu-rambu kemerdekaan berpendapat, tetapi kenyataan menunjukkan konsekuensi berbeda sebagaimana dialami Prita Mulyasari yang harus kembali berhadapan dengan pengadilan karena campur aduknya delik materiil pada aturan-aturan yang ada.
Penulis politik Perancis, Alexis de Tocquelle pernah menyebut bahwa kebebasan informasi di tengah masyarakat adalah sebagai oksigen demokrasi. Pernyataan ini jadi sangat hiperbolis, namun dalam kenyataannya hal tersebut mendapatkan pembenaran bahwa di semua rezim-rezim pemerintahan yang diktator akan beriring dengan pemenggalan kebebasan informasi. Di samping rezim pemerintahan, kalangan pemodal atau berduit juga selalu merampas hak-hak masyarakat atas informasi dan berpendapat dengan dalih pencemaran nama baik. Untuk itulah akhirnya demokrasi mengalami “sesak nafas” perjalanannya.
Thomas Friedman, kolumnis luar negeri untuk The New York Times, dalam bukunya The Lexus and the Olive Tree membedakan tiga macam demokratisasi, yaitu teknologi, informasi, dan keuangan. Di balik ketiganya itu, revolusi teknologi memainkan peranan penting dalam hal peningkatan kapasitas masyarakat mengakses dan mendapatkan informasi yang luar biasa. Adalah benar dan tepat hadirnya era sibernetika merupakan wujud peradaban terakhir sebagaimana diuraikan oleh Alvin Toffler yang membagi tahapan umat manusia dalam tiga gelombang, berupa era agraris, era industri, dan era informasi yang akhirnya menciptakan global village.
Dengan latar belakang itu, “tempora mutantur, nos et mutamur in Illis” yang berarti zaman berubah membuat masyarakat juga berubah bersamanya. Kekecewaan dan kebingungan yang dipicu dari subjektivitas pasal dalam UU ITE menegaskan bahwa persoalan itu perlu diajukan kembali ke Mahkamah Konstitusi untuk diuji materiil, terlebih pasal-pasal tentang pencemaran nama baik yang sudah tidak relevan di masa sekarang. Adalah hak pemerintah dan DPR memberlakukan UU dan peraturan yang dibuatnya, tetapi adalah hak masyarakat juga untuk ikut mengawal perbaikan dan pelaksanaannya.
Apa yang dilakukan Prita lebih lanjut ternaungi dalam pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) PBB yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk berpendapat dan mengeluarkan ekspresinya serta mencari, menerima, dan menyebarkan informasi atau ide gagasan. Dengan berpedoman pada deklarasi tersebut, informasi adalah milik masyarakat dan hal yang mampu mengawal demokrasi untuk tetap hidup karena akan menciptakan iklim pelayanan publik yang lebih terbuka dan transparan, sehingga mematikan upaya pembodohan massal serta pemiskinan struktural sistemik.


Muh. Khamdan, Harian Suara Merdeka, 11 Agustus 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar