Masyarakat baru saja melihat kejadian hukum yang merusak moralitas
sehingga berkembang persepsi bahwa kini sudah tidak ada lagi keadilan di
lembaga penegak hukum. Pertama, putusan hakim terhadap Minah (55) yang diganjar
1 bulan 15 hari penjara dengan masa percobaan 3 bulan atas dakwaan pencurian 3
buah kakao di perkebunan milik PT Rumpun Sari Antan (RSA), Banyumas.
Belum hilang keheranan publik, hukum juga memaksa Basar dan Kolil
mendekam dalam LP Kelas A Kota Kediri karena mencuri sebutir semangka seharga
Rp 5.000. Keterkejutan memuncak ketika hukum melalui PT Banten menuntut Prita
Mulyasari mengganti kerugian material dan immaterial kepada RS Omni Rp 204 juta
karena dakwaan pencemaran nama baik atas pelayanan buruk yang dikeluhkan
melalui surat elektronik.
Terakhir, Manisih (40) dan tiga kerabatanya Rabu (10/12) menjalani
persidangan di PN Batang atas sangkaan mencuri 14 kilogram kapuk randu di
perkebunan PT Segayung, Kecamatan Tulis, Batang. Sidang dilanjutkan Senin
(14/12) ini, untuk mendengarkan eksepsi penasihat hukum terdakwa tersebut.
Kejadian-kejadian hukum itu pada akhirnya menimbulkan pengaruh
sosial yang bermakna bagi masyarakat, lalu tak kalah penting untuk dipahami,
kejadian hukum itu akan meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap pengadilan
sebagai sumber keadilan. Mengapa kejadian ini berdampak pada pengadilan?
Seberapa penting pengaruhnya?
Pengadilan adalah jantung hukum itu sendiri karena menjadi
laboratorium bedah atas paket perundang-undangan, profesional hukum
melaksanakan fungsi, produk keadilan, dan pertarungan antara moral dan
kepentingan-kepentingan lain.
Untuk itulah berkembang adagium klasik di dunia hukum bahwa sebaik
atau seburuk apapun teks perundang-undangan maka produk keadilan yang
dihasilkan tetap tergantung pada sosok-sosok yang menjalankannya. Di sinilah
pentingnya moralitas hukum yang harus dipegang oleh penguasa pengadilan.
Pernyataan itu dapat dikatakan suatu jawaban atas fenomena hilangnya
keadilan di pengadilan adanya kasus Minah, Basar-Kolil, dan Prita Mulyasari. Di
sisi lain, semuanya merupakan kelompok masyarakat kelas bawah sehingga menjadi
bukti langsung bahwa hukum belum dapat dicerna oleh masyarakat awam.
Hukum dan moral sama-sama berkaitan dengan tingkah laku manusia agar
selalu baik, namun positivisme hukum yang murni justru tidak memberikan
kepastian hukum. Itulah sebabnya, hukuman terhadap Amir Mahmud, sopir di BNN
hanya karena sebuah pil ekstasi justru dikenai hukuman 4 tahun oleh Pengadilan
Negeri Jakarta Barat, sedangkan jaksa Ester dan Dara yang telah menggelapkan 343
butir ekstasi hanya divonis 1 tahun.
Hukum merupakan positivasi nilai moral yang berkaitan dengan
kebenaran, keadilan, kesamaan derajat, kebebasan, tanggung jawab, dan hati
nurani manusia. Hukum sebagai positivasi nilai moral adalah legitimasi karena
adil bagi semua orang.
Tanpa moral, hukum tidak mengikat secara nalar karena moral
mengutamakan pemahaman dan kesadaran subjek dalam mematuhi hukum. Hal ini
sebagaimana diungkapkan K Bertens bahwa quid leges sine moribus yang memiliki
arti apa gunanya undang-undang kalau tidak disertai moralitas.
Moral jelas menjadi senjata ampuh yang dapat membungkam kesewenangan
hukum dan pertimbangan kepentingan lain dalam penegakan keadilan di pengadilan.
Minah, manisih cs, Basar, dan Kolil secara substansi hukum memang melakukan
pelanggaran berupa delik pencurian, namun secara moral mesti dipahami bahwa
keadilan di tengah lalu lintas hukum modern adalah menekankan pada struktur
rasional, prosedur, dan format.
Jika hal ini ditiadakan, maka akan menegaskan tulisan Harold Rothwax
dalam buku Guilty- The Collapse of the Criminal Justice System bahwa masyarakat
modern tidak lagi mencari keadilan tetapi mencari kemenangan dengan segala
cara. Setidaknya hal demikian dapat terbaca dalam kasus Prita yang menjadi
tersangka pencemaran nama baik Omni International Hospital Alam Sutera
Tangerang. Prita dituduh setelah menulis keluhan pelayanan rumah sakit itu
terhadap dirinya melalui internet.
Ranah Publik
Keluhan yang dikirim dalam email ke beberapa temannya semula
merupakan ranah pribadi, tetapi kemudian surat elektronik tersebut masuk dalam
mailing list sehingga menjadi ranah publik. Subjektivitas muncul karena dalam
konteks tersebut, moralitas dalam pengadilan tidak membaca adanya Prita sebagai
korban yang membutuhkan keadilan melainkan rumah sakit tersebut sebagai korban.
Menurut Thomas Aquinas dalam buku On the Book of Job, keadilan akan
musnah dalam dua kemungkinan, yaitu karena sebuah kebijaksanaan yang tidak
bijaksana atau karena perbuatan tidak terpuji dari seseorang yang memiliki kekuasaan
atas pengadilan.
Masyarakat harus melakukan check and balances agar hukum benar-benar
memiliki visi moral, yaitu mengutamakan kesamaan perlakuan di hadapan hukum
tanpa ada diskriminasi, sedangkan profesional hukum harus melakukan lompatan
penafsiran atas hukum positif.
Secara kebetulan, kejadian yang menimpa Minah, manisih cs, Basar,
Kolil, dan Prita, sekaligus ketimpangan kasus antara Ester-Dara dan Amir Mahmud
akan menjadi gerbang sosialisasi gratis untuk pembelajaran masyarakat dalam
ranah hukum pidana dan perdata.
Perlu menyosialisasikan kembali tentang pentingnya pemahaman hukum
dan kesadaran hukum yang berwawasan moralitas di masyarakat melalui dua domain
pencapaian. Pertama, pengembangan atas desa sadar hukum. Kedua, adanya
pendidikan hukum rakyat secara dini agar masyarakat mampu mengawal penegakan
keadilan baik secara prosedural maupun moral.
Dalam kenyataan tersebut, kasus-kasus hukum itu adalah konflik
antara hukum dan moral sehingga membawa kondisi pertarungan nilai-nilai
keadilan yang harus dijunjung dalam pengadilan. Oleh karena itu prinsip epikea
mesti dijunjung sebagai suatu interpretasi terhadap hukum positif bukan menurut
naskah hukum melainkan menurut semangat keadilan moral kebatinan pemegang kuasa
pengadilan. Epikea bermaksud mempertahankan esensi hukum yang bersifat
intrinsik dan tidak tertulis, bukan dalih pengingkaran atas hukum yang berlaku.
Pasal 28D Ayat 1 UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil. Hasil
amandemen ini memiliki misi agar tidak terjadi pembiaran penguasa pengadilan
menjatuhkan vonis sesuai kepentingan tertentu, tetapi memiliki semangat
berdasarkan pada keadilan.
Jelas bukan suatu keadilan kalau gara-gara pencurian semangka
seharga Rp 5.000, negara harus menanggung biaya makan Basar dan Kolil di
penjara yang jumlahnya lebih dari berlipat-lipat ganda. Bukankah putusan hakim
justru merugikan negara?
Moral hukum berupa ”adil” ini menjadikan para hakim untuk terdorong
menggali rasa keadilan substantif (substantive justice) daripada terbelenggu
ketentuan UUU (procedural justice). Setidaknya hal tersebut telah menjadi dasar
kepada semua hakim mengingat bahwa setiap putusan, hakim selalu menegaskan
kalau putusan yang dibuat di pengadilan adalah ”demi keadilan berdasarkan
Ketuhanan yang Maha Esa”, bukan ”demi kepastian hukum berdasarkan
Undang-Undang”. Karena itu, keadilan harus disikapi sesuai karakter
masing-masing.
Masyarakat telah menyaksikan betapa simpang-siurnya keadaan hukum
yang tidak memberi kepastian keadilan terutama pada masyarakat kelas bawah.
Untuk itu profesional hukum harus menghargai nilai-nilai kemanusiaan dalam
menegakkan hukum untuk menegakkan keadilan (fiat
iustitia) dengan mengusakan kesesuaian antara kebenaran formal dan kebenaran
material atau mengedepankan kebajikan dan kepatutan (prudence dan equity) agar
keadilan di pengadilan tetap memiliki moralitas sehingga mendapatkan
kepercayaan masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar