Prita Mulyasari harus berhadapan dengan
pengadilan, setelah putusan sela Pengadilan Negeri (PN) Tangerang yang
membebaskannya dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi (PT) Banten. Ibu dengan dua
putra ini oleh Kejaksaan Negeri Tangerang dijerat dengan pasal 45 jo pasal 27
(3) UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ((UU ITE). UU yang
semestinya memberi angin segar bagi pengguna teknologi informasi dan komunikasi
elektronik, sebaliknya menjadi UU yang menakutkan karena mengancam kebebasan
dengan jerat kejahatan elektronik berupa pencemaran nama baik.
Dari
sinilah prahara hukum itu terjadi karena delik pencemaran nama baik jelas
menjadi senjata ampuh yang dapat membungkam demokrasi berpendapat. Prita
menjadi tersangka pencemaran nama baik yang dituduhkan RS OMNI Internasional
Hospital Alam Sutera Tangerang, setelah menulis keluhan pelayanan RS OMNI
terhadap dirinya melalui internet.
Majelis hakim PN Tangerang pada 25 Juni lalu telah
mengabulkan eksepsi (keberatan) terdakwa pencemaran nama baik RS Omni International,
Prita dan menolak semua dakwaan jaksa penuntut umum (JPU). Menurut ketua
majelis, Hakim Tuppu, surat dakwaan JPU batal demi hukum dengan alasan tidak
memenuhi syarat sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 143 ayat 2 huruf b
KUHAP. Tidak terima putusan tersebut, JPU langsung melakukan perlawanan (verzet) atas putusan itu dan oleh
Pengadilan Tinggi Banten putusan PN Tangerang dibatalkan, sehingga secara
otomatis dakwaan Prita yang terdahulu dianggap sah. Dari sinilah dapat
dibedakan posisi antara supremasi prosedural dengan supremasi moral di dalam
proses hukum.
UU ITE yang diundangkan pada 21 April 2008 sebagai
cyber law pertama di Indonesia, merupakan bentuk perlindungan kepada
seluruh masyarakat dalam dalam rangka menjamin kepastian hukum, khususnya
berkenaan dengan maraknya kegiatan berbasis elektronik. Materi yang diatur
dalam UU ini adalah hal baru dalam sistem hukum Indonesia, seperti penyelesaian
sengketa, perlindungan data, pengakuan transaksi dan alat bukti elektronik
semacam e-banking, e-commerce, atau e-buy, dan nama domain
atas Hak Kekayaan Intelektual. Dari alasan di atas, keberadaan UU ITE
diharapkan mampu memberikan dasar hukum bagi transaksi elektronik agar timbul
keteraturan sosial yang memudahkan masyarakat saling bertransaksi.
Posisi UU ITE adalah wujud apresiasi dalam
menyikapi konvergensi di bidang telekomunikasi dan informatika (telematika)
yang memiliki implikasi luas di tengah masyarakat dan berpotensi melakukan
kejahatan pada permasalahan hukum. Persoalan ini perlu difahami ketika misalnya
terdapat pengubahan data elektronik tertentu melalui penyadapan, pemalsuan, dan
publikasi yang tidak sebenarnya. Maka keberadaan 13 bab dan 54 pasal pada UU
ITE sesungguhnya cukup komprehensif dan mengakomodasi semua hal tentang dunia
siber, bahkan menyangkut berbagai aspek hukum, seperti hukum transnasional,
hukum perdata, hukum administrasi, dan hukum pidana.
Secara kebetulan, kejadian yang menimpa Prita
Mulyasari menjadi gerbang sosialisasi gratis dalam ranah hukum pidana dan
perdata pada UU ITE tersebut. Masalah meyangkut dengan hak asasi manusia dalam
menyampaikan pendapat dan ketentuan sanksi pidana yang berlebihan sekaligus
memberatkan karena implementasi peraturan harus memberikan keadilan bagi
masyarakat. Oleh sirkumstansi, keterbatasan, dan intensitas waktu yang kurang,
maka membawa interpretasi hukum yang subjektif terutama menyangkut pencemaran
nama baik di dalam UU ITE tersebut.
Perlu disosialisasikan kembali bahwa di dalam UU
ITE setidaknya mengatur dua domain permasalahan. Pertama, adanya pengakuan
transaksi elektronik dan dokumen elektronik dalam kerangka pembuktian hukum.
Kedua, adanya pengklasifikasian tindakan-tindakan yang tergolong pelanggaran
hukum dalam penyalahgunaan teknologi informasi. Di antaranya yang masuk dalam
klasifikasi ini adalah pembobolan informasi rahasia, penipuan, persaingan
bisnis yang curang, dan hacking. Sementara itu pencemaran nama baik yang
mengancam kemerdekaan berpendapat, sejak awal dalam rumusan RUU pada tahun 2003
itu, sudah mendapatkan perlawanan dan gagal untuk uji materiil di Mahkamah
Konstitusi. Ibaratnya, supremasi moral telah dikalahkan oleh supremasi
prosedural sehingga keputusan yang salah melalui prosedur yang benar maka sulit
untuk digugat.
Setidaknya pasal 27, 28, dan pasal 29 pada Bab VII
memiliki implikasi pada pelanggaran hak asasi manusia karena membelenggu
kebebasan masyarakat untuk memperoleh dan menyampaikan informasi yang secara
konstitusional dijamin oleh pasal 28F UUD 1945. Pasal-pasal tersebut tetap
bertahan karena mengacu pada perlunya batas dan rambu-rambu dalam kebebasan
berpendapat di masyarakat, kendati dalam pasal 310 KUHP juga sudah mengatur
adanya batasan kebebasan berpendapat yang tidak mencemarkan nama baik pihak
lain. Masuk akal memang perlunya rambu-rambu kemerdekaan berpendapat, tetapi
kenyataan menunjukkan konsekuensi berbeda sebagaimana dialami Prita Mulyasari
yang harus kembali berhadapan dengan pengadilan karena campur aduknya delik
materiil pada aturan-aturan yang ada.
Penulis politik Perancis, Alexis de Tocquelle pernah
menyebut bahwa kebebasan informasi di tengah masyarakat adalah sebagai oksigen
demokrasi. Pernyataan ini jadi sangat hiperbolis, namun dalam kenyataannya hal
tersebut mendapatkan pembenaran bahwa di semua rezim-rezim pemerintahan yang
diktator akan beriring dengan pemenggalan kebebasan informasi. Di samping rezim
pemerintahan, kalangan pemodal atau berduit juga selalu merampas hak-hak
masyarakat atas informasi dan berpendapat dengan dalih pencemaran nama baik.
Untuk itulah akhirnya demokrasi mengalami “sesak nafas” perjalanannya.
Thomas Friedman, kolumnis luar negeri untuk The
New York Times, dalam bukunya The Lexus and the Olive Tree
membedakan tiga macam demokratisasi, yaitu teknologi, informasi, dan keuangan.
Di balik ketiganya itu, revolusi teknologi memainkan peranan penting dalam hal
peningkatan kapasitas masyarakat mengakses dan mendapatkan informasi yang luar
biasa. Adalah benar dan tepat hadirnya era sibernetika merupakan wujud
peradaban terakhir sebagaimana diuraikan oleh Alvin Toffler yang membagi
tahapan umat manusia dalam tiga gelombang, berupa era agraris, era industri,
dan era informasi yang akhirnya menciptakan global village.
Dengan latar belakang itu, “tempora mutantur,
nos et mutamur in Illis” yang berarti zaman berubah membuat masyarakat juga
berubah bersamanya. Kekecewaan dan kebingungan yang dipicu dari subjektivitas
pasal dalam UU ITE menegaskan bahwa persoalan itu perlu diajukan kembali ke
Mahkamah Konstitusi untuk diuji materiil, terlebih pasal-pasal tentang
pencemaran nama baik yang sudah tidak relevan di masa sekarang. Adalah hak
pemerintah dan DPR memberlakukan UU dan peraturan yang dibuatnya, tetapi adalah
hak masyarakat juga untuk ikut mengawal perbaikan dan pelaksanaannya.
Apa yang dilakukan Prita lebih lanjut ternaungi
dalam pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration
of Human Rights) PBB yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk
berpendapat dan mengeluarkan ekspresinya serta mencari, menerima, dan
menyebarkan informasi atau ide gagasan. Dengan berpedoman pada deklarasi
tersebut, informasi adalah milik masyarakat dan hal yang mampu mengawal
demokrasi untuk tetap hidup karena akan menciptakan iklim pelayanan publik yang
lebih terbuka dan transparan, sehingga mematikan upaya pembodohan massal serta
pemiskinan struktural sistemik.
Muh. Khamdan, Harian
Suara Merdeka, 11 Agustus 2009