Pendahuluan
Ulama
dan politisi merupakan dua peran yang sangat dominan dalam menjalankan proses
islamisasi di Indonesia. Masing-masing melaksanakan peran melalui
pranata-pranata sosial yang ada dengan disertai upaya mobilisasi kekuatan
massa. Hal ini jugalah yang menjadikan Mark Cammark menyoroti relasi antara
peran ulama dan peran politisi dalam proses pelahiran Undang-Undang Pengadilan Agama.
Lahirnya
UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama ini menjadikan lahirnya dua
istilah utama, yaitu islamisasi Indonesia dan Indonesianisasi Islam. Simbiosis
mutualisme antara ulama dan politisi tersebut terjalin sangat kuat, kendati
justru dapat dilihat dengan pandangan yang berlainan. Pandangan pertama tentu
menggambarkan adanya posisi kuat para ulama dalam sistem penyelenggaraan negara
sehingga dapat melahirkan UU Pengadilan Agama. Pandangan lainnya, jutru
menunjukkan bahwa ulama hanya menjadi subordinat dari wacana global pertarungan
politik.
Hal
ini terlihat dari pengantar pada artikelnya Mark Cammark bahwa isu-isu dalam UU
Pengadilan Agama pada dasarnya hanya sebuah strategi menetralkan Islam sebagai
landasan politik dan pengerahan hukum. Dalam artikel tersebut juga dijelaskan
kalau UU ini justru lebih tampak sebagai kebijakan mengontrol hukum dan politik
Islam yang telah didengung-dengungkan dua puluh tahun sebelumnya, 1960-an.
Artikel
yang ditulis Mark Cammark ini terdiri dari pendahuluan tentang sejarah singkat
pengadilan Islam di Indonesia, konteks ketentuan-ketentuan pada UU Nomor 7
Tahun 1989, serta suatu kasus dalam delik UU terkait dengan cerai oleh
laki-laki.
Latar Belakang Sejarah UU Pengadilan Agama
Lembaga Peradilan Agama telah tumbuh dan berkembang sesuai
dengan keyakinana umat Islam jauh sebelum Belanda menjajah Indonesia. Penjajahan
Belanda menjadi patokan karena peradilan Islam yang ada saat ini pada umumnya
mengacu pada sebuah Dutch Royal Decree
(Dekrit Kerajaan Belanda) Tahun 1882. Usaha Belanda menghapuskan lembaga
tersebut tidak berhasil, dan karenanya, wajar apabila umat Islam sangat
mendambakan segera keluarnya Undang-Undang Peradilan Agama sejak Indonesia
memperoleh kemerdekaan.
Intervensi yang diadopsi oleh Belanda atas saran penasihat
kolonial sekaligus islamisis bernama C. Snouck Hurgronje, pada 1937 mengatur
kewenangan masalah warisan dari peradilan agama ke peradilan sipil. Hal ini
untuk mendiskriminasikan yurisdiksi peradilan Islam hanya sebatas hukum tentang
pernikahan dan perceraian.
Untuk
beberapa dekade, beberapa kelompok wanita Indonesia telah mengagitasi batasan
hukum dan pelarangan poligami. Draft usulan terhadap pemerintahan kolonial
telah menetapkan sebuah prosedur pendaftaran tentang perempuan yang pernikahannya
telah terdaftar dan mendapatkan perlindungan hukum terhadap perceraian dan
poligami. Namun draft ini mendapatkan pertentangan oleh kedua belah pihak sesama
kelompok Islam, antara yang memandang langkah hal itu tidak sesuai dengan hukum
agama dengan kelompok yang memandang perlindungan tersebut sebagai keharusan
untuk menjaga kepentingan perempuan. Karena polemik yang berkepanjangan, maka
draf usulan tersebut dicabut.
Melalui
peristiwa kemerdekaan bangsa Indonesia, terjadi sejumlah perubahan mengenai
Pengadilan Islam, namun kepergian Belanda tidak merubah secara signifikan
perdebatan mengenai pengadilan tersebut, atau masih berlangsungnya kekuatan pro
dan kontra. Satu hal yang kemudian dimaksudkan untuk menyelesaikan konflik
tersebut adalah melalui pembentukan Kementerian Agama. Pembentukan Kementrian Agama,
dianggap hal yang unik dalam dunia Islam karena memungkinkan adanya konsolidasi
keseluruhan tata administrasi Islam di bawah suatu otoritas negara dan
memastikan bahwa institusi Islam akan berada di bawah kontrol kelompok Islam
itu sendiri, sedangkan kaum nasionalis sekuler mendominasi Kementerian Kehakiman
dan institusi negara lainya.
Selain
itu ilustrasi sejarah tersebut, hal penting lain yang mendukung keberlangsungan
Pengadilan Agama adalah munculnya partai-partai politik Islam yang mampu mengoreksi
kadar sekulerisasi dan modernisasi yang dijalankan oleh pemegang kekuasaan birokrasi.
Meskipun para pemimpin Islam terkadang tidak setuju terhadap isu Pengadilan
Islam dan kecewa atas adanya penyerapan Pengadilan Islam pada Pengadilan Sipil,
tidak ada kekuatan dalam upaya memiasahkan Pengadilan Islam guna mencegah penghapusan
pengadilan tersebut.
Mengikuti UU Tahun
1951, Menteri Agama yang telah mengambil alih administrasi Pengadilan Islam di
Jawa dam Madura pada 1946, membentuk sistem penyatuan dan pemusatan sekaligus pengembangan
Pengadilan Islam. Beberapa tahun selanjutnya, Kementerian Agama bekerja dengan
para pemimpin daerah untuk menyerap kontrol terhadap Pengadilan Islam yang
telah ada dan membentuk sejumlah pengadilan baru berdasarkan peraturan menteri.
Kementerian juga
dapat menggunakan kantor-kantor urusan agama daerah, yang ada di seluruh
Indonesia, untuk melaksanakan kontrol terhadap masalah pernikahan dan hak waris
di daerah tanpa Pengadilan Agama. Akhirnya, pada tahun 1957 Kabinet menyetujui
sebuah peraturan yang memberi wewenang terhadap pembentukan Pengadilan Agama di
seluruh pulau-pulau luar yang belum ada. Pola setelah dekrit kerajaan tahun
1882, peraturan tahun 1957 mengatur pembentukan Pengadilan Islam, dinamai pengadilan Agama atau Mahkamah Syariah,
dimana Pengadilan Sipil memberi yurisdiksi teritorial yang sama besar dengan
Pengadilan Sipil. Pengadilan Islam yang baru memiliki organisasi kolektif yang
sama dengan pengadilan yang dibentuk dibawah era peraturan Belanda. Tidak
seperti pengadilan yang ada saat ini, begaimanapun juga urusan utama dari pengadilan
yang baru akan terdiri dari urusan hak waris, pernikahan dan perceraian.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman telah mengakui Peradilan Agama setara dengan
peradilan lainnya. Ini terdapat pada pasal 10 ayat 2, yaitu: “Kekuasaan
Kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan (a) Peradilan Umum, (b)
Peradilan Agama, (c) Peradilan Militer, (d) Peradilan Tata Usaha Negara”. Hal
ini membuat umat Islam semangat untuk membuat Undang-Undang yang mengatur
Peradilan Agama.
Makna kekuasaan kehakiman sama artinya dan tujuannya dengan
kekuasaan peradilan atau judicial power,
yakni kekuasaan yang menjalankan fungsi dan kewenangan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan dalam negara hukum Republik Indonesia. Tugas
pokoknya menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara
yang diajukan kepadanya.
Usaha untuk mempersiapkan Rancangan Undang-Undang
Peradilan Agama telah dimulai oleh Departemen Agama sejak 1961, yaitu sejak
dibentuknya sebuah panitia dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 66 Tahun 1961.
Dalam masa 28 tahun sejarah pembentukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama (1961-1989), kegiatan persiapan RUU PA telah
menghabiskan waktu selama 27 tahun (1961-1988) dan pembahasannya di DPR RI selama
satu tahun, yaitu sejak diantarkannya RUU tersebut melalui amanat Presiden
Nomor R.06/PU/XII/1988 tanggal 3 Desember 1988 untuk dibicarakan dalam sidang
DPR RI guna mendapatkan persetujuan, sampai disetujui dalam sidang pleno DPR RI
pada tanggal 14 Desember 1989.
Dalam kurun waktu 27 tahun mempersidangkan RUU PA dapat
dibagi kedalam tiga periode, yaitu: [1]
1.
Periode Pertama (1961-1971), dalam
periode ini kegiatan terbatas dalam lingkungan intern Departemen Agama sendiri
dan belum dilakukan langkah-langkah keluar
2.
Periode Kedua (1971-1981), dalam
periode ini sudah dilakukan usaha-usaha keluar Departemen Agama, namun belum
diperoleh sambutan dari instansi terkait maupun yang langsung menyetujui
gagasan dipersiapkannya RUU PA
3.
Periode Ketiga (1981-1988), dalam
periode ini gagasan mempersiapkan RUU PA yang telah lama didambakan oleh
Departemen Agama langsung mendapat persetujuan dari instansi terkait yang lain.
Persetujuan tersebut dimulai oleh Mahkamah Agung pada 1981 dan kemudian oleh
Departemen Kehakiman pada 1982, yaitu melalui Keputusan Menteri Kehakiman tahun
1982 No. G-164-PR-04.03/1982 yang berisi keputusan untuk membentuk tim pembahas
dan penyusun rancangan tersebut. Tertunjuk sebagai ketua tim adalah Prof. Dr.
Bustanul Arifin (Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Agama Mahkamah Agung
saat itu).
Dengan keluarnya keputusan Menteri Kahakiman tahun 1982
yang berisi keputusan untuk membentuk tim pembahas dan penyusun Rancangan
Undang-Undang mengenai Peradilan Agama, maka rancangann Undang-Undang mengenai
peradilan ini mulai ditanggapi. Dengan menunjuk Prof. Dr. Bustanul Arifin
sebagai ketua tim pembahas RUU ini. Untuk menegakkan hukum Islam yang berlaku
secara yuridis formal dalam negara Republik Indonesia, pada tanggal 8 Desember
1988, Presiden Republik Indonesia menyampaikan RUU Peradilan Agama kepada DPR untuk
dibicarakan dan disetujui sebagai Undang-Undang menggantikan semua peraturan
perundang-undangan tentang peradilan agama yang tidak sesuai lagi dengan UUD
1945 dan Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman 1970.
Harapan umat
muslim bahwa orde baru lebih bersahabat daripada orde lama ternyata salah. Pada 1973, Pengadilan Islam mengalami
perjuangan untuk mendukung eksistensi kepentingan umat Islam. Juli pada tahun
itu diajukan sebuah draft hukum pernikahan yang bersifat sekuler dan secara
efektif menghapus sistem Peradilan Islam.
Departemen Agama maupun organisasi Islam tidak diikutsertakan pada
pembuatan draftnya. Langkah tersebut merupakan dorongan dari para penasehat
presiden yang dipimpin oleh Mr. Ali Mustopo dan grup katolik yang didominasi tim
peneliti, Pusat Studi Strategi dan pihak dunia internasional. Kelompok ini
tidak hanya fokus pada Peradilan Islam, tetapi juga menemukan bahwa isu
undang-undang pernikahan memberikan kesempatan untuk menyerang politik islam.
Draft ini
memberikan satu paket peraturan pernikahan dan perceraian yang dapat diterapkan
di Indonesia pada semua agama apapun. Hal ini mensyaratkan adanya registrasi
pada penikahan dan persetujuan pengadilan untuk cerai dan poligami. Baik
perceraian ataupun pernikahan poligami, akan menjadi subjek untuk dibatasi secara
katat. Penyelenggaraan hukum dipercayakan kepada Pengadilan Sipil, yang telah mengurangi
yurisdiksi pengadilan-pengadilan di pulau terluar sebatas masalah warisan dan
membiarkan Pengadilan Islam di Jawa, Madura dan Kalimantan Selatan untuk tidak
menpunyai tugas.
Usulan ini
dihadapi dengan kemarahan kaum muslim oposisi baik dari dalam maupun luar
legislatif. Pada sautu waktu ribuan pemuda muslim turun ke lantai dewan
legislatif dan miter digunakan untuk mengamankan. Konflik mulai reda ketika
pimpinan militer mengusulkan diskusi di luar proses formal legislatif dengan
kaum muslim. Partai-partai saat itu menyetujui adanya revisi rancangan
undang-undang dimana kaum muslim menerima permintaan batasan hukum pada
perceraian yang semena-mena dan poligami, dengan perjanjian bahwa substansi hukum
pernikahan tidak akan diubah dan peran Pengadilan Islam tidak dikurangi.
Akhirnya sebuah undang-undang disetujui oleh badan leagislativee pada tahun
1973 dan ditandatangani presiden sebagai UU tentang pernikahan tahun 1974.
Sebelum
ditetapkan sebagai Undang-Undang, sebuah peraturan harus melalui adanya proses
penyusunan naskah akademik peraturan, yaitu konsep awal yang menggambarkan
tentang garis besar perundang-undangan yang akan dibuat. Naskah akademik
tersebut juga dimaksudkan untuk menguraikan secara mendalam berbagai aspek yang
berkaitan dengan sebuah rancangan peraturan sehingga dapat mudah difahami
pokok-pokok fikiran yang menjadi bahan dan dasar sebuah rancangan peraturan.
Keberadaan
naskah akademik inilah yang menjadikan adanya acces acountabelities dan responsibelities
(keterbukaan dan tanggung jawab) yang melembaga termasuk kontrol sosial dari masyarakat,
baik melalui lembaga swadaya, individu, kelompok, pers, masyarakat hukum, dan
komponen masyarakat lainnya. Hal ini mengandung makna bahwa proses berdemokrasi
juga diberlakukan terutama dalam proses legislasi, dan inilah makna
demokratisasi hukum atas lahirnya RUU Pengadilan Agama menjadi UU Pengadilan
Agama di Indonesia sekaligus lahirnya UU tentang pernikahan tahun 1974.
Penyusunan RUU tersebut banyak mendapat tantangan dari
berbagai pihak untuk menggagalkannya. Setidaknya dapat digolongkan menjadi tiga
kelompok, yaitu:
Kelompok pertama, mengatakan bahwa dalam rangka menuju
unifikasi hukum di Indonesia, Peradilan Agama tidak diperlukan lagi karena akan
ada dualisme dalam sistem peradilan di Indonesia. Kalaupun ada Peradilan Agama,
maka harus berinduk kepada Peradilan Umum. Kelompok ini ingin mempertahankan status quo, dimana Peradilan Agama tidak
mempunyai kebebasan untuk mengimplementasikan kompetensinya, bahkan ingin agar Peradilan
Agama sebagai subordinat dari Peradilan Umum.
Kelompok kedua, adanya yang menginginkan agar Peradilan
Agama dibubarkan dengan dalih umat Islam mengurus sendiri hukum Islam yang dianut.
Orang-orang ini menolak karena berpendapat bahwa agama itu dipisahkan dari
campur tangan negara (sekuler), termasuk intervensi negara dalam soal mengurus
Peradilan Agama. Partai Demokrasi Indonsia (PDI), kelompok non muslim dan
kelompok sekuler bahkan sebagian pemimpin-pemimpin Islam juga keberatan dengan
RUU PA ini. Bahkan partai berkuasa Golkar terpecah menjadi dua kelompok,
kelompok yang setuju dan kelompok yang menentang.
Kelompok ketiga, menganggap adanya RUU PA menjadi bentuk diskriminasi
tersendiri terhadap terhadap kelompok lainnya sehingga eksistensi Peradilan
Agama harus dibibarkan. Oleh karena itu, muncullah tuduhan bahwa RUU PA merupakan
strategi untuk memberlakukan kembali Piagam Jakarta.
Dari ketiga kelompok di atas, pada prinsipnya sama yakni
keberatan terhadap Peradilan Agama. Kelompok pertama melihat dari segi politik
hukum yang berkembang sejak masa penjajahan dengan memberlakukan Peradilan
Agama hidup tanpa eksistensi yang jelas. [2]
Tanggapan kelompok ketiga mengaitkan dengan rencanan
menghidupkan kembali Piagam Jakarta yang pernah direvisi terutama menyangkut
kalimat: “dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” pada sila pertama menjadi “Ketuhanan yang maha esa”. Kelompok ini
terlalu berlebihan karena mereka khawatir terhadap rencana pembentukan Negara
Islam.
UU Peradilan Agama Tahun 1989
UU ini terdiri dari 108 bagian terbagi menjadi 7 bab.
Segala uraian dilengkapi penjelasan perbagian. Bab pertama tentang “ketentuan umum”
dan terdiri bagian pada definisi, status, lokasi, dan organisaasi serta
pengadilan Islam. Ini mengartikan peradilan agama sebagai pengadilan bagi
penganut Islam. Pengadilan ini terdiri dari pengadilan agama, ditandai pada bab
selanjutnya, sebagai pengadilan dari contoh pertama, dan pengadilan tinggi
agama yang menjalankan fungsi pengadilan banding yang ada di 18 dari 27
provinsi yang ada masa itu.
Bab kedua dari UU tersebut mengatur struktur dan
komposisi dari pengadilan. Di antara ketentuan ini, ada peraturan yang mengatur
perjanjian kualifikasi hakim. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan hakim
berada di tangan presiden sebagai kepala negara berdasarkan rekomendasi Menteri
Agama dan peresetujuan MA. Kekuasaan memberikan wewenang pada MA atas seleksi
hakim, sebagaimana yang telah dijalankan beberapa tahun sebelum UU diajukan,
memformalkan campurtangan MA dalam manajemen pengadilan Islam berlawanan dengan
tradisi eksklusif kontro Departemen Agama.
Bab ketiga menetapkan kekuatan Pengadilan Islam. Ayat
49 menyatakan bahwa “Pengadilan Agama memiliki tanggungjawab dan wewenang untuk
menilai, memutuskan dan menyelesaikan permasalahan pertama kali antara umat
muslim di daerahnya, terdiri dari: a) pernikahan, b) warisan, wasiat, dan hibah
yang dijalankan menurut hukum Islam, c) yayasan amal.
Bab keempat mengatur prosedur yang dijalankan pada
pengadilan Islam. Bagian pertama pada bab ini mencakup ketentuan umum, diawali
dengan peraturan umum, bahwa tatacara hukum yang diikuti pengadilan Islam yang
tercakup dalam kode prosedur sipil dan dapat diterapkan pada pengadilan sipil,
kecuali seperti yang secara spesifik tercantum di UU. Bagian pertama ini juga
mencakup ketentuan mengenai media penerapan kekuatan hokum secara umum seperti
ketentuan unik pengadilan Islam.
Analisis Atas Lahirnya UU Pengadilan Agama
Untuk menjelaskan politik hukum pemerintahan Orde Baru
terhadap lembaga Peradilan Agama, maka perlu dipahami mulai dari sejarah hukum
terutama yang berkaitan dengan lembaga itu, ide lahirnya, persiapan, penyusunan
samapai pada bentuk final produk hukum itu. Usaha ini menjadi penting untuk
melihat secara pasti refleksi politik pada masa rezim Soeharto.
Dalam perspektif produk hukum, ada dua proses politik
dalam suatu masyarakat, untuk pembangunana hukum, yaitu: Pertama, produk hukum yang dihasilkan melalui kerangka strategi
pembangunan hukum yang dapat disebut ortodok, dimana karakter ini bersifat kaku
dan kurang terbuka bagi perubahan, dengan demikian hukum menjadi tanggap
terhadap tuntunan kebutuhan masyarakat. Kedua,
produk hukum yang dihasilkan juga bersifat opresif karena secara sepihak hukum
menentukan persepsi sosial para pengambil kebijakan.
Pengaruh politik terhadap hukum dapat berlaku terhadap
penegakan hukumnya dan karakteristik produki-produk serta proses pembuatannya.
Keadaan politik tertentu dapat mempengaruhi sproduk hukum, untuk kasus
Indonesia, kita dapat mencatat banyak contoh. Kasus lahirnya Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama dapat diambil sebagai contoh. Kedua Undang-Undang tersebut
sama-sama lahir pada era Orde Baru, tetapi hubungan politik anatara pemerintah
dan umat Islam atau hubungan antara negara dan agama yang melatarbelakangi
keduanya berada dalam suasana yang berbeda.
Undang-Undang Perkawinan lahir dalam keadaan politik
konflik dan saling curiga, sedangkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 lahir ketika
hubungan pemerintah dan umat Islam sedang melakukan akomodasi. Dari kedua
Undang-Undang yang lahir pada periode hubungan yang berbeda itu kita dapat
melihat betapa keadaan politik tertentu telah menetukan pilihan atas materi
produk hukum. RUU tentang perkawinan yang diajukan pada periode konflik politik
ternyata menyambut protes dan demonstrasi karena materinya memuat banyak hal
yang bertentangan dengan ajaran Islam. Pada saat itu pemerintah yang tidak
mesra dengan Islam mengajukan RUU yang dipandang dari sudut akidah Islam harus
ditolak, sementara umat Islam sendiri yang sedang “agak” oposan dengan
pemerintah mencurigai RUU tersebut sebagai upaya mengucilkan Islam.
Maka, jelas bahwa politik saling curiga dan konflik itu
melahirkan rancangan produk hukum yang juga menggambarkan kesalingcurigaan.
Akan terlihat sebaliknya pada kasus RUU tentang Peradilan Agama (yang kemudiann
menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989) yang lahir pada saat hubungan antara
pemerintah dan umat Islam secara politis saling akomodasi ini ternyata dapat
dukungan luas dari umat Islam karena hal itu seakan-akan menjadi kado mewah
bagi umat Islam. Pada saat musim akomodasi Undang-Undang pemerintah tidak ragu
untuk mengajukan RUU yang sangat didambakan oleh umat Islam. Itulah bukti, untuk
kasus Indonesia, betapa keadaan politik tertentu memberi jalan bagi munculnya
pembuatan hukum yang tertentu pula.
Dalam masalah produk hukum terutama mengenai Undang-Undang
tentang Ketentuan Pokok Kehakiman (Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970) mengakui secara
tegas Peradilan Agama sebagai kekuasaan kehakiman. Oleh sebab itu secara formal
dilihat dari aspek yuridis, konfigurasi politik Orde Baru dapat disebut berada dalam
demokratis dan produk hukumnya yang responsif.
Dari perspektif pembentukan hukum, Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1970 dapat disebut responsif karena aspirasi seluruh masyarakat
tertampung dan cenderung akomodatif terhadap kebuthan dalam bidang peradilan.
Sedangkan dari segi implementasi perundangannya, bersifat fakultatif dan
legitimatif. Regulatif karena ia lebih banyak mengatur etika peradilan,
prosedural dan praktis operasional.
Politik akomodasi legislatif yang dilakukan pemerintah,
yaitu untuk mencari simpati dan dukungan dari umat Islam, karena pada masa itu
bersamaan dengan munculnya “Revolusi Islam Iran” (tahun 1979) yang merupakan simbol
kebangkitan Islam dunia yang dapat mempengaruhi politik Soeharto.
UU ini mengatur tiga skema berbeda untuk tiga macam
perceraian, talak cerai, gugat cerai, dan perceraian karena perzinaan. Prosedur
talak cerai yang secara umum mengikuti urutan berkenaan porsi pada peraturan pelaknsanaan
yang dikeluarkan pada 1975 untuk menerapkan UU penikahan, membiarkan suami menyajikan penyangkalan atau talak “saya ceraikan kamu” di pengadilan, di bawah
pengawasan pengadilan.
Menurut ajaran Islam, seorang suami memiliki kekuasaan
penuh untuk menalak istrinya kapanpun dengan alasan apapun. Di bawah UU,
mengikuti UU 1975, seorang suami yang ingin menalak istrinya harus menbuat
permohonan meminta pengadilan memanggil saksi untuk pengucapan talaknya. Dalam
suatu perubahan yang sederhana yang dibuat untuk lebih melindungi istri, suami
harus mengisi permohonan pada pengadilan di kabupaten dimana istrinya tinggal,
dari tempat tinggal dia sendiri, seperti diijinkan pada peraturan 1975.
Permohonan suami harus menyajikan nama, umur, tempat
tinggal kedua pihak, dan juga alasan utama talak. UU tidak menentukan apa alasan
yang dapat dierima sebagai alasan yang cukup. Pengadilan harus menilai
permohonan dalam sesi tertutup dalam 3 hari setelah terdaftar pada petugas.
Dalam menjaga kebijakan dalam rangka mencoba mengurangi frekuensi perceraian,
pengadilan ditugaskan mencoba mendamaikan pasangan pada saat pendengaran
pertama. Apabila pasangan tidak bias didmaikan dan adaa alas an yang memadai
maka pengadilan memutuskan bahwa permohonan dikabulkan.
Undang-Undang ini mengijinkan istri mengajuksn banding
terhadap putusan pengadilan yang menyatakan bahwa dasar perceraian memang ada.
Hanya setelah keputusan final melalui semua proses banding atau jatuh tempo
waktu pengisian banding pengadilan menjadwalkan pendengaran tujuan penyaksian
talak suami. Tatacara ini di tetapkan dengan surat edaran MA yang
dikeluarkan1985.
Pengaruh pembaharu Islam pada persiapan pembuatan UU
mengindikasikan pergantian yang lebih general pada posisi Islam pembaharu
vis-à-vis Negara Indonesia. Sebaliknya, pada tahun 1970 para pejabat eselon
atas kementerian agama di dominasi para pembaharu, yang paling terkenal adalah
H. Munawir Sjadzali, Menteri Agama 2 periode, yang mengawal UU ini melalui
dewan legislatif yang secara resmi mengajukan proposal pada 1980 dengan mengundang
banyak kontroversi. Dulu, hakim pengadilan tradisional dilatih di
pesantren, namun sekarang pengadilan
diisi para lulusan institusi islam negeri yang dinyatakan berorientasi
pembaharuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar