Minggu, 29 Januari 2012

Undang-undang Pengadilan Agama Dalam Politik Hukum Islam

Pendahuluan

Ulama dan politisi merupakan dua peran yang sangat dominan dalam menjalankan proses islamisasi di Indonesia. Masing-masing melaksanakan peran melalui pranata-pranata sosial yang ada dengan disertai upaya mobilisasi kekuatan massa. Hal ini jugalah yang menjadikan Mark Cammark menyoroti relasi antara peran ulama dan peran politisi dalam proses pelahiran Undang-Undang Pengadilan Agama.
Lahirnya UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama ini menjadikan lahirnya dua istilah utama, yaitu islamisasi Indonesia dan Indonesianisasi Islam. Simbiosis mutualisme antara ulama dan politisi tersebut terjalin sangat kuat, kendati justru dapat dilihat dengan pandangan yang berlainan. Pandangan pertama tentu menggambarkan adanya posisi kuat para ulama dalam sistem penyelenggaraan negara sehingga dapat melahirkan UU Pengadilan Agama. Pandangan lainnya, jutru menunjukkan bahwa ulama hanya menjadi subordinat dari wacana global pertarungan politik.
Hal ini terlihat dari pengantar pada artikelnya Mark Cammark bahwa isu-isu dalam UU Pengadilan Agama pada dasarnya hanya sebuah strategi menetralkan Islam sebagai landasan politik dan pengerahan hukum. Dalam artikel tersebut juga dijelaskan kalau UU ini justru lebih tampak sebagai kebijakan mengontrol hukum dan politik Islam yang telah didengung-dengungkan dua puluh tahun sebelumnya, 1960-an.
Artikel yang ditulis Mark Cammark ini terdiri dari pendahuluan tentang sejarah singkat pengadilan Islam di Indonesia, konteks ketentuan-ketentuan pada UU Nomor 7 Tahun 1989, serta suatu kasus dalam delik UU terkait dengan cerai oleh laki-laki.

Latar Belakang Sejarah UU Pengadilan Agama

Lembaga Peradilan Agama telah tumbuh dan berkembang sesuai dengan keyakinana umat Islam jauh sebelum Belanda menjajah Indonesia. Penjajahan Belanda menjadi patokan karena peradilan Islam yang ada saat ini pada umumnya mengacu pada sebuah Dutch Royal Decree (Dekrit Kerajaan Belanda) Tahun 1882. Usaha Belanda menghapuskan lembaga tersebut tidak berhasil, dan karenanya, wajar apabila umat Islam sangat mendambakan segera keluarnya Undang-Undang Peradilan Agama sejak Indonesia memperoleh kemerdekaan.
Intervensi yang diadopsi oleh Belanda atas saran penasihat kolonial sekaligus islamisis bernama C. Snouck Hurgronje, pada 1937 mengatur kewenangan masalah warisan dari peradilan agama ke peradilan sipil. Hal ini untuk mendiskriminasikan yurisdiksi peradilan Islam hanya sebatas hukum tentang pernikahan dan perceraian.
Untuk beberapa dekade, beberapa kelompok wanita Indonesia telah mengagitasi batasan hukum dan pelarangan poligami. Draft usulan terhadap pemerintahan kolonial telah menetapkan sebuah prosedur pendaftaran tentang perempuan yang pernikahannya telah terdaftar dan mendapatkan perlindungan hukum terhadap perceraian dan poligami. Namun draft ini mendapatkan pertentangan oleh kedua belah pihak sesama kelompok Islam, antara yang memandang langkah hal itu tidak sesuai dengan hukum agama dengan kelompok yang memandang perlindungan tersebut sebagai keharusan untuk menjaga kepentingan perempuan. Karena polemik yang berkepanjangan, maka draf usulan tersebut dicabut.
Melalui peristiwa kemerdekaan bangsa Indonesia, terjadi sejumlah perubahan mengenai Pengadilan Islam, namun kepergian Belanda tidak merubah secara signifikan perdebatan mengenai pengadilan tersebut, atau masih berlangsungnya kekuatan pro dan kontra. Satu hal yang kemudian dimaksudkan untuk menyelesaikan konflik tersebut adalah melalui pembentukan Kementerian Agama. Pembentukan Kementrian Agama, dianggap hal yang unik dalam dunia Islam karena memungkinkan adanya konsolidasi keseluruhan tata administrasi Islam di bawah suatu otoritas negara dan memastikan bahwa institusi Islam akan berada di bawah kontrol kelompok Islam itu sendiri, sedangkan kaum nasionalis sekuler mendominasi Kementerian Kehakiman dan institusi negara lainya.
Selain itu ilustrasi sejarah tersebut, hal penting lain yang mendukung keberlangsungan Pengadilan Agama adalah munculnya partai-partai politik Islam yang mampu mengoreksi kadar sekulerisasi dan modernisasi yang dijalankan oleh pemegang kekuasaan birokrasi. Meskipun para pemimpin Islam terkadang tidak setuju terhadap isu Pengadilan Islam dan kecewa atas adanya penyerapan Pengadilan Islam pada Pengadilan Sipil, tidak ada kekuatan dalam upaya memiasahkan Pengadilan Islam guna mencegah penghapusan pengadilan tersebut.
Mengikuti UU Tahun 1951, Menteri Agama yang telah mengambil alih administrasi Pengadilan Islam di Jawa dam Madura pada 1946, membentuk sistem penyatuan dan pemusatan sekaligus pengembangan Pengadilan Islam. Beberapa tahun selanjutnya, Kementerian Agama bekerja dengan para pemimpin daerah untuk menyerap kontrol terhadap Pengadilan Islam yang telah ada dan membentuk sejumlah pengadilan baru berdasarkan peraturan menteri.
Kementerian juga dapat menggunakan kantor-kantor urusan agama daerah, yang ada di seluruh Indonesia, untuk melaksanakan kontrol terhadap masalah pernikahan dan hak waris di daerah tanpa Pengadilan Agama. Akhirnya, pada tahun 1957 Kabinet menyetujui sebuah peraturan yang memberi wewenang terhadap pembentukan Pengadilan Agama di seluruh pulau-pulau luar yang belum ada. Pola setelah dekrit kerajaan tahun 1882, peraturan tahun 1957 mengatur pembentukan Pengadilan Islam, dinamai  pengadilan Agama atau Mahkamah Syariah, dimana Pengadilan Sipil memberi yurisdiksi teritorial yang sama besar dengan Pengadilan Sipil. Pengadilan Islam yang baru memiliki organisasi kolektif yang sama dengan pengadilan yang dibentuk dibawah era peraturan Belanda. Tidak seperti pengadilan yang ada saat ini, begaimanapun juga urusan utama dari pengadilan yang baru akan terdiri dari urusan hak waris, pernikahan dan perceraian.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman telah mengakui Peradilan Agama setara dengan peradilan lainnya. Ini terdapat pada pasal 10 ayat 2, yaitu: “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan (a) Peradilan Umum, (b) Peradilan Agama, (c) Peradilan Militer, (d) Peradilan Tata Usaha Negara”. Hal ini membuat umat Islam semangat untuk membuat Undang-Undang yang mengatur Peradilan Agama.
Makna kekuasaan kehakiman sama artinya dan tujuannya dengan kekuasaan peradilan atau judicial power, yakni kekuasaan yang menjalankan fungsi dan kewenangan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan dalam negara hukum Republik Indonesia. Tugas pokoknya menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.
Usaha untuk mempersiapkan Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama telah dimulai oleh Departemen Agama sejak 1961, yaitu sejak dibentuknya sebuah panitia dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 66 Tahun 1961. Dalam masa 28 tahun sejarah pembentukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (1961-1989), kegiatan persiapan RUU PA telah menghabiskan waktu selama 27 tahun (1961-1988) dan pembahasannya di DPR RI selama satu tahun, yaitu sejak diantarkannya RUU tersebut melalui amanat Presiden Nomor R.06/PU/XII/1988 tanggal 3 Desember 1988 untuk dibicarakan dalam sidang DPR RI guna mendapatkan persetujuan, sampai disetujui dalam sidang pleno DPR RI pada tanggal 14 Desember 1989.
Dalam kurun waktu 27 tahun mempersidangkan RUU PA dapat dibagi kedalam tiga periode, yaitu: [1]
1.         Periode Pertama (1961-1971), dalam periode ini kegiatan terbatas dalam lingkungan intern Departemen Agama sendiri dan belum dilakukan langkah-langkah keluar
2.         Periode Kedua (1971-1981), dalam periode ini sudah dilakukan usaha-usaha keluar Departemen Agama, namun belum diperoleh sambutan dari instansi terkait maupun yang langsung menyetujui gagasan dipersiapkannya RUU PA
3.         Periode Ketiga (1981-1988), dalam periode ini gagasan mempersiapkan RUU PA yang telah lama didambakan oleh Departemen Agama langsung mendapat persetujuan dari instansi terkait yang lain. Persetujuan tersebut dimulai oleh Mahkamah Agung pada 1981 dan kemudian oleh Departemen Kehakiman pada 1982, yaitu melalui Keputusan Menteri Kehakiman tahun 1982 No. G-164-PR-04.03/1982 yang berisi keputusan untuk membentuk tim pembahas dan penyusun rancangan tersebut. Tertunjuk sebagai ketua tim adalah Prof. Dr. Bustanul Arifin (Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Agama Mahkamah Agung saat itu).
Dengan keluarnya keputusan Menteri Kahakiman tahun 1982 yang berisi keputusan untuk membentuk tim pembahas dan penyusun Rancangan Undang-Undang mengenai Peradilan Agama, maka rancangann Undang-Undang mengenai peradilan ini mulai ditanggapi. Dengan menunjuk Prof. Dr. Bustanul Arifin sebagai ketua tim pembahas RUU ini. Untuk menegakkan hukum Islam yang berlaku secara yuridis formal dalam negara Republik Indonesia, pada tanggal 8 Desember 1988, Presiden Republik Indonesia menyampaikan RUU Peradilan Agama kepada DPR untuk dibicarakan dan disetujui sebagai Undang-Undang menggantikan semua peraturan perundang-undangan tentang peradilan agama yang tidak sesuai lagi dengan UUD 1945 dan Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman 1970.
Harapan umat muslim bahwa orde baru lebih bersahabat daripada orde lama ternyata salah.  Pada 1973, Pengadilan Islam mengalami perjuangan untuk mendukung eksistensi kepentingan umat Islam. Juli pada tahun itu diajukan sebuah draft hukum pernikahan yang bersifat sekuler dan secara efektif menghapus sistem Peradilan Islam.  Departemen Agama maupun organisasi Islam tidak diikutsertakan pada pembuatan draftnya. Langkah tersebut merupakan dorongan dari para penasehat presiden yang dipimpin oleh Mr. Ali Mustopo dan grup katolik yang didominasi tim peneliti, Pusat Studi Strategi dan pihak dunia internasional. Kelompok ini tidak hanya fokus pada Peradilan Islam, tetapi juga menemukan bahwa isu undang-undang pernikahan memberikan kesempatan untuk menyerang politik islam.
Draft ini memberikan satu paket peraturan pernikahan dan perceraian yang dapat diterapkan di Indonesia pada semua agama apapun. Hal ini mensyaratkan adanya registrasi pada penikahan dan persetujuan pengadilan untuk cerai dan poligami. Baik perceraian ataupun pernikahan poligami, akan menjadi subjek untuk dibatasi secara katat. Penyelenggaraan hukum dipercayakan kepada Pengadilan Sipil, yang telah mengurangi yurisdiksi pengadilan-pengadilan di pulau terluar sebatas masalah warisan dan membiarkan Pengadilan Islam di Jawa, Madura dan Kalimantan Selatan untuk tidak menpunyai tugas.
Usulan ini dihadapi dengan kemarahan kaum muslim oposisi baik dari dalam maupun luar legislatif. Pada sautu waktu ribuan pemuda muslim turun ke lantai dewan legislatif dan miter digunakan untuk mengamankan. Konflik mulai reda ketika pimpinan militer mengusulkan diskusi di luar proses formal legislatif dengan kaum muslim. Partai-partai saat itu menyetujui adanya revisi rancangan undang-undang dimana kaum muslim menerima permintaan batasan hukum pada perceraian yang semena-mena dan poligami, dengan perjanjian bahwa substansi hukum pernikahan tidak akan diubah dan peran Pengadilan Islam tidak dikurangi. Akhirnya sebuah undang-undang disetujui oleh badan leagislativee pada tahun 1973 dan ditandatangani presiden sebagai UU tentang pernikahan tahun 1974.
Sebelum ditetapkan sebagai Undang-Undang, sebuah peraturan harus melalui adanya proses penyusunan naskah akademik peraturan, yaitu konsep awal yang menggambarkan tentang garis besar perundang-undangan yang akan dibuat. Naskah akademik tersebut juga dimaksudkan untuk menguraikan secara mendalam berbagai aspek yang berkaitan dengan sebuah rancangan peraturan sehingga dapat mudah difahami pokok-pokok fikiran yang menjadi bahan dan dasar sebuah rancangan peraturan.
Keberadaan naskah akademik inilah yang menjadikan adanya acces acountabelities dan responsibelities (keterbukaan dan tanggung jawab) yang melembaga termasuk kontrol sosial dari masyarakat, baik melalui lembaga swadaya, individu, kelompok, pers, masyarakat hukum, dan komponen masyarakat lainnya. Hal ini mengandung makna bahwa proses berdemokrasi juga diberlakukan terutama dalam proses legislasi, dan inilah makna demokratisasi hukum atas lahirnya RUU Pengadilan Agama menjadi UU Pengadilan Agama di Indonesia sekaligus lahirnya UU tentang pernikahan tahun 1974.
Penyusunan RUU tersebut banyak mendapat tantangan dari berbagai pihak untuk menggagalkannya. Setidaknya dapat digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu:
Kelompok pertama, mengatakan bahwa dalam rangka menuju unifikasi hukum di Indonesia, Peradilan Agama tidak diperlukan lagi karena akan ada dualisme dalam sistem peradilan di Indonesia. Kalaupun ada Peradilan Agama, maka harus berinduk kepada Peradilan Umum. Kelompok ini ingin mempertahankan status quo, dimana Peradilan Agama tidak mempunyai kebebasan untuk mengimplementasikan kompetensinya, bahkan ingin agar Peradilan Agama sebagai subordinat dari Peradilan Umum.
Kelompok kedua, adanya yang menginginkan agar Peradilan Agama dibubarkan dengan dalih umat Islam mengurus sendiri hukum Islam yang dianut. Orang-orang ini menolak karena berpendapat bahwa agama itu dipisahkan dari campur tangan negara (sekuler), termasuk intervensi negara dalam soal mengurus Peradilan Agama. Partai Demokrasi Indonsia (PDI), kelompok non muslim dan kelompok sekuler bahkan sebagian pemimpin-pemimpin Islam juga keberatan dengan RUU PA ini. Bahkan partai berkuasa Golkar terpecah menjadi dua kelompok, kelompok yang setuju dan kelompok yang menentang.
Kelompok ketiga, menganggap adanya RUU PA menjadi bentuk diskriminasi tersendiri terhadap terhadap kelompok lainnya sehingga eksistensi Peradilan Agama harus dibibarkan. Oleh karena itu, muncullah tuduhan bahwa RUU PA merupakan strategi untuk memberlakukan kembali Piagam Jakarta.
Dari ketiga kelompok di atas, pada prinsipnya sama yakni keberatan terhadap Peradilan Agama. Kelompok pertama melihat dari segi politik hukum yang berkembang sejak masa penjajahan dengan memberlakukan Peradilan Agama hidup tanpa eksistensi yang jelas. [2]
Tanggapan kelompok ketiga mengaitkan dengan rencanan menghidupkan kembali Piagam Jakarta yang pernah direvisi terutama menyangkut kalimat: “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” pada sila pertama menjadi “Ketuhanan yang maha esa”. Kelompok ini terlalu berlebihan karena mereka khawatir terhadap rencana pembentukan Negara Islam.

UU Peradilan Agama Tahun 1989

UU ini terdiri dari 108 bagian terbagi menjadi 7 bab. Segala uraian dilengkapi penjelasan perbagian. Bab pertama tentang “ketentuan umum” dan terdiri bagian pada definisi, status, lokasi, dan organisaasi serta pengadilan Islam. Ini mengartikan peradilan agama sebagai pengadilan bagi penganut Islam. Pengadilan ini terdiri dari pengadilan agama, ditandai pada bab selanjutnya, sebagai pengadilan dari contoh pertama, dan pengadilan tinggi agama yang menjalankan fungsi pengadilan banding yang ada di 18 dari 27 provinsi yang ada masa itu.
Bab kedua dari UU tersebut mengatur struktur dan komposisi dari pengadilan. Di antara ketentuan ini, ada peraturan yang mengatur perjanjian kualifikasi hakim. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan hakim berada di tangan presiden sebagai kepala negara berdasarkan rekomendasi Menteri Agama dan peresetujuan MA. Kekuasaan memberikan wewenang pada MA atas seleksi hakim, sebagaimana yang telah dijalankan beberapa tahun sebelum UU diajukan, memformalkan campurtangan MA dalam manajemen pengadilan Islam berlawanan dengan tradisi eksklusif kontro Departemen Agama.
Bab ketiga menetapkan kekuatan Pengadilan Islam. Ayat 49 menyatakan bahwa “Pengadilan Agama memiliki tanggungjawab dan wewenang untuk menilai, memutuskan dan menyelesaikan permasalahan pertama kali antara umat muslim di daerahnya, terdiri dari: a) pernikahan, b) warisan, wasiat, dan hibah yang dijalankan menurut hukum Islam, c) yayasan amal.
Bab keempat mengatur prosedur yang dijalankan pada pengadilan Islam. Bagian pertama pada bab ini mencakup ketentuan umum, diawali dengan peraturan umum, bahwa tatacara hukum yang diikuti pengadilan Islam yang tercakup dalam kode prosedur sipil dan dapat diterapkan pada pengadilan sipil, kecuali seperti yang secara spesifik tercantum di UU. Bagian pertama ini juga mencakup ketentuan mengenai media penerapan kekuatan hokum secara umum seperti ketentuan unik pengadilan Islam.

Analisis Atas Lahirnya UU Pengadilan Agama

Untuk menjelaskan politik hukum pemerintahan Orde Baru terhadap lembaga Peradilan Agama, maka perlu dipahami mulai dari sejarah hukum terutama yang berkaitan dengan lembaga itu, ide lahirnya, persiapan, penyusunan samapai pada bentuk final produk hukum itu. Usaha ini menjadi penting untuk melihat secara pasti refleksi politik pada masa rezim Soeharto.
Dalam perspektif produk hukum, ada dua proses politik dalam suatu masyarakat, untuk pembangunana hukum, yaitu: Pertama, produk hukum yang dihasilkan melalui kerangka strategi pembangunan hukum yang dapat disebut ortodok, dimana karakter ini bersifat kaku dan kurang terbuka bagi perubahan, dengan demikian hukum menjadi tanggap terhadap tuntunan kebutuhan masyarakat. Kedua, produk hukum yang dihasilkan juga bersifat opresif karena secara sepihak hukum menentukan persepsi sosial para pengambil kebijakan.
Pengaruh politik terhadap hukum dapat berlaku terhadap penegakan hukumnya dan karakteristik produki-produk serta proses pembuatannya. Keadaan politik tertentu dapat mempengaruhi sproduk hukum, untuk kasus Indonesia, kita dapat mencatat banyak contoh. Kasus lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dapat diambil sebagai contoh. Kedua Undang-Undang tersebut sama-sama lahir pada era Orde Baru, tetapi hubungan politik anatara pemerintah dan umat Islam atau hubungan antara negara dan agama yang melatarbelakangi keduanya berada dalam suasana yang berbeda.
Undang-Undang Perkawinan lahir dalam keadaan politik konflik dan saling curiga, sedangkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 lahir ketika hubungan pemerintah dan umat Islam sedang melakukan akomodasi. Dari kedua Undang-Undang yang lahir pada periode hubungan yang berbeda itu kita dapat melihat betapa keadaan politik tertentu telah menetukan pilihan atas materi produk hukum. RUU tentang perkawinan yang diajukan pada periode konflik politik ternyata menyambut protes dan demonstrasi karena materinya memuat banyak hal yang bertentangan dengan ajaran Islam. Pada saat itu pemerintah yang tidak mesra dengan Islam mengajukan RUU yang dipandang dari sudut akidah Islam harus ditolak, sementara umat Islam sendiri yang sedang “agak” oposan dengan pemerintah mencurigai RUU tersebut sebagai upaya mengucilkan Islam.
Maka, jelas bahwa politik saling curiga dan konflik itu melahirkan rancangan produk hukum yang juga menggambarkan kesalingcurigaan. Akan terlihat sebaliknya pada kasus RUU tentang Peradilan Agama (yang kemudiann menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989) yang lahir pada saat hubungan antara pemerintah dan umat Islam secara politis saling akomodasi ini ternyata dapat dukungan luas dari umat Islam karena hal itu seakan-akan menjadi kado mewah bagi umat Islam. Pada saat musim akomodasi Undang-Undang pemerintah tidak ragu untuk mengajukan RUU yang sangat didambakan oleh umat Islam. Itulah bukti, untuk kasus Indonesia, betapa keadaan politik tertentu memberi jalan bagi munculnya pembuatan hukum yang tertentu pula.
Dalam masalah produk hukum terutama mengenai Undang-Undang tentang Ketentuan Pokok Kehakiman (Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970) mengakui secara tegas Peradilan Agama sebagai kekuasaan kehakiman. Oleh sebab itu secara formal dilihat dari aspek yuridis, konfigurasi politik Orde Baru dapat disebut berada dalam demokratis dan produk hukumnya yang responsif.
Dari perspektif pembentukan hukum, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 dapat disebut responsif karena aspirasi seluruh masyarakat tertampung dan cenderung akomodatif terhadap kebuthan dalam bidang peradilan. Sedangkan dari segi implementasi perundangannya, bersifat fakultatif dan legitimatif. Regulatif karena ia lebih banyak mengatur etika peradilan, prosedural dan praktis operasional.
Politik akomodasi legislatif yang dilakukan pemerintah, yaitu untuk mencari simpati dan dukungan dari umat Islam, karena pada masa itu bersamaan dengan munculnya “Revolusi Islam Iran” (tahun 1979) yang merupakan simbol kebangkitan Islam dunia yang dapat mempengaruhi politik Soeharto.
UU ini mengatur tiga skema berbeda untuk tiga macam perceraian, talak cerai, gugat cerai, dan perceraian karena perzinaan. Prosedur talak cerai yang secara umum mengikuti urutan berkenaan porsi pada peraturan pelaknsanaan yang dikeluarkan pada 1975 untuk menerapkan UU penikahan, membiarkan suami  menyajikan penyangkalan atau talak “saya ceraikan kamu” di pengadilan, di bawah pengawasan pengadilan.
Menurut ajaran Islam, seorang suami memiliki kekuasaan penuh untuk menalak istrinya kapanpun dengan alasan apapun. Di bawah UU, mengikuti UU 1975, seorang suami yang ingin menalak istrinya harus menbuat permohonan meminta pengadilan memanggil saksi untuk pengucapan talaknya. Dalam suatu perubahan yang sederhana yang dibuat untuk lebih melindungi istri, suami harus mengisi permohonan pada pengadilan di kabupaten dimana istrinya tinggal, dari tempat tinggal dia sendiri, seperti diijinkan pada peraturan 1975.
Permohonan suami harus menyajikan nama, umur, tempat tinggal kedua pihak, dan juga alasan utama talak. UU tidak menentukan apa alasan yang dapat dierima sebagai alasan yang cukup. Pengadilan harus menilai permohonan dalam sesi tertutup dalam 3 hari setelah terdaftar pada petugas. Dalam menjaga kebijakan dalam rangka mencoba mengurangi frekuensi perceraian, pengadilan ditugaskan mencoba mendamaikan pasangan pada saat pendengaran pertama. Apabila pasangan tidak bias didmaikan dan adaa alas an yang memadai maka pengadilan memutuskan bahwa permohonan dikabulkan.
Undang-Undang ini mengijinkan istri mengajuksn banding terhadap putusan pengadilan yang menyatakan bahwa dasar perceraian memang ada. Hanya setelah keputusan final melalui semua proses banding atau jatuh tempo waktu pengisian banding pengadilan menjadwalkan pendengaran tujuan penyaksian talak suami. Tatacara ini di tetapkan dengan surat edaran MA yang dikeluarkan1985.
Pengaruh pembaharu Islam pada persiapan pembuatan UU mengindikasikan pergantian yang lebih general pada posisi Islam pembaharu vis-à-vis Negara Indonesia. Sebaliknya, pada tahun 1970 para pejabat eselon atas kementerian agama di dominasi para pembaharu, yang paling terkenal adalah H. Munawir Sjadzali, Menteri Agama 2 periode, yang mengawal UU ini melalui dewan legislatif yang secara resmi mengajukan proposal pada 1980 dengan mengundang banyak kontroversi. Dulu, hakim pengadilan tradisional dilatih di pesantren,  namun sekarang pengadilan diisi para lulusan institusi islam negeri yang dinyatakan berorientasi pembaharuan.


[1] Muchtar Zarkasyi, Kerangka Historis Pembentukan UU No. 7 Tahun 1989, (Bandung: Ulul Albab Press, 1997), hal. 305
[2] Juhaya S. Praja, Hukum Islam di Indonesia (Pemikiran dan Praktek), (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1994), hal. 27

Tidak ada komentar:

Posting Komentar