Minggu, 29 Januari 2012

Peran Pemerintah era reformasi Atas HAM



Muh. Khamdan, Widyaiswara Kemkumham RI
Oleh. Muh. Khamdan,
Widyaiswara Kementerian Hukum dan HAM

Perkembangan pengaturan hak asasi manusia di Indonesia telah dipengaruhi oleh perubahan politik setelah kejatuhan Presiden Soeharto tahun 1998. Sidang Istimewa MPR bulan November 1998, misalnya, menghasilkan Ketetapan No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia dan disusul dengan penerbitan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Ketentuan lebih ekstensif tentang hak asasi manusia dicantumkan pula dalam Perubahan Ketiga Undang-undang Dasar 1945 (tahun 2000), meskipun terdapat kemiripan rumusan antara hasil amandemen konstitusi dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 dan Ketetapan No. XVII/MPR/1998. Menurut Pasal 28I ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945, negara berkewajiban untuk melindungi, memajukan, menegakkan dan memenuhi hak asasi manusia.
Secara kategoris, jaminan hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar 1945 mencakup hak-hak sosial-politik, hak-hak kultural dan ekonomi, hak-hak kolektif, hak atas pembangunan dan lain-lain. Jaminan hak asasi manusia dalam UUD RI tersebar dalam sejumlah pasal antara lain 18B (2), 26, 27-28, 28A-28J (Bab XA), 29 (Bab Agama), 31-32 (Bab Pendidikan dan Kebudayaan), 33-34 (Bab Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial), 30 (Bab Pertahanan dan Keamanan). Jadi, pengaturan konstitusional mengenai hak asasi manusia tidak terbatas pada Bab XA tentang HAM.

Rumusan HAM di dalam UUD 1945 Bab X tentang HAM
No
Pasal
Isi
HAM




1
28 A
Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya
Hak hidup
2
28 B (1)
Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
Hak berketurunan
3
28 B (2)
Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi
Hak anak
4
28 C (1)
Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu
pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia
Hak Pengembangan diri
5
28 D (1)
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Hak persamaan hukum
6
28 D (2)
Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Hak bekerja
7
28 D (3)
Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan
Hak persamaan pemerintahan
8
28 D (4)
Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan
Hak kewarganegaraa
9
28 E (1)
Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal diwilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
Hak beragama
10
28 E (3)
Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Hak berserikat
11
28 F
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk
mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia
Hak komunikasi
12
28 G (2)
Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang
merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka
politik dari negara lain.
Hak suaka
13
28 H (1)
Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
medapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan.
hak hidup sejahtera
Rumusan HAM di dalam UUD 1945 Bab X tentang HAM
No
Pasal
Isi
HAM




1
28 H (3)
Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat
Hak jaminan sosial
2
28 H (4)
Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenangwenang oleh siapa pun.
Hak milik pribadi

Di sini perlu diberikan catatan tentang perumusan hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar 1945 bab X pasal 28 A-I. Pada umumnya hak tersebut dirumuskan sebagai hak setiap orang atau individual rights. Sedangkan dalam pasal yang lainnya mengatur sebagai hak warga negara, misalnya tentang kesempatan yang sama dalam pemerintahan. hak dalam usaha pertahanan dan keamanan negara, dan hak memperoleh pendidikan.

Rumusan HAM di dalam UUD 1945 di luar pasal 28
No
Pasal
Isi
HAM




1
Bab XII Pasal 30
Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara
Hak usaha pertahanan
2
Bab XIII Pasal 31
Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan
Hak pendidikan
3
Pasal 34 (1)
Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara
Hak fakir miskin dan anak telantar
4
Pasal 34 (2)
Negara mengembangkan sistim jaminan sosial bagi seluruah rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Hak jaminan sosial
5
Pasal 34 (3)
Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
Hak fasilitas pelayanan kesehatan dan umum

A.      Era B.J. Habibie
Era kepemimpinan BJ. habibie (1998-1999) telah mencanangkan adanya RAN-HAM yang harus dilaksanakan oleh seluruh aparat pemerintah maupun semua warga negara. Dalam masa ini pulalah, UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM lahir di Indonesia, yang kemudian dilanjutkan dengan meratifikasi dua konvensi HAM yang sangat penting yaitu Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan, melalui Ratifikasi konvensi Anti Penyiksaan dalam UU Nomor 5 Tahun1998. Konvensi kedua yang diratifikasi yaitu Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, melalui UU Nomor 29 tahun 1999. [1]
Konsekuensi yang dihadapi pada era ini adalah banyaknya seminar-seminar dimana pemerintah bebas dikritik, termasuk media massa yang bebas dari ancaman. Namun era ini juga harus menghadapi situasi yang sulit ketika muncul konflik Ambon, Poso, dan Kalimantan, dimana pelanggaran hak asasi justru dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat sendiri. Aparat penegak hukum pada masa itu terkesan telah terjebak pada aturan formal yang khawatir tertuduh pada melakukan tindakan penyiksaan atau diskriminasi.

B.       Era Abdurrahman Wahid
Era kepemimpinan Gusdur ditandai dengan memperbaiki keadaan pelaksanaan HAM melalui sejumlah reformasi di bidang keamanan negara, yaitu melalui reposisi dan redefinisi terhadap peran militer di dalam politik. Perlu disadari bahwa peran inilah yang pada masa sebelumnya telah berperan dalam mereproduksi praktek-praktek pelanggaran HAM. [2]
Selama paruh pertama tahun 2000, para elite politik mempertimbangkan untuk mengurangi secara bertahap kursi yang dijatahkan bagi militer di MPR dan DPR. Pihak militer setuju untuk melepaskan jatah kursi mereka di badan legislatif nasional dan daerah pada tahun 2004, tapi MPR justru mengeluarkan ketetapan dalam sidangnya pada bulan Agustus untuk memperpanjang kehadiran militer di MPR sampai tahun 2009. Hal ini bertolak-belakang dengan kenyataan bahwa, di bulan Maret 2000, Gus Dur selaku Presiden menanda-tangani sebuah keputusan untuk membubarkan Badan Koordinasi Pertahanan Nasional (Bakorstanas) yang sebelumnya memberi keleluasaan kepada aparat keamanan untuk menahan dan menginterogasi orang yang dianggap menajdi ancaman terhadap keamanan nasional.
Lalu di bulan Juli, Gus Dur menandatangani sebuah keputusan untuk melepas pengawasan kepolisian nasional yang beranggotakan 170.000 personil dari departemen pertahanan ke pengawasan sipil. Langkah ini, di samping sebagai bentuk pemisahan resmi polisi dari angkatan bersenjata pada 1999, juga dimaksudkan untuk memberi polisi tangggung jawab utama pada keamanan dalam negeri. Meskipun demikian, pihak militer terus memainkan peranan penting untuk memenej keamanan dalam negeri yang besar di wilayah-wilayah konflik seperti Aceh, Maluku, dan Irian Jaya. Baik TNI maupun polisi melakukan banyak pelanggaran hak asasi
Banyaknya kasus-kasus yang menindas nilai kemanusiaan mendorong Presiden Gusdur mengesahkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM pada 23 November 2000. Undang-undang ini mengatur tentang tugas dan wewenang pengadilan HAM untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran berat hak asasi manusia. UU ini juga menyebutkan adanya kewenangan penyelidikan pelanggaran berat HAM dan pembentukan tim ad hoc untuk penyelidikan sebuah kasus dilakukan oleh Komnas HAM. Di dalam UU Pengadilan HAM itu terdapat aturan khusus mengenai genosida dan pelanggaran kemanusian.
Genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara: [3]
a.         membunuh anggota kelompok
b.        mengakibatkan penderitaan fisik
c.         menciptakan kondisi kehidupan kelompok akan musnah secara fisik baik seluruh atau sebagian
d.        memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan untuk mencegah kelahiran di dalam kelompok,
e.         memindahkan secara paksa anak-anak dan kelompok tertentu ke kelompok lain.
Sedangkan pelanggaran kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dan serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:
a.         Pembunuhan
b.        Pemusnahan
c.         Perbudakan
d.        Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa
e.         Perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik secara sewenang-wenang yang melanggar asas-asas ketentuan pokok hukum internasional
f.         Penyiksaan
g.        Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, dan kekerasan seksual lain. [4]
Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat. Pengadilan HAM juga berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan di luar batas territorial wilayah negara RI oleh Warga Negara Indonesia (WNI). Disamping itu juga dikenal Pengadilan HAM Ad Hoc, yang diberi kewenangan untuk mengadili pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya UURI Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Oleh karena itu pelanggaran HAM berat tidak mengenal kadaluwarsa. Dengan kata lain adanya Pengadilan HAM Ad Hoc merupakan pemberlakuan asas retroactive (berlaku surut) terhadap pelanggaran HAM berat.
Era ini juga mengesahkan Undang Undang RI Nomor 1 Tahun 2000 Tentang Pengesahan Konvensi ILO nomor 182 Mengenai Pelanggaran dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk–Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. Meskipun demikian, pelaksanaan peraturan tenaga kerja tetap tidak konsisten dan lemah di beberapa wilayah. Jutaan pekerja anak-anak sering terlihat dalam kondisi yang parah. Anak-anak yang terpaksa bekerja dan dipekerjakan tetap merupakan masalah, meskipun Pemerintah selama tahun itu senantiasa berusaha menghapus buruh anak-anak dari bagan-bagan ikan, di mana anak-anak sering dipekerjakan sebagai buruh terikat. Perdagangan manusia ke dalam dan ke luar negeri untuk tujuan prostitusi dan kadang-kadang untuk tujuan tenaga kerja paksa menjadi masalah.
Pemerintah tidak efektif dalam mencegah tindak kekerasan sosial, antar-etnis dan antar-umat beragama yang menyebabkan sebagian besar kematian akibat kekerasan sepanjang tahun. Penegakan hukum terhadap kekerasan kriminal merosot sehingga berbagai kelompok agama sebagaimana Laskar jihad dan Fron Pembela Islam (FPI) dengan dalih menegakkan moral public justru beramai-ramai menggelar peradilan jalanan tanpa terkena tindakan hukum. Kelompok-kelompok agama ini buka hanya merazia tempat-tempat hiburan yang dianggap menjadi tempat transaksi jual-beli narkoba, atau prostitusi, tapi juga bahkan hingga ke rumah-rumah pribadi, hingga sanggar-sanggar seniman di kawasan Taman Ismail Marzuki.
Akhirnya pada Januari 2001, Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 6, yang mencabut larangan tentang praktek agama Kong Hu Cu dan adat masyarakat Cina. Masyarakat Cina untuk pertama kali merayakan Tahun Baru mereka secara terbuka setelah lebih dari 30 tahun.

C.       Era Megawati
Era kepemimpinan Megawati ditandai dengan disahkannya PP No. 2 Tahun 2002 tentang tata cara perlindungan terhadap korban dan saksi dalam pelanggaran HAM yang berat dan PP No. 3 Tahun 2002 tentang kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi terhadap korban pelanggaran HAM berat.
Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku yang tidak terbukti bersalah. Sedangkan restitusi yaitu ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga yang dapat berupa pengembalian barang milik, pembayaran ganti rugi untuk kehilangan, dan penggantian biaya untuk tindakan tertentu.
Dalam era ini juga lahir UU Nomor 26 Tahun 2002 yang mencanangkan adanya beberapa hak, antara lain hak non-retroaktif yang bersifat non-derogable (bukan hak asasi biasa) yaitu masalah tidak berlaku surut. Konsekuensi dari ini adalah telah didirikannya Pengadilan Ad Hoc untuk masalah Timor Timur.
Upaya penegakan HAM melalui jalur Pengadilan HAM, mengikuti ketentuan-ketentuan antara lain, sebagai berikut:
1.        Kewenangan memeriksan dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat tersebut di atas oleh Pengadilan HAM tidak berlaku bagi pelaku yang berumur di bawah 18 tahun pada saat kejahatan dilakukan.
2.        Terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkan UU Nomor 26 Tahun 2000, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc. Pembentukan Pengadilan HAM ad hoc diusulkan oleh DPR berdasarkan pada dugaan telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dibatasi pada tempat dan waktu perbuatan tertentu (locus dan tempos delicti) yang terjadi sebelum diundangkannya UUNomor 26 Tahun 2000.
3.        Agar pelaksanaan Pengadilan HAM bersifat jujur, maka pemeriksaan perkaranya dilakukan majelis hakim Pengadilan HAM yang berjumlah 5 orang. Lima orang tersebut, terdiri atas 2 orang hakim dari Pengadilan HAM yang bersangkutan dan 3 orang hakim ad hoc  (diangkat di luar hakim karir). Sedang penegakan HAM melalui KKR penyelesaian pelanggaran HAM dengan cara para pelaku mengungkapkan pengakuan atas kebenaran bahwa ia telah melakukan pelanggaran HAM terhadap korban atau keluarganya, kemudian dilakukan perdamaian. Jadi KKR berfungsi sebagai mediator antara pelaku pelanggaran dan korban.

D.      Era Susilo Bambang Yudhoyono
Era kepemimpinan SBY ditandai dengan disahkannya UU No. 11 Tahun 2005 tentang pengesahan kovenan internasional tentang hak ekonomi, sosial, dan budaya. Demikian juga disahkan UU No. 12 Tahun 2005 tentang pengesahan kovenan internasional tentang hak sipil dan politik.
Selama periode 2004-2009, Pemerintahan SBY telah mengidentifikasi dua hal utama yang mengakibatkan mandegnya pemajuan, perlindungan dan penegakan hak asasi manusia Indonesia. Dalam masa pemerintahannya yang pertama ini, kedua masalah ini tampaknya gagal untuk diatasi dan diselesaikan. Dua masalah ini menyangkut:
1.        Masih banyaknya pelanggar HAM yang tidak dapat bertanggung jawab dan tidak dapat dihukum (impunitas), dan
2.        Tidak berfungsinya institusi-institusi negara yang berwenang dan wajib menegakkan HAM.
Dalam analisa pemerintahan SBY, masalah impunitas telah terjadi secara meluas dan hampir di setiap kasus pelanggaran HAM yang terjadi, baik sebelum dan sesudah masa reformasi. Sementara tidak berfungsinya institusi-institusi negara yang berwenang diakibatkan karena seluruh institusi-institusi tersebut terjebak dalam alasan procedural hukum, politik birokrasi, tidak adanya good-will, dan aksi saling lempar tanggung jawab.
Permasalahannya, untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang terang dan jelas tersebut, Pemerintahan SBY menanggapinya dengan langkah-langkah yang secara awam tidak jelas dan tidak konkrit. Sehingga, di kemudian hari, setelah lima tahun masa pemerintahannya berjalan, permasalahan-permasalahan tersebut tetap saja tidak terselesaikan.


[1] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), hal. 255
[2] Laporan Elsam tentang Penegakan HAM masa kepemimpinan Abdurrahman Wahid (1999-2000)
[3] UU Nomor 26 Tahun 2000 pasal 8
[4] UU Nomor 26 Tahun 2000 pasal 9

Tidak ada komentar:

Posting Komentar