Widyaiswara Kementerian Hukum dan HAM
Perkembangan pengaturan
hak asasi manusia di Indonesia telah dipengaruhi oleh perubahan politik setelah
kejatuhan Presiden Soeharto tahun 1998. Sidang Istimewa MPR bulan November
1998, misalnya, menghasilkan Ketetapan No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi
Manusia dan disusul dengan penerbitan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia. Ketentuan lebih ekstensif tentang hak asasi manusia
dicantumkan pula dalam Perubahan Ketiga Undang-undang Dasar 1945 (tahun
2000), meskipun terdapat kemiripan rumusan antara hasil amandemen konstitusi dengan
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 dan Ketetapan No. XVII/MPR/1998. Menurut
Pasal 28I ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945, negara berkewajiban untuk
melindungi, memajukan, menegakkan dan memenuhi hak asasi manusia.
Secara kategoris, jaminan
hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar 1945 mencakup hak-hak
sosial-politik, hak-hak kultural dan ekonomi, hak-hak kolektif, hak atas
pembangunan dan lain-lain. Jaminan hak asasi manusia dalam UUD RI tersebar dalam
sejumlah pasal antara lain 18B (2), 26, 27-28, 28A-28J (Bab XA), 29 (Bab Agama),
31-32 (Bab Pendidikan dan Kebudayaan), 33-34 (Bab Ekonomi dan Kesejahteraan
Sosial), 30 (Bab Pertahanan dan Keamanan). Jadi, pengaturan konstitusional
mengenai hak asasi manusia tidak terbatas pada Bab XA tentang HAM.
Rumusan HAM di dalam UUD 1945
Bab X tentang HAM
No
|
Pasal
|
Isi
|
HAM
|
1
|
28 A
|
Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya
|
Hak hidup
|
2
|
28 B (1)
|
Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
|
Hak berketurunan
|
3
|
28 B (2)
|
Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi
|
Hak anak
|
4
|
28 C (1)
|
Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu
pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia
|
Hak Pengembangan diri
|
5
|
28 D (1)
|
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
|
Hak persamaan hukum
|
6
|
28 D (2)
|
Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
|
Hak bekerja
|
7
|
28 D (3)
|
Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan
|
Hak persamaan pemerintahan
|
8
|
28 D (4)
|
Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan
|
Hak kewarganegaraa
|
9
|
28 E (1)
|
Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal diwilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
|
Hak beragama
|
10
|
28 E (3)
|
Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
|
Hak berserikat
|
11
|
28 F
|
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk
mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia
|
Hak komunikasi
|
12
|
28 G (2)
|
Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang
merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka
politik dari negara lain.
|
Hak suaka
|
13
|
28 H (1)
|
Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal,
dan
medapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan.
|
hak hidup sejahtera
|
Rumusan HAM di dalam UUD 1945
Bab X tentang HAM
No
|
Pasal
|
Isi
|
HAM
|
1
|
28 H (3)
|
Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat
|
Hak jaminan sosial
|
2
|
28 H (4)
|
Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenangwenang oleh
siapa pun.
|
Hak milik pribadi
|
Di sini perlu diberikan
catatan tentang perumusan hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar 1945 bab
X pasal 28 A-I. Pada umumnya hak tersebut dirumuskan sebagai hak setiap orang
atau individual rights. Sedangkan dalam pasal yang lainnya mengatur sebagai
hak warga negara, misalnya tentang kesempatan yang sama dalam pemerintahan. hak
dalam usaha pertahanan dan keamanan negara, dan hak memperoleh pendidikan.
Rumusan HAM di dalam UUD 1945
di luar pasal 28
No
|
Pasal
|
Isi
|
HAM
|
1
|
Bab XII Pasal 30
|
Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara
|
Hak usaha pertahanan
|
2
|
Bab XIII Pasal 31
|
Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan
|
Hak pendidikan
|
3
|
Pasal 34 (1)
|
Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara
oleh negara
|
Hak fakir miskin dan anak
telantar
|
4
|
Pasal 34 (2)
|
Negara mengembangkan sistim jaminan sosial bagi seluruah rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu
sesuai dengan martabat kemanusiaan.
|
Hak jaminan sosial
|
5
|
Pasal 34 (3)
|
Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
|
Hak fasilitas pelayanan
kesehatan dan umum
|
A. Era B.J. Habibie
Era kepemimpinan BJ.
habibie (1998-1999) telah mencanangkan adanya RAN-HAM yang harus dilaksanakan
oleh seluruh aparat pemerintah maupun semua warga negara. Dalam masa ini pulalah,
UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM lahir di Indonesia, yang kemudian
dilanjutkan dengan meratifikasi dua konvensi HAM yang sangat penting yaitu
Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak
Manusiawi, atau Merendahkan, melalui Ratifikasi konvensi Anti Penyiksaan dalam
UU Nomor 5 Tahun1998. Konvensi kedua
yang diratifikasi yaitu Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial,
melalui UU Nomor 29 tahun 1999. [1]
Konsekuensi yang dihadapi
pada era ini adalah banyaknya seminar-seminar dimana pemerintah bebas dikritik,
termasuk media massa yang bebas dari ancaman. Namun era ini juga harus
menghadapi situasi yang sulit ketika muncul konflik Ambon, Poso, dan Kalimantan,
dimana pelanggaran hak asasi justru dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat
sendiri. Aparat penegak hukum pada masa itu terkesan telah terjebak pada aturan
formal yang khawatir tertuduh pada melakukan tindakan penyiksaan atau
diskriminasi.
B. Era Abdurrahman Wahid
Era kepemimpinan Gusdur
ditandai dengan memperbaiki keadaan pelaksanaan HAM melalui sejumlah reformasi
di bidang keamanan negara, yaitu melalui reposisi dan redefinisi terhadap peran
militer di dalam politik. Perlu disadari bahwa peran inilah yang pada masa
sebelumnya telah berperan dalam mereproduksi praktek-praktek pelanggaran HAM. [2]
Selama paruh pertama tahun
2000, para elite politik mempertimbangkan untuk mengurangi secara bertahap
kursi yang dijatahkan bagi militer di MPR dan DPR. Pihak militer setuju untuk
melepaskan jatah kursi mereka di badan legislatif nasional dan daerah pada
tahun 2004, tapi MPR justru mengeluarkan ketetapan dalam sidangnya pada bulan
Agustus untuk memperpanjang kehadiran militer di MPR sampai tahun 2009. Hal ini
bertolak-belakang dengan kenyataan bahwa, di bulan Maret 2000, Gus Dur selaku
Presiden menanda-tangani sebuah keputusan untuk membubarkan Badan Koordinasi
Pertahanan Nasional (Bakorstanas) yang sebelumnya memberi keleluasaan kepada
aparat keamanan untuk menahan dan menginterogasi orang yang dianggap menajdi
ancaman terhadap keamanan nasional.
Lalu di bulan Juli, Gus
Dur menandatangani sebuah keputusan untuk melepas pengawasan kepolisian
nasional yang beranggotakan 170.000 personil dari departemen pertahanan ke
pengawasan sipil. Langkah ini, di samping sebagai bentuk pemisahan resmi polisi
dari angkatan bersenjata pada 1999, juga dimaksudkan untuk memberi polisi
tangggung jawab utama pada keamanan dalam negeri. Meskipun demikian, pihak
militer terus memainkan peranan penting untuk memenej keamanan dalam negeri
yang besar di wilayah-wilayah konflik seperti Aceh, Maluku, dan Irian Jaya.
Baik TNI maupun polisi melakukan banyak pelanggaran hak asasi
Banyaknya kasus-kasus yang
menindas nilai kemanusiaan mendorong Presiden Gusdur mengesahkan Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM pada 23 November 2000. Undang-undang
ini mengatur tentang tugas dan wewenang pengadilan HAM untuk memeriksa dan
memutus perkara pelanggaran berat hak asasi manusia. UU ini juga menyebutkan
adanya kewenangan penyelidikan pelanggaran berat HAM dan pembentukan tim ad hoc untuk penyelidikan sebuah kasus
dilakukan oleh Komnas HAM. Di dalam UU Pengadilan HAM itu terdapat aturan
khusus mengenai genosida dan pelanggaran kemanusian.
Genosida adalah setiap
perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan
seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama,
dengan cara: [3]
a.
membunuh anggota kelompok
b.
mengakibatkan penderitaan fisik
c.
menciptakan kondisi kehidupan
kelompok akan musnah secara fisik baik seluruh atau sebagian
d.
memaksakan tindakan-tindakan yang
bertujuan untuk mencegah kelahiran di dalam kelompok,
e.
memindahkan secara paksa anak-anak
dan kelompok tertentu ke kelompok lain.
Sedangkan pelanggaran
kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dan
serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut
ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:
a.
Pembunuhan
b.
Pemusnahan
c.
Perbudakan
d.
Pengusiran atau pemindahan
penduduk secara paksa
e.
Perampasan kemerdekaan atau
kebebasan fisik secara sewenang-wenang yang melanggar asas-asas ketentuan pokok
hukum internasional
f.
Penyiksaan
g.
Perkosaan, perbudakan seksual,
pelacuran secara paksa, dan kekerasan seksual lain. [4]
Pengadilan HAM bertugas
dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat. Pengadilan
HAM juga berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat
yang dilakukan di luar batas territorial wilayah negara RI oleh Warga Negara
Indonesia (WNI). Disamping itu juga dikenal Pengadilan HAM Ad Hoc, yang diberi
kewenangan untuk mengadili pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya
UURI Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Oleh karena itu pelanggaran
HAM berat tidak mengenal kadaluwarsa. Dengan kata lain adanya Pengadilan HAM Ad
Hoc merupakan pemberlakuan asas retroactive
(berlaku surut) terhadap pelanggaran HAM berat.
Era ini juga mengesahkan Undang
Undang RI Nomor 1 Tahun 2000 Tentang Pengesahan Konvensi ILO nomor 182 Mengenai
Pelanggaran dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk–Bentuk Pekerjaan Terburuk
untuk Anak. Meskipun demikian, pelaksanaan peraturan tenaga kerja tetap tidak
konsisten dan lemah di beberapa wilayah. Jutaan pekerja anak-anak sering
terlihat dalam kondisi yang parah. Anak-anak yang terpaksa bekerja dan dipekerjakan
tetap merupakan masalah, meskipun Pemerintah selama tahun itu senantiasa
berusaha menghapus buruh anak-anak dari bagan-bagan ikan, di mana anak-anak
sering dipekerjakan sebagai buruh terikat. Perdagangan manusia ke dalam dan ke
luar negeri untuk tujuan prostitusi dan kadang-kadang untuk tujuan tenaga kerja
paksa menjadi masalah.
Pemerintah tidak efektif
dalam mencegah tindak kekerasan sosial, antar-etnis dan antar-umat beragama
yang menyebabkan sebagian besar kematian akibat kekerasan sepanjang tahun.
Penegakan hukum terhadap kekerasan kriminal merosot sehingga berbagai kelompok
agama sebagaimana Laskar jihad dan Fron Pembela Islam (FPI) dengan dalih menegakkan
moral public justru beramai-ramai menggelar peradilan jalanan tanpa terkena
tindakan hukum. Kelompok-kelompok agama ini buka hanya merazia tempat-tempat
hiburan yang dianggap menjadi tempat transaksi jual-beli narkoba, atau
prostitusi, tapi juga bahkan hingga ke rumah-rumah pribadi, hingga
sanggar-sanggar seniman di kawasan Taman Ismail Marzuki.
Akhirnya pada Januari
2001, Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 6, yang
mencabut larangan tentang praktek agama Kong Hu Cu dan adat masyarakat Cina.
Masyarakat Cina untuk pertama kali merayakan Tahun Baru mereka secara terbuka setelah
lebih dari 30 tahun.
C. Era Megawati
Era kepemimpinan Megawati ditandai dengan disahkannya PP No. 2 Tahun 2002 tentang tata cara perlindungan
terhadap korban dan saksi dalam pelanggaran HAM yang berat dan PP No. 3 Tahun
2002 tentang kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi terhadap korban
pelanggaran HAM berat.
Kompensasi adalah ganti
kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku yang tidak terbukti bersalah.
Sedangkan restitusi yaitu ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau
keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga yang dapat berupa pengembalian barang
milik, pembayaran ganti rugi untuk kehilangan, dan penggantian biaya untuk
tindakan tertentu.
Dalam era ini juga lahir UU
Nomor 26 Tahun 2002 yang mencanangkan adanya beberapa hak, antara lain hak non-retroaktif yang bersifat non-derogable (bukan hak asasi biasa) yaitu
masalah tidak berlaku surut. Konsekuensi dari ini adalah telah didirikannya
Pengadilan Ad Hoc untuk masalah Timor
Timur.
Upaya penegakan HAM melalui jalur Pengadilan
HAM, mengikuti ketentuan-ketentuan antara
lain, sebagai berikut:
1.
Kewenangan memeriksan dan memutus
perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat tersebut di atas oleh
Pengadilan HAM tidak berlaku bagi pelaku yang berumur di bawah 18 tahun pada
saat kejahatan dilakukan.
2.
Terhadap pelanggaran hak asasi
manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkan UU Nomor 26 Tahun 2000,
diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad
hoc. Pembentukan Pengadilan HAM ad
hoc diusulkan oleh DPR berdasarkan pada dugaan telah terjadinya pelanggaran
hak asasi manusia yang berat yang dibatasi pada tempat dan waktu perbuatan
tertentu (locus dan tempos delicti)
yang terjadi sebelum diundangkannya UUNomor 26 Tahun 2000.
3.
Agar pelaksanaan Pengadilan HAM
bersifat jujur, maka pemeriksaan perkaranya dilakukan majelis hakim Pengadilan
HAM yang berjumlah 5 orang. Lima orang tersebut, terdiri atas 2 orang hakim
dari Pengadilan HAM yang bersangkutan dan 3 orang hakim ad hoc (diangkat di luar hakim karir). Sedang
penegakan HAM melalui KKR penyelesaian pelanggaran HAM dengan cara para pelaku
mengungkapkan pengakuan atas kebenaran bahwa ia telah melakukan pelanggaran HAM
terhadap korban atau keluarganya, kemudian dilakukan perdamaian. Jadi KKR
berfungsi sebagai mediator antara pelaku pelanggaran dan korban.
D. Era Susilo Bambang Yudhoyono
Era kepemimpinan SBY ditandai dengan disahkannya UU No. 11 Tahun 2005 tentang pengesahan kovenan
internasional tentang hak ekonomi, sosial, dan budaya. Demikian juga disahkan
UU No. 12 Tahun 2005 tentang pengesahan kovenan internasional tentang hak sipil
dan politik.
Selama periode 2004-2009, Pemerintahan SBY telah mengidentifikasi dua hal utama yang mengakibatkan mandegnya
pemajuan, perlindungan dan penegakan hak asasi
manusia Indonesia. Dalam masa pemerintahannya yang pertama ini, kedua masalah ini tampaknya gagal untuk diatasi
dan diselesaikan. Dua masalah ini menyangkut:
1.
Masih banyaknya pelanggar
HAM yang tidak dapat bertanggung jawab dan tidak
dapat dihukum (impunitas), dan
2.
Tidak berfungsinya
institusi-institusi negara yang berwenang dan wajib menegakkan HAM.
Dalam analisa pemerintahan SBY, masalah impunitas telah terjadi secara
meluas dan hampir di setiap kasus
pelanggaran HAM yang terjadi, baik sebelum dan sesudah masa reformasi. Sementara tidak berfungsinya institusi-institusi negara
yang berwenang diakibatkan karena
seluruh institusi-institusi tersebut terjebak dalam alasan procedural hukum, politik birokrasi, tidak adanya good-will, dan aksi saling lempar
tanggung jawab.
Permasalahannya, untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang terang dan jelas tersebut,
Pemerintahan SBY menanggapinya dengan
langkah-langkah yang secara awam tidak jelas dan tidak konkrit. Sehingga, di kemudian hari, setelah lima
tahun masa pemerintahannya berjalan, permasalahan-permasalahan
tersebut tetap saja tidak terselesaikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar