Minggu, 29 Januari 2012

Konstruksi Hak Asasi Manusia Antara Kewajiban dan Tanggung Jawab Pemerintah


  Oleh. Muh. Khamdan

Widyaiswara Kementerian Hukum dan HAM RI

Pendahuluan

Manusia merupakan makhluk yang sangat beruntung dalam kemuliaannya dibanding makhluk Tuhan lainnya. Hal ini karena dalam proses penciptaannya, manusia telah dibekali adanya fitrah [1] yang umum dikenal dengan potensi rasa, cipta, karsa, dan karya. Dengan bekal fitrah, manusia mampu mengetahui seluruh nama benda, seperti termaktub dalam Q.S. Al Baqarah ayat 31, sebagai salah satu syarat memerankan (khalifah) kepemimpinanya di dunia.
Berawal dari pengetahuan tentang nama-nama benda, rasa keingintahuan atas sesuatu pada akhirnya selalu muncul. Dari sinilah peran kepemimpinan manusia di dunia mendapatkan babak pengujian, setelah Allah mengamanatkan bahwa cara memanfaatkan bekal untuk mencapai suatu tujuan yang diharapkan, semua menjadi wewenang manusia itu sendiri.[2] Bekal fitrah berupa akal budi dan nurani itulah yang memberi kemampuan kepada manusia untuk dapat membedakan yang baik dan yang buruk, sehingga akan mengarahkan perilaku dalam menjalani kehidupannya. Dengan demikian maka manusia memiliki budi sendiri dan karsa yang merdeka secara sendiri, manusia memiliki martabat dan derajat yang sama, maka manusia memiliki hak-hak dan kewajiban yang sama pula. Oleh karena itu, manusia memiliki kebebasan untuk memutuskan sendiri perilaku atau perbuatannya.
Untuk mengimbangi kebebasan tersebut, manusia memiliki kemampuan untuk bertanggung jawab atas semua tindakan yang dilakukannya. Kebebasan dan hak-hak dasar itulah yang disebut dengan hak asasi manusia yang melekat pada manusia secara kodrati sebagai anugerah Tuhan. Hak-hak tersebut tidak dapat diingkari, oleh sebab itu pengingkaran terhadap hak tersebut berarti mengingkari harkat dan martabat manusia.
Secara umum hak asasi manusia diartikan sebagai hak-hak dasar yang dimiliki setiap manusia yang dibawa sejak dinyatakan telah bernyawa sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. Artinya, hak asasi ini bukan diberikan atau pemberian orang lain, golongan, atau negara, tetapi sudah melekat sejak seseorang sudah memiliki nyawa meskipun masih di dalam kandungan.[3] Hak dasar yang secara kodrati sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa ini melekat dan dimiliki setiap manusia, bersifat universal, dan abadi, yang meliputi hak hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan, dan hak kesejahteraan.
Negara mengemban kewajiban untuk mengakui dan melindungi hak asasi manusia pada setiap warganya tanpa terkecuali. Ini berarti bahwa hak asasi manusia harus selalu menjadi titik tolak dan tujuan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Perilaku tidak adil dan diskriminatif merupakan suatu pelanggaran hak asasi manusia, baik yang bersifat vertikal (dilakukan oleh aparat negara terhadap warga negara atau sebaliknya) maupun horizontal (antar warga negara sendiri), termasuk juga kategori pelanggaran hak asasi manusia yang berat ( grossviolation of human rights). [4]  
Berdasarkan pertimbangan tersebut maka untuk memayungi seluruh peraturan perundang-undangan yang sudah ada, perlu dibentuk Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia. Oleh karenanya, dibentuklah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Dengan dibentuknya Undang-undang ini agar terdapat sumber hukum yang tegas dalam mengatur pelaksanaan penegakkan dan perlindungan terhadap HAM di Indonesia. Dalam Undang-Undang tersebut negara wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-Undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh Negara Republik Indonesia. [5]  

 

Konstruksi Kewajiban dan Tanggung Jawab Pemerintah Atas HAM

1.        Sejarah Pemikiran HAM di Indonesia
Sejarah pemikiran dan perjuangan politik atas HAM di Indonesia sesungguhnya sudah dimulai beberapa bulan sebelum proklamasi. Perjuangan politik yang diwarnai adanya perdebatan-perdebatan itu terjadi di dalam rapat-rapat Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) ketika membahas gagasan ide negara dan dasar negara.
BPUPKI terbelah menjadi dua kelompok mengenai dasar negara. Kelompok pertama sebagai wakil Islam menginginkan negara berdasarkan Islam, sedangkan kelompok kedua sebagai wakil kalangan nasionalis sekuler. Kelompok Islam terdiri dari K.H. A. Sanusi (PUI), Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Mas Mansur, Abdul Kahar Muzakkir (Muhammadiyah), K.H.A. Wahid Hasyim, K.H. Masykur (NU), Sukiman Wiryosanjoyo (PII), Abikusno Cokrosuyoso (PSII), Agus Salim (Penyadar), dan K.H. Abdul Halim. Sedangkan tokoh nasionalis sekuler bersikeras kalau Islam sebagai dasar negara, yang terdiri dari Dr. Rajiman, Sukarno, Muhammad Hatta, Profesor Supomo, Muhammad Yamin, Wongsonegoro, Sartono, R.P. Suroso, dan Dr. Buntaran Martoatmojo. [6]
Pada 1 Juni 1945, Sukarno berpidato tentang pentingnya pemisahan agama dan negara. Sukarno juga menawarkan paradigma baru dasar negara dengan mengembangkan lima asas yang kemudian dikenal dengan Pancasila. Sebelumnya, Profesor Supomo sudah menawarkan konsep negara integralistik yang berbeda dengan negara individualistik ala John Locke maupun negara kelas ala karl Marx.
Negara individu berangkat dari adanya hasil kontrak individu-individu yang bebas karena individu adalah pusat kekuasaan. John Locke, pemikir politik dari Inggris, menyatakan bahwa semua orang diciptakan sama dan memiliki hak–hak alamiah yang tidak dapat dilepaskan. Hak alamiah itu meliputi hak atas hidup, hak kemerdekaan, hak milik dan hak kebahagiaan. Pemikiran John Locke ini dikenal sebagai konsep HAM yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan HAM di berbagai belahan dunia. Sedangkan negara kelas adalah perpanjangan tangan kelas dominan di masyarakat, yaitu yang memiliki modal.
Berbeda dengan kosep negara indivudalistik maupun negara kontrak, negara integralistik merupakan suatu susunan masyarakat integral, segala golongan, segala bagian, segala anggotanya berhubungan erat satu sama lain, dan sebagai persatuan masyarakat yang organis. Dalam pandangan Supomo, sistem kekeluargaan warganegara diwujudkan dengan kesadaran tentang tugas dan peran indivisu sebagai bagian dari keluarga besar yang terbangun. Individu adalah manusia yang bebas namun memiliki tugas dan kewajiban terhadap keluarga besar negara yang terbentuk.
Dari sudut pandang tersebut, perlawanan terjadi dari kalangan Islam karena kebebasan pribadi dianggap bertolak belakang dengan ajaran Islam yang menekankan pengaturan menyeluruh segala aspek kehidupan manusia. Untuk itulah negara tidak bisa dipisahkan dengan agama, pun agama bukan urusan pribadi tetapi urusan negara.[7] Kebebasan pribadi dianggap sebagai jalan pikiran sekuler yang berniat mengunci agama dalam mengurus kehidupan umatnya. Perdebatan itu dapat diketahui dari rancangan undang-undang dasar 1945.
Pasal 28 bab X dalam rancangan UUD 1945 berbunyi bahwa “negara menjamin kebebasan setiap warga negara untuk memeluk agama apapun dan untuk menjalankan ibadahnya sesuai agama masing-masing”. Bab ini oleh kelompok Islam dianggap terlalu mengedepankan kebebasan pribadi yang berlawanan dengan ajaran Islam karena menjamin kebebasan untuk berpindah agama. Maka setelah melewati perdebatan, dirubahlah menjadi “negara menjamin kebebasan bagi setiap warga negara untuk memeluk agamanya dan untuk beribadat sesuai dengan agama masing-masing”. Bagi kelompok Islam, hal ini sejalan dengan ajaran Islam yang menutup kemungkinan untuk pindah-pindah agama.
Perdebatan soal dasar negara terus berlanjut sampai menghasilkan Piagam Jakarta yang ditandatangani Sembilan orang, yaitu Ir. Sukarno, Drs. Muhammad Hatta, Mr. A.A. Maramis, Mohammad Yamin, Ahmad Subardjo, K.H.A. Wahid Hasyim, Abikusno Cokrosuyoso, H. Agus Salim, dan Abdul Kahar Muzakkir. [8]  Di dalam Piagam Jakarta ini, semula tercantum “… dengan berdasar kepada Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya….” yang melalui berbagai persidangan berubah dengan ““… dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal ini jelas adanya penjaminan HAM yang menuntut netralitas negara dari setiap keyakinan yang ada. Negara adalah negara hukum yang meletakkan warga negara dalam jarak yang sama dengan hukum.
Bagi bangsa Indonesia, melaksanakan HAM bukan berarti melaksanakan dengan sebebasnya, tetapi harus memperhatikan ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam pandangan hidup bangsa Indonesia. Hal ini diakibatkan tidak adanya hak yang dapat dilaksanakan tanpa memperhatikan hak orang lain. Oleh karena itu, setiap hak akan dibatasi oleh hak orang lain.
Penegasan HAM oleh negara itu, setidaknya dapat dilihat dari jaminan konstitusi sebagai berikut: [9]
1.    HAM dalam UUD 1945, yang teruraikan pada:
1)   Pembukaan alinea 1 yang menyatakan ”bahwa seseungguhnya kemerdekaan ialah hak segala bangsa.......”.
2)   Pembukaan alinea 2 “…mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”. Ini memuat hak asasi politik berupa kedaulatan, dan mengandung hak asasi ekonomi berupa kemakmuran dan keadilan.
3)   Alinea 3, ”atas berkat rahmat Allah yang maha kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas.........,” ini merupakan pengakuan kemerdekaan sebagai anugerah Tuhan.
4)   Alinea 4, ”......melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruuh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia.....”. Hal ini menjelaskan bahwa negara memberikan jaminan hak asasi terhadap warga negaranya.
2.        HAM dalam batang tubuh UUD 1945 diatur secara khusus dalam pasal 28A-28J. Dan secara umum HAM diatur dalam pasal 27-34 UUD 1945
3.        HAM dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM yang terdiri dari XI Bab dan 106 pasal. Merupakan rujukan dari undang-undang lainnya tentang HAM
4.        HAM dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM, sebagai peradilan khusus dilingkungan peradilan umum. Merupakan undang-undang yang merespon isu-isu pelanggaran HAM pasca-tragedi 1998. Di dalamnya mengatur dua pelanggaran HAM berat, yaitu genosida dan pelanggaran kemanusiaan.
5.        HAM dalam UU No. 11 Tahun 2005 tentang pengesahan kovenan internasional tentang hak ekonomi, sosial, dan budaya.
6.        HAM dalam UU No. 12 Tahun 2005 tentang pengesahan kovenan internasional tentang hak sipil dan politik.
7.        Ratifikasi konvensi Anti Penyiksaan dalam UU No. 5 Tahun 1998.
8.        Ratifikasi konvensi Anti Diskriminasi Ras dalam UU No. 29 Tahun 1999.
9.        HAM dalam TAP MPR No. XVII/MPR/1998, yang memuat piagam HAM serta pandangan dan sikap bangsa Indonesia terhadap HAM.
10.    HAM dalam TAP MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN. Dimuat dalam arah penyelenggaraan negara, yaitu mewujudkan kehidupan yang demokratis, berkeadilan sosial, dan melindungi hak asasi manusia.
11.    HAM dalam Keppres No. 50 Tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi  Manusia (KOMNASHAM), yang bertugas untuk melaksanakan penyuluhan, pengkajian, pemantauan, penelitian dan mediasi tentang HAM.
12.    HAM dalam PP No. 2 Tahun 2002 tentang tata cara perlindungan terhadap korban dan saksi dalam pelanggaran HAM yang berat
13.    HAM dalam PP No. 3 Tahun 2002 tentang kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi terhadap korban pelanggaran HAM berat.
-    Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku yang tidak terbukti bersalah.
-    Restitusi yaitu ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga yang dapat berupa pengembalian barang milik, pembayaran ganti rugi untuk kehilangan, dan penggantian biaya untuk tindakan tertentu.
14.  HAM dalam Keppres No. 181 Tahun 1998 tentang komisi nasional anti kekerasan terhadap perempuan.
Adanya pemberlakuan sejumlah peraturan perundang-undangan dan peratifikasian beberapa konvensi internasional tentang HAM oleh negara Indonesia, menunjukkan bahwa secara de jure pemerintah telah mengakui HAM yang bersifat universal. Hal ini memberikan kepastian hukum bagi masyarakat untuk mendapatkan penegakan hak-hak asasinya.
Di Indonesia secara garis besar disimpulkan, hak-hak asasi manusia itu dapat dibeda-bedakan menjadi sebagai berikut: [10]
a.    Hak-hak asasi pribadi (personal rights) yang meliputi kebebasan berpendapat, kebebasan memeluk agama, dan kebebasan bergerak.
b.    Hak-hak asasi ekonomi (property rights) yang meliputi hak untuk memiliki sesuatu, hak untuk membeli dan menjual serta memanfaatkannya.
c.    Hak-hak asasi politik (political rights) yaitu hak untuk ikut serta dalam pemerintahan, hak pilih (dipilih dan memilih dalam pemilu) dan hak untuk mendirikan partai politik.
d.   Hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan (rights of legal equality).
e.    Hak-hak asasi sosial dan kebudayaan (social and culture rights). Misalnya hak untuk memilih pendidikan dan hak untuk mengembangkan kebudayaan.
f.     Hak asasi untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan (procedural rights). Misalnya peraturan dalam hal penahanan, penangkapan, penggeledahan, dan peradilan.

2.        Kewajiban dan Tanggung Jawab Pemerintah
Sebagaimana yang termuat dalam kovenan internasional hak-hak sipil dan politik, HAM memiliki tempat dan bersubjek pada setiap diri manusia atau individu. Hak7 asasi yang dimiliki seseorang karena ia seorang manusia. Jadi pihak yang menikmati dan bisa mengklaim suatu perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah individu. Sedangkan setiap hak asasi yang melekat pada individu membutuhkan adanya pihak yang memiliki tugas untuk memenuhi dan melindunginya, yaitu negara.
Kewajiban negara untuk memenuhi (obligation to fulfil) menekankan pada upaya-upaya positif negara melalui mekanisme legislatif, yudikatif, atau administrative. Ketiga kewajiban negara ini secara jelas sebagai implementasi hak-hak sipil dan politik yang mengandaikan adanya kombinasi kewajiban negara, baik yang bersifat negatif maupun yang bersifat positif.
Tujuan nasional dalam menegakkan HAM tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi, “Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Dalam tujuan nasional tersebut terkandung misi dan visi bangsa Indonesia di bidang hak asasi manusia yang akan mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera, hak asasinya terjunjung tinggi, terpenuhi dan terlindungi.
Untuk mewujudkan itu semua, perlu dilaksanakan pembangunan di segala bidang, termasuk pembangunan Indonesia seutuhnya, dan hal tersebut membutuhkan proses dalam waktu yang tidak pendek yang mengarah pada penghormatan, pemajuan, pemenuhan dan perlindungan Hak Asasi Manusia. Komitmen Pemerintah dalam mewujudkan penegakan HAM, antara lain telah ditunjukkan dalam prioritas pembangunan Nasional tahun 2000-2004 (Propenas) dengan pembentukan kelembagaan yang berkaitan dengan HAM.

Tabel Tiga Kewajiban Negara Atas HAM [11]
Kewajiban
Batasan yang Dimaksud
Contoh Pelaksanaan



Menghormati
Menghindari tindakan intervensi atau mengambil kewajiban negatif
Untuk hak hidup, negara berkewajiban tidak melakukan pembunuhan

Untuk hak mendapat pekerjaan, negara berkewajiban tidak menyingkirkan orang dari pasar tenaga kerja

Melindungi
Kewajiban melindungi, mengharuskan negara mengambil kewajiban positif






Kewajiban melindungi, negara melakukan investigasi, penuntutan, penghukuman terhadap pelaku, dan pemulihan korban pasca tindak pidana atau pelanggaran HAM
Untuk hak hidup, negara harus mencabut produk UU yang membenarkan hukuman mati

Untuk hak mendapat pekerjaan, negara harus mencabut produk hukum nasional yang mengasingkan orang dari pasar kerja

Institusi penegak HAM, termasuk lembaga yudisial dapat mengambil tindakan yang diperlukan guna mencegah praktik kejahatan pengurangan hak atau gangguan hak

Kegagalan negara untuk mengungkap suatu kebenaran, penuntutan, dan penghukuman terhadap pelaku dan pemulihan bagi korban merupakan suatu pelanggaran HAM yang baru atau disebut impunitas

Memenuhi
Kewwajiban memenuhi mengharuskan negara mengambil tindakan-tindakan legislasi, administrative, peradilan, dan langkah lain yang diperlukan untuk memastikan bahwa para pejabat negara atau pihak ketiga melaksanakan penghormatan dan perlindungan HAM

Negara harus melatih institusi kepolisian dan militer tentang bagaimana melakukan tindakan menghadapi demonstrasi, criminal agresif secara professional dan efesien

Untuk hak ekonomi, sosial, budaya, negara memastikan bahwa lembaga-lembaga pemerintahan harus mampu memberikan pelayanan yang memadai kepada warga negara tanpa diskriminasi
Namun perkembangannya, hak asasi manusia justru oleh sebagian kalangan dipandang sekadar sebagai perwujudan faham individualisme dan liberalisme. Padahal, hak asasi manusia secara humanistis adalah hak-hak yang inheren dengan harkat dan martabat kemanusiaan, apapun latar belakang ras, etnik, agama, warna kulit, jenis kelamin dan pekerjaannya. Oleh karenanya, muncullah banyak kalangan yang berasumsi negatif terhadap pemerintah dalam menegakkan HAM. Sangat perlu diketahui bahwa pemerintah Indonesia sudah sangat serius dalam menegakkan HAM. Hal ini dapat kita lihat dari upaya pemerintah sebagai berikut: [12]
1.        Indonesia menyambut baik kerja sama internasional dalam upaya menegakkan HAM di seluruh dunia atau di setiap negara dan Indonesia sangat merespons terhadap pelanggaran HAM Internasional. Hal ini sebagaimana peran yang dilakukan dalam penyelesaian konflik regional ASEAN.
2.        Komitmen Pemerintah Indonesia dalam mewujudkan penegakan HAM, antara lain telah ditunjukkan dalam prioritas pembangunan Nasional tahun 2000-2004 (Propenas) dengan pembentukan kelembagaan yang berkaitan dengan HAM. Sejak masa pemerintahan Habibie, sudah dicanangkan Rencana Aksi nasional Hak Asasi Manusia (RAN-HAM) 1998-2003, dan berlanjut sampai sekarang dengan Keppres Nomor 23 tahun 2011 yang baru ditandatangani pada 11 April 2011 dengan RAN-HAM 2011-2014.
3.        Dalam hal kelembagaan telah dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dengan Keputusan Presiden Nomor 50 tahun 1993, serta pembentukan Komisi Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Demikian juga didirikannya banyak lembaga khusus yang ditujukan untuk perlindungan hak sipil dan politik seperti Komnas Anak, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, Komisi Ombudsman, dan lain-lain.
4.        Pengesahan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia, yang didukung Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM, serta masih banyak UU yang lain yang belum tersebutkan menyangkut penegakan hak asasi manusia. Menjadi titik berat dalam UU nomor 39 tahun 1999 adalah sebagai berikut:
1)        Hak untuk hidup.
2)        Hak berkeluarga.
3)        Hak memperoleh keadilan.
4)        Hak atas kebebasan pribadi.
5)        Hak kebebasan pribadi
6)        Hak atas rasa aman.
7)        Hak atas kesejahteraan.
8)        Hak turut serta dalam pemerintahan.
9)        Hak wanita
10)    Hak anak
Hal-hal tersebut sebagai bukti konkret bahwa Indonesia tidak main-main dalam penegakan HAM sebagai bentuk pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawabnya untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak semua warga negaranya.


[1] Hujjatul Islam Imam Al Ghazali menyatakan fitrah sebagai keistimewaan manusia, meliputi; keimanan, kemampuan membedakan baik dan buruk, keingintahuan, dorongan biologis, sifat manusiawi. Zainuddin., Seluk Beluk Pendidikan Dari al Ghazali, (Jakarta: Bumi Akasara, 1991), hal. 66-67.
[2]Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan mereka sendiri.” Al Qur’an, Surat Ar-Ra’du Ayat 11, Al Qur’an dan Terjemahnya, Mujamma’ al Malik Fahd Li Thiba’atil Mushhaf asy Syarif, 1421H, hal. 57.
[3] LG. Saraswati, et.all, Hak Asasi Manusia: Teori, Hukum, Kasus, (Jakarta: UI Press, 2006), hal. 7.
[4] UU Nomor 39 Tahun 1999 Bab I tentang ketentuan umum pasal 1 (6) menyatakan bahwa pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja atau tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh UU ini, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
[5] UU Nomor 39 Tahun 1999 Bab V tentang kewajiban dan tanggung jawab pemerintah, pasal 71
[6] Ki Bagus Hadikusumo, Islam sebagai Dasar Negara dan Akhlak Pemimpin, (Yogjakarta: Pustaka Rahayu, 1954), hal. 15
[7] LG. Saraswati, et.all, Hak Asasi Manusia: Teori, Hukum, Kasus, hal. 43
[8] Silalahi, Dasar-Dasar Indonesia Merdeka versi Pendiri Negara, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), hal. 166
[9] Muh. Khamdan, HAM Bagi Narapidana, (Kudus: Parist, 2011), hal. 28-29
[10] Muh. Khamdan, HAM Bagi Narapidana, hal. 28-29
[11] Menurut Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan Indonesia Australia Legal Development Facility (IALDF). Sentot Setyasiswanto, Panduan Untuk Pekerja HAM: Pemantauan dan Investigasi Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Konras-IALDF, 2009), hal. 34
[12] Satyo Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2003)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar