Oleh. Muh. Khamdan
Widyaiswara Kementerian Hukum dan HAM RI
Pendahuluan
Manusia
merupakan makhluk yang sangat beruntung dalam kemuliaannya dibanding makhluk
Tuhan lainnya. Hal ini karena dalam proses penciptaannya, manusia telah
dibekali adanya fitrah [1] yang
umum dikenal dengan potensi rasa, cipta, karsa, dan karya. Dengan bekal fitrah, manusia mampu mengetahui seluruh nama benda,
seperti termaktub dalam Q.S. Al Baqarah ayat 31, sebagai salah satu syarat
memerankan (khalifah) kepemimpinanya di dunia.
Berawal dari pengetahuan tentang nama-nama benda,
rasa keingintahuan atas sesuatu pada akhirnya selalu muncul. Dari sinilah peran kepemimpinan manusia di
dunia mendapatkan babak pengujian, setelah Allah mengamanatkan bahwa cara memanfaatkan
bekal untuk mencapai suatu tujuan yang diharapkan, semua menjadi wewenang
manusia itu sendiri.[2] Bekal fitrah berupa akal budi dan
nurani itulah yang memberi kemampuan kepada manusia untuk dapat membedakan yang
baik dan yang buruk, sehingga akan mengarahkan perilaku dalam menjalani
kehidupannya. Dengan demikian maka manusia memiliki budi sendiri
dan karsa yang merdeka secara sendiri, manusia memiliki martabat dan derajat
yang sama, maka manusia memiliki hak-hak dan kewajiban yang sama pula. Oleh
karena itu, manusia memiliki kebebasan untuk memutuskan sendiri perilaku atau
perbuatannya.
Untuk
mengimbangi kebebasan tersebut, manusia memiliki kemampuan untuk bertanggung
jawab atas semua tindakan yang dilakukannya. Kebebasan dan hak-hak dasar itulah
yang disebut dengan hak asasi manusia yang melekat pada manusia secara kodrati
sebagai anugerah Tuhan. Hak-hak tersebut tidak dapat diingkari, oleh sebab itu
pengingkaran terhadap hak tersebut berarti mengingkari harkat dan martabat
manusia.
Secara umum hak asasi manusia diartikan sebagai
hak-hak dasar yang dimiliki setiap manusia yang dibawa sejak dinyatakan telah
bernyawa sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. Artinya, hak asasi ini
bukan diberikan atau pemberian orang lain, golongan, atau negara, tetapi sudah
melekat sejak seseorang sudah memiliki nyawa meskipun masih di dalam kandungan.[3] Hak dasar yang secara kodrati
sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa ini melekat dan dimiliki setiap
manusia, bersifat universal, dan abadi, yang meliputi hak hidup, hak
berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak
keamanan, dan hak kesejahteraan.
Negara
mengemban kewajiban untuk mengakui dan melindungi hak asasi manusia pada setiap
warganya tanpa terkecuali. Ini berarti bahwa hak asasi manusia harus selalu
menjadi titik tolak dan tujuan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Perilaku tidak adil dan diskriminatif merupakan suatu
pelanggaran hak asasi manusia, baik yang bersifat vertikal (dilakukan
oleh aparat negara terhadap warga negara atau sebaliknya) maupun horizontal
(antar warga negara sendiri), termasuk juga kategori pelanggaran hak asasi manusia
yang berat ( grossviolation of human rights). [4]
Berdasarkan
pertimbangan tersebut maka untuk memayungi seluruh peraturan perundang-undangan
yang sudah ada, perlu dibentuk Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia. Oleh karenanya,
dibentuklah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Dengan
dibentuknya Undang-undang ini agar terdapat sumber hukum yang tegas dalam
mengatur pelaksanaan penegakkan dan perlindungan terhadap HAM di Indonesia.
Dalam Undang-Undang tersebut negara wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi,
menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-Undang
ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak
asasi manusia yang diterima oleh Negara Republik Indonesia. [5]
Konstruksi Kewajiban dan Tanggung Jawab Pemerintah Atas HAM
1.
Sejarah
Pemikiran HAM di Indonesia
Sejarah pemikiran
dan perjuangan politik atas HAM di Indonesia sesungguhnya sudah dimulai
beberapa bulan sebelum proklamasi. Perjuangan politik yang diwarnai adanya
perdebatan-perdebatan itu terjadi di dalam rapat-rapat Badan Penyelidik
Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) ketika membahas gagasan
ide negara dan dasar negara.
BPUPKI terbelah
menjadi dua kelompok mengenai dasar negara. Kelompok pertama sebagai wakil
Islam menginginkan negara berdasarkan Islam, sedangkan kelompok kedua sebagai
wakil kalangan nasionalis sekuler. Kelompok Islam terdiri dari K.H. A. Sanusi
(PUI), Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Mas Mansur, Abdul Kahar Muzakkir
(Muhammadiyah), K.H.A. Wahid Hasyim, K.H. Masykur (NU), Sukiman Wiryosanjoyo
(PII), Abikusno Cokrosuyoso (PSII), Agus Salim (Penyadar), dan K.H. Abdul
Halim. Sedangkan tokoh nasionalis sekuler bersikeras kalau Islam sebagai dasar
negara, yang terdiri dari Dr. Rajiman, Sukarno, Muhammad Hatta, Profesor
Supomo, Muhammad Yamin, Wongsonegoro, Sartono, R.P. Suroso, dan Dr. Buntaran
Martoatmojo. [6]
Pada 1 Juni 1945, Sukarno berpidato tentang
pentingnya pemisahan agama dan negara. Sukarno juga menawarkan paradigma baru
dasar negara dengan mengembangkan lima asas yang kemudian dikenal dengan
Pancasila. Sebelumnya, Profesor Supomo sudah menawarkan konsep negara
integralistik yang berbeda dengan negara individualistik ala John Locke maupun
negara kelas ala karl Marx.
Negara individu berangkat dari adanya hasil kontrak
individu-individu yang bebas karena individu adalah pusat kekuasaan. John
Locke, pemikir politik dari Inggris, menyatakan bahwa semua orang diciptakan
sama dan memiliki hak–hak alamiah yang tidak dapat dilepaskan. Hak alamiah itu
meliputi hak atas hidup, hak kemerdekaan, hak milik dan hak kebahagiaan.
Pemikiran John Locke ini dikenal sebagai konsep HAM yang sangat berpengaruh
terhadap perkembangan HAM di berbagai belahan dunia. Sedangkan negara kelas
adalah perpanjangan tangan kelas dominan di masyarakat, yaitu yang memiliki
modal.
Berbeda dengan kosep negara indivudalistik maupun
negara kontrak, negara integralistik merupakan suatu susunan masyarakat
integral, segala golongan, segala bagian, segala anggotanya berhubungan erat
satu sama lain, dan sebagai persatuan masyarakat yang organis. Dalam pandangan
Supomo, sistem kekeluargaan warganegara diwujudkan dengan kesadaran tentang
tugas dan peran indivisu sebagai bagian dari keluarga besar yang terbangun. Individu
adalah manusia yang bebas namun memiliki tugas dan kewajiban terhadap keluarga
besar negara yang terbentuk.
Dari sudut pandang tersebut, perlawanan terjadi dari
kalangan Islam karena kebebasan pribadi dianggap bertolak belakang dengan
ajaran Islam yang menekankan pengaturan menyeluruh segala aspek kehidupan
manusia. Untuk itulah negara tidak bisa dipisahkan dengan agama, pun agama
bukan urusan pribadi tetapi urusan negara.[7] Kebebasan
pribadi dianggap sebagai jalan pikiran sekuler yang berniat mengunci agama
dalam mengurus kehidupan umatnya. Perdebatan itu dapat diketahui dari rancangan
undang-undang dasar 1945.
Pasal 28 bab X dalam rancangan UUD 1945 berbunyi
bahwa “negara menjamin kebebasan setiap
warga negara untuk memeluk agama apapun dan untuk menjalankan ibadahnya sesuai
agama masing-masing”. Bab ini oleh kelompok Islam dianggap terlalu
mengedepankan kebebasan pribadi yang berlawanan dengan ajaran Islam karena
menjamin kebebasan untuk berpindah agama. Maka setelah melewati perdebatan,
dirubahlah menjadi “negara menjamin
kebebasan bagi setiap warga negara untuk memeluk agamanya dan untuk beribadat
sesuai dengan agama masing-masing”. Bagi kelompok Islam, hal ini sejalan
dengan ajaran Islam yang menutup kemungkinan untuk pindah-pindah agama.
Perdebatan soal dasar negara terus berlanjut sampai
menghasilkan Piagam Jakarta yang ditandatangani Sembilan orang, yaitu Ir.
Sukarno, Drs. Muhammad Hatta, Mr. A.A. Maramis, Mohammad Yamin, Ahmad Subardjo,
K.H.A. Wahid Hasyim, Abikusno Cokrosuyoso, H. Agus Salim, dan Abdul Kahar
Muzakkir. [8] Di dalam Piagam Jakarta ini, semula tercantum
“… dengan berdasar kepada Ketuhanan,
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya….” yang
melalui berbagai persidangan berubah dengan ““… dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal ini jelas
adanya penjaminan HAM yang menuntut netralitas negara dari setiap keyakinan
yang ada. Negara adalah negara hukum yang meletakkan warga negara dalam jarak
yang sama dengan hukum.
Bagi bangsa Indonesia, melaksanakan HAM bukan berarti
melaksanakan dengan sebebasnya, tetapi harus memperhatikan ketentuan-ketentuan
yang terkandung dalam pandangan hidup bangsa Indonesia. Hal ini diakibatkan
tidak adanya hak yang dapat dilaksanakan tanpa memperhatikan hak orang lain.
Oleh karena itu, setiap hak akan dibatasi oleh hak orang lain.
Penegasan HAM oleh negara itu, setidaknya dapat
dilihat dari jaminan konstitusi sebagai berikut: [9]
1. HAM dalam UUD 1945, yang teruraikan pada:
1) Pembukaan alinea 1
yang menyatakan ”bahwa seseungguhnya
kemerdekaan ialah hak segala bangsa.......”.
2) Pembukaan
alinea 2 “…mengantarkan rakyat Indonesia
ke depan pintu gerbang kemerdekaan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan
makmur”. Ini memuat hak asasi
politik berupa kedaulatan, dan mengandung hak asasi ekonomi berupa kemakmuran
dan keadilan.
3) Alinea 3, ”atas berkat rahmat Allah yang maha kuasa
dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan
yang bebas.........,” ini merupakan pengakuan kemerdekaan sebagai anugerah
Tuhan.
4) Alinea 4, ”......melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruuh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia.....”. Hal
ini menjelaskan bahwa negara memberikan jaminan hak asasi terhadap warga
negaranya.
2.
HAM dalam batang tubuh
UUD 1945 diatur secara khusus
dalam pasal 28A-28J. Dan secara umum HAM diatur dalam pasal 27-34 UUD
1945
3.
HAM dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang
HAM yang terdiri dari XI Bab dan 106 pasal. Merupakan rujukan dari
undang-undang lainnya tentang HAM
4.
HAM dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan
HAM, sebagai peradilan khusus dilingkungan peradilan umum. Merupakan
undang-undang yang merespon isu-isu pelanggaran HAM pasca-tragedi 1998. Di
dalamnya mengatur dua pelanggaran HAM berat, yaitu genosida dan pelanggaran
kemanusiaan.
5.
HAM dalam UU No. 11 Tahun 2005 tentang pengesahan
kovenan internasional tentang hak ekonomi, sosial, dan budaya.
6.
HAM dalam UU No. 12 Tahun 2005 tentang pengesahan
kovenan internasional tentang hak sipil dan politik.
7.
Ratifikasi konvensi Anti Penyiksaan dalam UU No. 5
Tahun 1998.
8.
Ratifikasi konvensi Anti Diskriminasi Ras dalam UU
No. 29 Tahun 1999.
9.
HAM dalam TAP MPR No.
XVII/MPR/1998, yang memuat piagam HAM serta pandangan dan sikap bangsa
Indonesia terhadap HAM.
10. HAM dalam TAP MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN. Dimuat dalam
arah penyelenggaraan negara, yaitu mewujudkan kehidupan yang demokratis,
berkeadilan sosial, dan melindungi hak asasi manusia.
11. HAM dalam Keppres No.
50 Tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia (KOMNASHAM), yang bertugas untuk melaksanakan penyuluhan,
pengkajian, pemantauan, penelitian dan mediasi tentang HAM.
12. HAM dalam PP No. 2
Tahun 2002 tentang tata cara perlindungan terhadap korban dan saksi dalam
pelanggaran HAM yang berat
13. HAM dalam PP No. 3
Tahun 2002 tentang kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi terhadap korban pelanggaran
HAM berat.
- Kompensasi adalah
ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku yang tidak terbukti
bersalah.
- Restitusi yaitu ganti
kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak
ketiga yang dapat berupa pengembalian barang milik, pembayaran ganti rugi untuk
kehilangan, dan penggantian biaya untuk tindakan tertentu.
14. HAM dalam Keppres No.
181 Tahun 1998 tentang komisi nasional anti kekerasan terhadap perempuan.
Adanya pemberlakuan
sejumlah peraturan perundang-undangan dan peratifikasian beberapa konvensi
internasional tentang HAM oleh negara Indonesia, menunjukkan bahwa secara de jure pemerintah telah mengakui HAM
yang bersifat universal. Hal ini memberikan kepastian hukum bagi masyarakat
untuk mendapatkan penegakan hak-hak asasinya.
Di Indonesia
secara garis besar disimpulkan, hak-hak asasi manusia itu dapat dibeda-bedakan
menjadi sebagai berikut: [10]
a. Hak-hak asasi pribadi (personal rights) yang meliputi
kebebasan berpendapat, kebebasan memeluk agama, dan kebebasan bergerak.
b. Hak-hak asasi ekonomi (property rights) yang meliputi hak
untuk memiliki sesuatu, hak untuk membeli dan menjual serta memanfaatkannya.
c. Hak-hak asasi politik (political rights) yaitu hak untuk
ikut serta dalam pemerintahan, hak pilih (dipilih dan memilih dalam pemilu) dan
hak untuk mendirikan partai politik.
d. Hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan
pemerintahan (rights of legal equality).
e. Hak-hak asasi sosial dan kebudayaan (social and culture
rights). Misalnya hak untuk memilih pendidikan dan hak untuk mengembangkan
kebudayaan.
f. Hak asasi untuk
mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan (procedural rights). Misalnya
peraturan dalam hal penahanan, penangkapan, penggeledahan, dan peradilan.
2.
Kewajiban
dan Tanggung Jawab Pemerintah
Sebagaimana yang
termuat dalam kovenan internasional hak-hak sipil dan politik, HAM memiliki
tempat dan bersubjek pada setiap diri manusia atau individu. Hak7 asasi yang
dimiliki seseorang karena ia seorang manusia. Jadi pihak yang menikmati dan
bisa mengklaim suatu perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah
individu. Sedangkan setiap hak asasi yang melekat pada individu membutuhkan
adanya pihak yang memiliki tugas untuk memenuhi dan melindunginya, yaitu
negara.
Kewajiban negara
untuk memenuhi (obligation to fulfil)
menekankan pada upaya-upaya positif negara melalui mekanisme legislatif,
yudikatif, atau administrative. Ketiga kewajiban negara ini secara jelas
sebagai implementasi hak-hak sipil dan politik yang mengandaikan adanya
kombinasi kewajiban negara, baik yang bersifat negatif maupun yang bersifat
positif.
Tujuan nasional dalam menegakkan HAM tercantum dalam
pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi, “Melindungi segenap bangsa
dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, serta ikut serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Dalam tujuan
nasional tersebut terkandung misi dan visi bangsa Indonesia di bidang hak asasi
manusia yang akan mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera, hak asasinya
terjunjung tinggi, terpenuhi dan terlindungi.
Untuk mewujudkan itu semua, perlu dilaksanakan
pembangunan di segala bidang, termasuk pembangunan Indonesia seutuhnya, dan hal
tersebut membutuhkan proses dalam waktu yang tidak pendek yang mengarah pada
penghormatan, pemajuan, pemenuhan dan perlindungan Hak Asasi Manusia. Komitmen
Pemerintah dalam mewujudkan penegakan HAM, antara lain telah ditunjukkan dalam
prioritas pembangunan Nasional tahun 2000-2004 (Propenas) dengan pembentukan
kelembagaan yang berkaitan dengan HAM.
Tabel Tiga Kewajiban Negara Atas HAM [11]
Kewajiban
|
Batasan yang Dimaksud
|
Contoh Pelaksanaan
|
Menghormati
|
Menghindari
tindakan intervensi atau mengambil kewajiban negatif
|
Untuk
hak hidup, negara berkewajiban tidak melakukan pembunuhan
Untuk
hak mendapat pekerjaan, negara berkewajiban tidak menyingkirkan orang dari
pasar tenaga kerja
|
Melindungi
|
Kewajiban
melindungi, mengharuskan negara mengambil kewajiban positif
Kewajiban
melindungi, negara melakukan investigasi, penuntutan, penghukuman terhadap
pelaku, dan pemulihan korban pasca tindak pidana atau pelanggaran HAM
|
Untuk
hak hidup, negara harus mencabut produk UU yang membenarkan hukuman mati
Untuk
hak mendapat pekerjaan, negara harus mencabut produk hukum nasional yang
mengasingkan orang dari pasar kerja
Institusi
penegak HAM, termasuk lembaga yudisial dapat mengambil tindakan yang
diperlukan guna mencegah praktik kejahatan pengurangan hak atau gangguan hak
Kegagalan
negara untuk mengungkap suatu kebenaran, penuntutan, dan penghukuman terhadap
pelaku dan pemulihan bagi korban merupakan suatu pelanggaran HAM yang baru
atau disebut impunitas
|
Memenuhi
|
Kewwajiban
memenuhi mengharuskan negara mengambil tindakan-tindakan legislasi,
administrative, peradilan, dan langkah lain yang diperlukan untuk memastikan
bahwa para pejabat negara atau pihak ketiga melaksanakan penghormatan dan
perlindungan HAM
|
Negara
harus melatih institusi kepolisian dan militer tentang bagaimana melakukan
tindakan menghadapi demonstrasi, criminal agresif secara professional dan
efesien
Untuk
hak ekonomi, sosial, budaya, negara memastikan bahwa lembaga-lembaga
pemerintahan harus mampu memberikan pelayanan yang memadai kepada warga
negara tanpa diskriminasi
|
Namun
perkembangannya, hak asasi manusia justru oleh sebagian kalangan dipandang
sekadar sebagai perwujudan faham individualisme dan liberalisme. Padahal, hak
asasi manusia secara humanistis adalah hak-hak yang inheren dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, apapun latar belakang ras, etnik, agama, warna kulit,
jenis kelamin dan pekerjaannya. Oleh karenanya, muncullah banyak kalangan yang
berasumsi negatif terhadap pemerintah dalam menegakkan HAM. Sangat perlu
diketahui bahwa pemerintah Indonesia sudah sangat serius dalam menegakkan HAM.
Hal ini dapat kita lihat dari upaya pemerintah sebagai berikut: [12]
1.
Indonesia menyambut baik kerja
sama internasional dalam upaya menegakkan HAM di seluruh dunia atau di setiap
negara dan Indonesia sangat merespons terhadap pelanggaran HAM Internasional.
Hal ini sebagaimana peran yang dilakukan dalam penyelesaian konflik regional
ASEAN.
2.
Komitmen Pemerintah Indonesia
dalam mewujudkan penegakan HAM, antara lain telah ditunjukkan dalam prioritas
pembangunan Nasional tahun 2000-2004 (Propenas) dengan pembentukan kelembagaan
yang berkaitan dengan HAM. Sejak masa pemerintahan Habibie, sudah dicanangkan
Rencana Aksi nasional Hak Asasi Manusia (RAN-HAM) 1998-2003, dan berlanjut
sampai sekarang dengan Keppres Nomor 23 tahun 2011 yang baru ditandatangani
pada 11 April 2011 dengan RAN-HAM 2011-2014.
3.
Dalam hal kelembagaan telah
dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dengan Keputusan Presiden Nomor 50
tahun 1993, serta pembentukan Komisi Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Demikian
juga didirikannya banyak lembaga khusus yang ditujukan untuk perlindungan hak
sipil dan politik seperti Komnas Anak, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban,
Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, Komisi Ombudsman, dan lain-lain.
4.
Pengesahan Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia, yang didukung Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM, serta masih banyak UU yang lain
yang belum tersebutkan menyangkut penegakan hak asasi manusia. Menjadi titik
berat dalam UU nomor 39 tahun 1999 adalah sebagai berikut:
1)
Hak untuk hidup.
2)
Hak berkeluarga.
3)
Hak memperoleh keadilan.
4)
Hak atas kebebasan pribadi.
5)
Hak kebebasan pribadi
6)
Hak atas rasa aman.
7)
Hak atas kesejahteraan.
8)
Hak turut serta dalam
pemerintahan.
9)
Hak wanita
10) Hak anak
Hal-hal tersebut sebagai bukti konkret bahwa Indonesia tidak
main-main dalam penegakan HAM sebagai bentuk pelaksanaan kewajiban dan tanggung
jawabnya untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak semua warga negaranya.
[1]
Hujjatul Islam Imam Al Ghazali menyatakan fitrah sebagai keistimewaan manusia,
meliputi; keimanan, kemampuan membedakan baik dan buruk, keingintahuan,
dorongan biologis, sifat manusiawi. Zainuddin., Seluk Beluk Pendidikan Dari
al Ghazali, (Jakarta: Bumi Akasara, 1991), hal. 66-67.
[2]
“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka
merubah keadaan mereka sendiri.” Al Qur’an, Surat Ar-Ra’du Ayat 11, Al
Qur’an dan Terjemahnya, Mujamma’ al Malik Fahd Li Thiba’atil Mushhaf asy
Syarif, 1421H, hal. 57.
[3]
LG. Saraswati, et.all, Hak Asasi Manusia:
Teori, Hukum, Kasus, (Jakarta: UI Press, 2006), hal. 7.
[4]
UU Nomor 39 Tahun 1999 Bab I tentang ketentuan umum pasal 1 (6) menyatakan
bahwa pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang
termasuk aparat negara baik disengaja atau tidak disengaja atau kelalaian yang
secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut HAM
seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh UU ini, dan tidak mendapatkan
atau dikhawatirkan tidak memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar,
berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
[5]
UU Nomor 39 Tahun 1999 Bab V tentang kewajiban dan tanggung jawab pemerintah,
pasal 71
[6]
Ki Bagus Hadikusumo, Islam sebagai Dasar
Negara dan Akhlak Pemimpin, (Yogjakarta: Pustaka Rahayu, 1954), hal. 15
[7]
LG. Saraswati, et.all, Hak Asasi Manusia:
Teori, Hukum, Kasus, hal. 43
[8]
Silalahi, Dasar-Dasar Indonesia Merdeka
versi Pendiri Negara, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), hal. 166
[9]
Muh. Khamdan, HAM Bagi Narapidana,
(Kudus: Parist, 2011), hal. 28-29
[10]
Muh. Khamdan, HAM Bagi Narapidana,
hal. 28-29
[11]
Menurut Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan
Indonesia Australia Legal Development Facility (IALDF). Sentot Setyasiswanto, Panduan Untuk Pekerja HAM: Pemantauan dan
Investigasi Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Konras-IALDF, 2009), hal. 34
[12]
Satyo Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi
Politik di Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2003)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar