Akar Budaya
Korupsi Di Indonesia
Praktik korupsi memang selamanya difungsikan sebagai alat mencapai bahkan
merebut kekayaan kekuasaan (politik) dan prestise sosial, dimana politik
kekuasaan yang berlangsung di Indonesia telah dibudayakan sebagai upaya
menghasilkan uang atau mengembalikan modal kekuasaan. [1]
Perkembangan praktik politik dan kekuasaan birokrasi Indonesia secara
umum mewarisi kultur dan mentalitas birokrasi Jawa tradisional. Mentalitas
tersebut identik dengan keserakahan mengumpulkan harta dan kekayaan oleh para
aristocrat Jawa masa lalu. Hal ini juga yang kerap menjadikan antara pewaris
kerajaan saling bertumpah darah mengincar kedudukan tertinggi kerajaan, atau
perang untuk saling menguasai kerajaan lainnya. Orientasi demikian sangat kita
fahami manakala melihat peninggalan-peninggalan kerajaan atau kerton Jawa pada
masa sekarang yang memiliki koleksi harta kekayaan terdiri dari emas perhiasan
dan pernak-pernik kekayaan lain.
Dalam sejarah Jawa, juga berkembang aturan adanya upeti yang diterapkan
oleh kerajan bagi seluruh rakyatnya yang menempati tanah-tanah dalam wilayah
kerajaan tertentu, karena rakyat hanya sekadar “numpang” tanah kerajaan. Upeti
itu dalam praktiknya akan ditarik oleh lurah secara langsung, untuk
selanjutnya disetorkan pada demang. Dari pihak demang, upeti diserahkan
kepada bupati yang akan diberikan pada raja atau penguasa kerajaan dalam
prosesi agung pisowanan.
Jalur pengumpulan upeti tersebut, tidak pernah berjalan secara normal
karena pihak kerajaan seringkali menaikkan kewajiban tarif pembayaran tanpa
memperhitungkan kemampuan rakyatnya. Guna menyenangkan hati pembesar kerajaan, demang
melalui lurah juga memaksa upeti yang melebihi kadar semestinya.
Ironisnya, praktik “sunatan” masal juga berlangsung dari tahap demi tahap yang
dilakukan oleh birokrasi struktural kerajaan. Tradisi menambah beban pungutan
liar dengan berbagai dalih itulah yang kemudian berkembang sebagai tradisi
masyarakat jawa, yang seolah-olah menjadi pungutan resmi. Maklum, masyarakat
pada masa lalu tidak menganggap praktik tersebut sebagai tindakan korupsi
karena masyarakat masih terhegemoni dengan pola pikir pengabdian kepada raja
sehingga mutlak dilakukan (sabdo pandito ratu) yang dilatarbelakangi
adanya kepercayaan sakralitas “wahyu kedaton”,[2]
praktis perjalanan pemerintahan kerajaan tidak memiliki kontrol sosial.
Tradisi menganggap sakral dan mistis seorang penguasa Jawa, pada akhirnya
masuk ke dalam budaya masyarakat Jawa. Di masyarakat pedesaan, masih
berlangsung tradisi “munjung” berasal dari kata Jawa “njunjung”
yang berarti mengangkat atau menghormati. Tradisi tersebut berupa pemberian
yang diberikan kepada orang yang dituakan atau disegani, yang pada akhirnya
dapat memperkuat jaringan modal sosial (social capital), semisal
kekerabatan, solidaritas, dan penghormatan. Relasi penghormatan setidaknya juga
terpengaruh falsafah hidup “kacang ora ninggal lanjaran” (kacang tidak
akan meninggalkan batang menjalarnya: Orang Jawa tidak akan lupa darimana
asalnya). Falsafah ini kemudian diinterpretasikan sebagai penghargaan kepada
orang yang memiliki status sosial “lebih” karena dianggap yang membawa
perbaikan dan memberi kelebihan pada masyarakat biasa.
Thomas Raffles menuliskan bahwa lenyapnya kekuasaan kompeni (VOC) yang
kemudian digantikan Gubernur Jendral Belanda pada abad 19, justru membawa
akibat fatal dalam meramaikan praktik korupsi. Pejabat pribumi yang biasanya
mendapatkan pembayaran tradisional rakyat, harus diganti dengan gaji dari
pemerintah (salary financing). Secara otomatis, pendapatan para pejabat
mengalami penurunan secara drastic. Pada akhirnya pejabat pribumi tersebut
harus bermuka dua, menyuap, dan mencari beragam cara di luar aturan agar bisa
menduduki jabatan yang menguntungkan. [3]
Hal serupa juga diceritakan oleh Nicolas Engelhard, Gubernur Hindia
Belanda pada wilayah Pantai Timur Jawa, pada 15 April 1805, tentang
kehidupannya yang kaya raya karena sogokan dari masyarakat pribumi yng
menginginkan jabatan. Komersialisasi jabatan telah merebak dengan keharusan
menyetor suap kepada pejabat Belanda, baik berupa harta atau jasa pengabdian
sebagai syarat fit and propher test. Tradisi ini yang di kemudian hari
melahirkan filosofi jawa “duwit iku kuwoso”, yaitu uang memiliki
supremasi tinggi dalam status dan jabatan seseorang.
Budaya suap menyuap atau peras memeras dari masa kerajaan sampai masa
kolonialisme, akhirnya berkembang dalam masa pasca-kemerdekaan, tepatnya saat
demokrasi dipegang dan dikuasai oleh presiden atau dikenal dengan demokrasi
terpimpin (1958-1065). Sedangkan di masa orde baru (1966-1997), korupsi semakin
kukuh dan lahir sebagai budaya “semu” birokrasi akibat sistem permerintahan
yang sentralistik sebagai “metamorfosis” dari demokrasi terpimpin sebelumnya.
Semakin berkembanglah tradisi sungkem kekuasaan, baik dengan dalih munjung
atau minta bimbingan. [4]
Reproduksi budaya munjung secara eksplisit memang sulit
dikategorikan sebagai tindakan korupsi, namun konotasi makna tradisi tersebut
sesungguhnya mengarah pada praktik suap. Oleh karena kekaburan makna itu,
kalangan oportunis dengan beragam kepentingan pragmatisnya memanfaatkan tradisi
munjung sebagai instrumen mendapatkan kepentingannya. Misalnya,
seseorang akan memberikan hadiah kepada atasan agar terjadi percepatan kenaikan
pangkat dan melancarkan diberikannya proyek. Realitas tersebut juga umumnya
dilakukan banyak pihak kepada para kiai karena akan memiliki legitimasi
kultural, yang nantinya dapat mempengaruhi nalar politik pengikutnya. Otoritas
kharisma kiai masih dipercaya mampu mempengaruhi persepsi, emosi, kognisi, dan
opini penganutnya.
Sesungguhnya, munculnya berbagai kasus suap dan korupsi merupakan gejala
atau elemen kebaruan (emergent properties) yang lahir dari struktur
sosial yang terbentuk dari pola interaksi di tengah masyarakat. Anehnya, selama
ini, reaksi kolektif masyarakat, lebih banyak ditujukan untuk menghilangkan
gejala tersebut, tanpa menyadari adanya struktur penyebab (root cause)
yang semestinya difahami terlebih dahulu. Jadi, budaya-budaya perusak tatanan
sosial semacam korupsi, bukan hanya karena lemahnya supremasi hukum, [5]
tetapi juga mentalitas bangsa sebagai software dalam konstruk sosial. Tradisi
Jawa telah mengajarkan bahwa keberhasilan harus disertai dengan banyaknya
materi, dan ini akan mempengaruhi tingkat kehormatan di tengah interaksi masyarakat.
Hal ini tentu menimpa para kiai yang sangat konsisten memegang tradisi.
Perselingkuhan
Agama dan Kiai Dalam Banalitas Korupsi
Kiai memiliki peran strategis dalam pemberdayaan keberagamaan masyarakat.
Sebagai seorang tokoh kharismatik, kiai memiliki peran baku sebagai seorang
guru dengan beragam khasanah dan spesifikasinya. Kiai dalam perjalanan sejarah
dan perkembangan masyarakat, selalu mengalami pergeseran peran, baik peran
tunggal (monomorphic) atau peran ganda (polymorphic), [6]
yang nantinya memiliki implikasi dalam produktivitas keberagamaan masyarakat
yang dipimpinnya.
Kiai dengan berbagai statusnya, baik sebagai guru, tabib, orang sakti,
mediator bagi masyarakat, sumber jawaban persoalan-persoalan hukum, dan
sebagainya adalah bukti betapa pentingnya kiai di dalam masyarakat. [7] Eksistensi
tersebut pada akhirnya menembus medan sosial yang beragam pula, seperti
keagamaan, pendidikan, kesehatan, budaya, ekonomi, sampai pada wilayah politik
kekuasaan. [8]
Dalam dimensi politik, kiai merupakan sosok yang fenomenal dan memiliki
respon yang tinggi terhadap kebutuhan masyarakat dan negara. Oleh karena itu,
setidaknya terdapat dua kecenderungan peran dan posisi kiai yang berafiliasi
dengan pemerintah dalam berbagai macam varian. Aksentausi kiai yang pertama
adalah memasuki wilayah-wilayah politik kekuasaan, sedangkan yang kedua lebih
memilih untuk memelihara umat secara tradisional dan konservatif. [9]
Abdurrahman Wahid menggambarkan dua varian itu dalam istilah yang
berbeda, yaitu kiai elite sepuh dan kiai kampung. [10]
Kiai sepuh yang diidentifikasi sebagai pengasuh pesantren-pesantren besar
seperti Lirboyo, Langitan, Tebuireng, dan sebagainya, dinyatakan sudah berubah
menjadi elite sosial dan masuk dalam kontestasi politik kekuasaan. Sedangkan
kiai kampung yang biasanya sowan ke kiai kalangan pertama, masih tetap
memilih berperan pada wilayah pinggiran dan menerobos wilayah-wilayah yang
jarang disentuh penguasa. Kiai tipe kedua ini lebih memahami kondisi dan
dinamika masyarakat karena secara intens hidup bersama masyarakatnya sendiri. [11]
Ketika kiai elite yang menjadi panutan bagi kiai kampung terlibat dalam politik
praktis dan terjerumus dalam perebutan jabatan dan kekuasaan, secara otomatis,
upaya praktik suap dan korupsi dengan beragam dalih, kian marak karena posisi
itu yang dianggap mampu menggiring massa pada pilihan politik tertentu.
Hal tersebut karena telah terbangun struktur
hubungan sosial antara elite santri atau kiai elite dengan anggota masyarakat
pengikutnya tumbuh dari proses hubungan emosi keagamaan dan pengalaman
keagamaan. Sifat hubungan yang demikian merupakan daya perekat dan pembentuk
solidaritas keagamaan sebagai infrastruktur tata kehidupan sosial umat. [12]
Berdasarkan pendekatan fungsional tersebut, dapat diduga bahwa pola perilaku
santri sangat tergantung dengan komando kiai elite.
Gambaran fenomena di atas, menunjukkan bahwa kiai memiliki pilihan sikap
yang beragam dalam merespon setiap perkembangan politik di sekitarnya, yaitu
perilaku pragmatis-oportunis dan perilaku politik idealis. Sikap pragmatis-oportunis berlangsung
manakala tidak berdaya mengendalikan syahwat terhadap uang dan kekuasaan. Besar
kemungkinan, pilihan politik itu dipengaruhi adanya nalar “wedi mlarat”
(takut miskin) yang berkaitan dengan ketimpangan aspek material, yang nantinya
menimbulkan beragam ketimpangan prosedural di tengah masyarakat. [13]
Korupsi yang terjadi dengan pilihan politik para kiai elite menjadikan
korupsi mengalami metamorfosis bentuk, bersimbolkan nuansa sosial keagamaan,
seperti infaq, shodaqoh, hibah, bisyaroh, hadiah, atau jariyah. Dapat
dibayangkan, praktik korupsi atau suap, terbingkai sangat rapi, dan tertutup rapat
untuk menjadi pengetahuan umum di kalangan masyarakat awam. Maklum, semua
bantuan selalu menggunakan sampul istilah keagamaan.
Maraknya penguasa atau birokrasi yang korup dan termasuk calon pejabat
dan calon koruptor membagi-bagikan hadiah, bantuan, dan sejenisnya ke kalangan
kiai (agamawan) merupakan rahasia publik, yang telah memiliki legitimasi di
masyarakat. Setidaknya, dengan mendekatkan diri kepada kiai dan legitimator
moral lainnya, para pejabat korup tersebut mencoba untuk menemukan perlindungan
secara sosial di bawah pengaruh kiai. Manakala bantuan berlangsung secara
kontinyu dan rutin, niscaya para kiai sudah tidak mampu lagi berfikir sekaligus
bersikap obyektif secara kritis dalam mengontrol jalannya sistem kekuasaan yang
korup. Hal ini disebabkan kiai telah masuk dalam bagian integral kekuasaan itu
sendiri. Karena itu, bantuan “politis” tersebut dapat dimasukkan sebagai bagian
dari suap, karena memperhatikan efeknya yang merusak (mafsadat)
idealisme pembelaan terhadap kepentingan umum.
Tentu praktik yang disamarkan
statusnya tersebut, dapat diberikan justifikasi hukum sebagai sebuah praktik
penyuapan yang menjadi bagian tindak korupsi. Hal demikian tentu harus dengan
proses interpretasi berupa pemahaman secara mendalam terhadap kepentingan di
balik pemberian politik itu. Dalam kaidah ushul fiqih terdapat konsepsi al
hukmu yaduru ma’a ilatihi wujudan au ‘adaman. Dari konsep ini, masyarakat
dapat melihat dari illat (alasan) bantuan diberikan kepada kiai. Jika
benar-benar memiliki tendensi kepentingan politik atau apapun, tentu dapat dikategorikan
sebagai suap dan sebaliknya disebut hibah.
Menguak permainan penyamaran simbol agama dalam praktik pemberian sesuatu
dari pejabat, merupakan langkah yang sangat sulit. Banyak variable
subyektifikasi rasio, ambiguitas hukum, serta kontradiksi dalil-dalil fiqih
atau langkah kerja tafsir dalam menjelaskan doktrin keagamaan. Imbasnya,
masing-masing pihak terutama kiai yang memiliki otoritas pemahaman lebih
terhadap doktrin, memiliki kelihaian memperkuat pendapatnya dan melegitimasi
perilakunya berdasarkan sumber hukum keagamaan. Inilah langkah awal terjadinya “perselingkuhan”
doktrin agama dan agamawan, yaitu mengemas perilaku politik kekuasaan yang
menyimpang dengan melegitimasi berdasarkan sumber hukum agama.
Pola distribusi bantuan dari pejabat atau politisi yang korup, seringkali
menggunakan dalih “tolong menolong” yang memiliki dasar doktrin keagamaan.
Setidaknya modus operandi tersebut berlabel bisyaroh simpatik, jariyah
pembangunan, pesanan dalil politik, sampai istilah korupsi kemaslahatan umat. [14]
Langkah pilihan politik yang diambil para agamawan dan para pejabat, pada
akhirnya melupakan lima komponen penyokong berdirinya struktur sosial yang
kokoh. Imam An Naisabury dalam kitab Ath-thobary sebagaimana dikutip KH.
Fachrudin Masturo, mengatakan bahwa “al dunya bustanun tazayyanat bikhomsati
asy-ya’. Bil ilmi al-ulama’, wa adlil umara’, wa amanatut tujjar, wanasihatil
muhtarifin, wa taqwa al-ibad”, [15]
(dunia bagai kebun yang indah dengan dukungan lima komponen, yaitu ilmu para
ulama, keadilan pemerintahan, kejujuran para ekonom, kreatifitas birokrasi, dan
ketaqwaan masyarakat).
Melihat realitas yang terjadi di Indonesia selama ini, kepilaran ulama
telah dikebiri para penguasa, dan ilmu ulama sudah sangat sulit dicari, karena
padatnya mobilitas kiai sehinga tidak bisa ditemui untuk minta saran dan
jawaban dari berbagai permasalahan kehidupan masyarakatnya. Begitu juga
keadilan pemerintahan, sama sekali hampir hilang di negeri yang mempercayai dan
mengagungkan jiwa ketuhanan dalam pondasi kebangsaan. Hal ini terbukti dengan
banyaknya aparat penegak hukum sendiri yang justru terlibat dalam praktik korupsi
itu. Masih segar dalam ingatan, kasus suap yang dilakukan oleh beberapa pejabat
negara (terkait dalam penegakan hukum) di lingkungan Mahkamah Agung, praktik
suap di kepolisian, bagian imigrasi, DPR, dan sebagainya. [16] Karena
itulah, kedua penopang utama tersebut harus dikembalikan sesuai jalur yang
benar agar bangsa Indonesia tidak semakin terpuruk dalam jurang keruntuhan.
Perhatian lebih kepada ilmu ulama dan keadilan pemerintahan, bukan menegasikan
adanya komponen lain, tetapi dengan terbentunya hubungan yang baik antara ulama
dan umara sesuai aturan yang semestinya, komponen-komponen lain akan
terpengaruh positif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar