Minggu, 29 Januari 2012

Bangsa Dalam Supermarket Korupsi


Akar Budaya Korupsi Di Indonesia
Praktik korupsi memang selamanya difungsikan sebagai alat mencapai bahkan merebut kekayaan kekuasaan (politik) dan prestise sosial, dimana politik kekuasaan yang berlangsung di Indonesia telah dibudayakan sebagai upaya menghasilkan uang atau mengembalikan modal kekuasaan. [1]
Perkembangan praktik politik dan kekuasaan birokrasi Indonesia secara umum mewarisi kultur dan mentalitas birokrasi Jawa tradisional. Mentalitas tersebut identik dengan keserakahan mengumpulkan harta dan kekayaan oleh para aristocrat Jawa masa lalu. Hal ini juga yang kerap menjadikan antara pewaris kerajaan saling bertumpah darah mengincar kedudukan tertinggi kerajaan, atau perang untuk saling menguasai kerajaan lainnya. Orientasi demikian sangat kita fahami manakala melihat peninggalan-peninggalan kerajaan atau kerton Jawa pada masa sekarang yang memiliki koleksi harta kekayaan terdiri dari emas perhiasan dan pernak-pernik  kekayaan lain.
Dalam sejarah Jawa, juga berkembang aturan adanya upeti yang diterapkan oleh kerajan bagi seluruh rakyatnya yang menempati tanah-tanah dalam wilayah kerajaan tertentu, karena rakyat hanya sekadar “numpang” tanah kerajaan. Upeti itu dalam praktiknya akan ditarik oleh lurah secara langsung, untuk selanjutnya disetorkan pada demang. Dari pihak demang, upeti diserahkan kepada bupati yang akan diberikan pada raja atau penguasa kerajaan dalam prosesi agung pisowanan.
Jalur pengumpulan upeti tersebut, tidak pernah berjalan secara normal karena pihak kerajaan seringkali menaikkan kewajiban tarif pembayaran tanpa memperhitungkan kemampuan rakyatnya. Guna menyenangkan hati pembesar kerajaan, demang melalui lurah juga memaksa upeti yang melebihi kadar semestinya. Ironisnya, praktik “sunatan” masal juga berlangsung dari tahap demi tahap yang dilakukan oleh birokrasi struktural kerajaan. Tradisi menambah beban pungutan liar dengan berbagai dalih itulah yang kemudian berkembang sebagai tradisi masyarakat jawa, yang seolah-olah menjadi pungutan resmi. Maklum, masyarakat pada masa lalu tidak menganggap praktik tersebut sebagai tindakan korupsi karena masyarakat masih terhegemoni dengan pola pikir pengabdian kepada raja sehingga mutlak dilakukan (sabdo pandito ratu) yang dilatarbelakangi adanya kepercayaan sakralitas “wahyu kedaton”,[2] praktis perjalanan pemerintahan kerajaan tidak memiliki kontrol sosial.
Tradisi menganggap sakral dan mistis seorang penguasa Jawa, pada akhirnya masuk ke dalam budaya masyarakat Jawa. Di masyarakat pedesaan, masih berlangsung tradisi “munjung” berasal dari kata Jawa “njunjung” yang berarti mengangkat atau menghormati. Tradisi tersebut berupa pemberian yang diberikan kepada orang yang dituakan atau disegani, yang pada akhirnya dapat memperkuat jaringan modal sosial (social capital), semisal kekerabatan, solidaritas, dan penghormatan. Relasi penghormatan setidaknya juga terpengaruh falsafah hidup “kacang ora ninggal lanjaran” (kacang tidak akan meninggalkan batang menjalarnya: Orang Jawa tidak akan lupa darimana asalnya). Falsafah ini kemudian diinterpretasikan sebagai penghargaan kepada orang yang memiliki status sosial “lebih” karena dianggap yang membawa perbaikan dan memberi kelebihan pada masyarakat biasa.
Thomas Raffles menuliskan bahwa lenyapnya kekuasaan kompeni (VOC) yang kemudian digantikan Gubernur Jendral Belanda pada abad 19, justru membawa akibat fatal dalam meramaikan praktik korupsi. Pejabat pribumi yang biasanya mendapatkan pembayaran tradisional rakyat, harus diganti dengan gaji dari pemerintah (salary financing). Secara otomatis, pendapatan para pejabat mengalami penurunan secara drastic. Pada akhirnya pejabat pribumi tersebut harus bermuka dua, menyuap, dan mencari beragam cara di luar aturan agar bisa menduduki jabatan yang menguntungkan. [3]  
Hal serupa juga diceritakan oleh Nicolas Engelhard, Gubernur Hindia Belanda pada wilayah Pantai Timur Jawa, pada 15 April 1805, tentang kehidupannya yang kaya raya karena sogokan dari masyarakat pribumi yng menginginkan jabatan. Komersialisasi jabatan telah merebak dengan keharusan menyetor suap kepada pejabat Belanda, baik berupa harta atau jasa pengabdian sebagai syarat fit and propher test. Tradisi ini yang di kemudian hari melahirkan filosofi jawa “duwit iku kuwoso”, yaitu uang memiliki supremasi tinggi dalam status dan jabatan seseorang.
Budaya suap menyuap atau peras memeras dari masa kerajaan sampai masa kolonialisme, akhirnya berkembang dalam masa pasca-kemerdekaan, tepatnya saat demokrasi dipegang dan dikuasai oleh presiden atau dikenal dengan demokrasi terpimpin (1958-1065). Sedangkan di masa orde baru (1966-1997), korupsi semakin kukuh dan lahir sebagai budaya “semu” birokrasi akibat sistem permerintahan yang sentralistik sebagai “metamorfosis” dari demokrasi terpimpin sebelumnya. Semakin berkembanglah tradisi sungkem kekuasaan, baik dengan dalih munjung atau minta bimbingan. [4]
Reproduksi budaya munjung secara eksplisit memang sulit dikategorikan sebagai tindakan korupsi, namun konotasi makna tradisi tersebut sesungguhnya mengarah pada praktik suap. Oleh karena kekaburan makna itu, kalangan oportunis dengan beragam kepentingan pragmatisnya memanfaatkan tradisi munjung sebagai instrumen mendapatkan kepentingannya. Misalnya, seseorang akan memberikan hadiah kepada atasan agar terjadi percepatan kenaikan pangkat dan melancarkan diberikannya proyek. Realitas tersebut juga umumnya dilakukan banyak pihak kepada para kiai karena akan memiliki legitimasi kultural, yang nantinya dapat mempengaruhi nalar politik pengikutnya. Otoritas kharisma kiai masih dipercaya mampu mempengaruhi persepsi, emosi, kognisi, dan opini penganutnya.
Sesungguhnya, munculnya berbagai kasus suap dan korupsi merupakan gejala atau elemen kebaruan (emergent properties) yang lahir dari struktur sosial yang terbentuk dari pola interaksi di tengah masyarakat. Anehnya, selama ini, reaksi kolektif masyarakat, lebih banyak ditujukan untuk menghilangkan gejala tersebut, tanpa menyadari adanya struktur penyebab (root cause) yang semestinya difahami terlebih dahulu. Jadi, budaya-budaya perusak tatanan sosial semacam korupsi, bukan hanya karena lemahnya supremasi hukum, [5] tetapi juga mentalitas bangsa sebagai software dalam konstruk sosial. Tradisi Jawa telah mengajarkan bahwa keberhasilan harus disertai dengan banyaknya materi, dan ini akan mempengaruhi tingkat kehormatan di tengah interaksi masyarakat. Hal ini tentu menimpa para kiai yang sangat konsisten memegang tradisi.    

Perselingkuhan Agama dan Kiai Dalam Banalitas Korupsi
Kiai memiliki peran strategis dalam pemberdayaan keberagamaan masyarakat. Sebagai seorang tokoh kharismatik, kiai memiliki peran baku sebagai seorang guru dengan beragam khasanah dan spesifikasinya. Kiai dalam perjalanan sejarah dan perkembangan masyarakat, selalu mengalami pergeseran peran, baik peran tunggal (monomorphic) atau peran ganda (polymorphic), [6] yang nantinya memiliki implikasi dalam produktivitas keberagamaan masyarakat yang dipimpinnya.
Kiai dengan berbagai statusnya, baik sebagai guru, tabib, orang sakti, mediator bagi masyarakat, sumber jawaban persoalan-persoalan hukum, dan sebagainya adalah bukti betapa pentingnya kiai di dalam masyarakat. [7] Eksistensi tersebut pada akhirnya menembus medan sosial yang beragam pula, seperti keagamaan, pendidikan, kesehatan, budaya, ekonomi, sampai pada wilayah politik kekuasaan. [8]
Dalam dimensi politik, kiai merupakan sosok yang fenomenal dan memiliki respon yang tinggi terhadap kebutuhan masyarakat dan negara. Oleh karena itu, setidaknya terdapat dua kecenderungan peran dan posisi kiai yang berafiliasi dengan pemerintah dalam berbagai macam varian. Aksentausi kiai yang pertama adalah memasuki wilayah-wilayah politik kekuasaan, sedangkan yang kedua lebih memilih untuk memelihara umat secara tradisional dan konservatif. [9]
Abdurrahman Wahid menggambarkan dua varian itu dalam istilah yang berbeda, yaitu kiai elite sepuh dan kiai kampung. [10] Kiai sepuh yang diidentifikasi sebagai pengasuh pesantren-pesantren besar seperti Lirboyo, Langitan, Tebuireng, dan sebagainya, dinyatakan sudah berubah menjadi elite sosial dan masuk dalam kontestasi politik kekuasaan. Sedangkan kiai kampung yang biasanya sowan ke kiai kalangan pertama, masih tetap memilih berperan pada wilayah pinggiran dan menerobos wilayah-wilayah yang jarang disentuh penguasa. Kiai tipe kedua ini lebih memahami kondisi dan dinamika masyarakat karena secara intens hidup bersama masyarakatnya sendiri. [11] Ketika kiai elite yang menjadi panutan bagi kiai kampung terlibat dalam politik praktis dan terjerumus dalam perebutan jabatan dan kekuasaan, secara otomatis, upaya praktik suap dan korupsi dengan beragam dalih, kian marak karena posisi itu yang dianggap mampu menggiring massa pada pilihan politik tertentu.
   Hal tersebut karena telah terbangun struktur hubungan sosial antara elite santri atau kiai elite dengan anggota masyarakat pengikutnya tumbuh dari proses hubungan emosi keagamaan dan pengalaman keagamaan. Sifat hubungan yang demikian merupakan daya perekat dan pembentuk solidaritas keagamaan sebagai infrastruktur tata kehidupan sosial umat. [12] Berdasarkan pendekatan fungsional tersebut, dapat diduga bahwa pola perilaku santri sangat tergantung dengan komando kiai elite.
Gambaran fenomena di atas, menunjukkan bahwa kiai memiliki pilihan sikap yang beragam dalam merespon setiap perkembangan politik di sekitarnya, yaitu perilaku pragmatis-oportunis dan perilaku politik idealis. Sikap pragmatis-oportunis berlangsung manakala tidak berdaya mengendalikan syahwat terhadap uang dan kekuasaan. Besar kemungkinan, pilihan politik itu dipengaruhi adanya nalar “wedi mlarat” (takut miskin) yang berkaitan dengan ketimpangan aspek material, yang nantinya menimbulkan beragam ketimpangan prosedural di tengah masyarakat. [13]
Korupsi yang terjadi dengan pilihan politik para kiai elite menjadikan korupsi mengalami metamorfosis bentuk, bersimbolkan nuansa sosial keagamaan, seperti infaq, shodaqoh, hibah, bisyaroh, hadiah, atau jariyah. Dapat dibayangkan, praktik korupsi atau suap, terbingkai sangat rapi, dan tertutup rapat untuk menjadi pengetahuan umum di kalangan masyarakat awam. Maklum, semua bantuan selalu menggunakan sampul istilah keagamaan.
Maraknya penguasa atau birokrasi yang korup dan termasuk calon pejabat dan calon koruptor membagi-bagikan hadiah, bantuan, dan sejenisnya ke kalangan kiai (agamawan) merupakan rahasia publik, yang telah memiliki legitimasi di masyarakat. Setidaknya, dengan mendekatkan diri kepada kiai dan legitimator moral lainnya, para pejabat korup tersebut mencoba untuk menemukan perlindungan secara sosial di bawah pengaruh kiai. Manakala bantuan berlangsung secara kontinyu dan rutin, niscaya para kiai sudah tidak mampu lagi berfikir sekaligus bersikap obyektif secara kritis dalam mengontrol jalannya sistem kekuasaan yang korup. Hal ini disebabkan kiai telah masuk dalam bagian integral kekuasaan itu sendiri. Karena itu, bantuan “politis” tersebut dapat dimasukkan sebagai bagian dari suap, karena memperhatikan efeknya yang merusak (mafsadat) idealisme pembelaan terhadap kepentingan umum.
 Tentu praktik yang disamarkan statusnya tersebut, dapat diberikan justifikasi hukum sebagai sebuah praktik penyuapan yang menjadi bagian tindak korupsi. Hal demikian tentu harus dengan proses interpretasi berupa pemahaman secara mendalam terhadap kepentingan di balik pemberian politik itu. Dalam kaidah ushul fiqih terdapat konsepsi al hukmu yaduru ma’a ilatihi wujudan au ‘adaman. Dari konsep ini, masyarakat dapat melihat dari illat (alasan) bantuan diberikan kepada kiai. Jika benar-benar memiliki tendensi kepentingan politik atau apapun, tentu dapat dikategorikan sebagai suap dan sebaliknya disebut hibah.
Menguak permainan penyamaran simbol agama dalam praktik pemberian sesuatu dari pejabat, merupakan langkah yang sangat sulit. Banyak variable subyektifikasi rasio, ambiguitas hukum, serta kontradiksi dalil-dalil fiqih atau langkah kerja tafsir dalam menjelaskan doktrin keagamaan. Imbasnya, masing-masing pihak terutama kiai yang memiliki otoritas pemahaman lebih terhadap doktrin, memiliki kelihaian memperkuat pendapatnya dan melegitimasi perilakunya berdasarkan sumber hukum keagamaan. Inilah langkah awal terjadinya “perselingkuhan” doktrin agama dan agamawan, yaitu mengemas perilaku politik kekuasaan yang menyimpang dengan melegitimasi berdasarkan sumber hukum agama.
Pola distribusi bantuan dari pejabat atau politisi yang korup, seringkali menggunakan dalih “tolong menolong” yang memiliki dasar doktrin keagamaan. Setidaknya modus operandi tersebut berlabel bisyaroh simpatik, jariyah pembangunan, pesanan dalil politik, sampai istilah korupsi kemaslahatan umat. [14]
Langkah pilihan politik yang diambil para agamawan dan para pejabat, pada akhirnya melupakan lima komponen penyokong berdirinya struktur sosial yang kokoh. Imam An Naisabury dalam kitab Ath-thobary sebagaimana dikutip KH. Fachrudin Masturo, mengatakan bahwa “al dunya bustanun tazayyanat bikhomsati asy-ya’. Bil ilmi al-ulama’, wa adlil umara’, wa amanatut tujjar, wanasihatil muhtarifin, wa taqwa al-ibad”, [15] (dunia bagai kebun yang indah dengan dukungan lima komponen, yaitu ilmu para ulama, keadilan pemerintahan, kejujuran para ekonom, kreatifitas birokrasi, dan ketaqwaan masyarakat).
Melihat realitas yang terjadi di Indonesia selama ini, kepilaran ulama telah dikebiri para penguasa, dan ilmu ulama sudah sangat sulit dicari, karena padatnya mobilitas kiai sehinga tidak bisa ditemui untuk minta saran dan jawaban dari berbagai permasalahan kehidupan masyarakatnya. Begitu juga keadilan pemerintahan, sama sekali hampir hilang di negeri yang mempercayai dan mengagungkan jiwa ketuhanan dalam pondasi kebangsaan. Hal ini terbukti dengan banyaknya aparat penegak hukum sendiri yang justru terlibat dalam praktik korupsi itu. Masih segar dalam ingatan, kasus suap yang dilakukan oleh beberapa pejabat negara (terkait dalam penegakan hukum) di lingkungan Mahkamah Agung, praktik suap di kepolisian, bagian imigrasi, DPR, dan sebagainya. [16] Karena itulah, kedua penopang utama tersebut harus dikembalikan sesuai jalur yang benar agar bangsa Indonesia tidak semakin terpuruk dalam jurang keruntuhan. Perhatian lebih kepada ilmu ulama dan keadilan pemerintahan, bukan menegasikan adanya komponen lain, tetapi dengan terbentunya hubungan yang baik antara ulama dan umara sesuai aturan yang semestinya, komponen-komponen lain akan terpengaruh positif.


[1] Hermawan Sulistyo & A. Kadar, Uang Dan Kekuasaan Dalam Pemilu 1999, Jakarta, 2000.  Clifford Geertz menturkan bahwa dasar budaya administrasi masyarakat Jawa telah terbangun atas dasar perhatin berlebih pada kedudukan, prestise, dan budaya hedonis keduniaan “wes dadi wong” yang selalu harus ditandai banyaknya kekuasaan. Clifford Geertz, The Sosial History of an Indonesian Town, MIT Press, Cambridge, 1965, hal. 79
[2] Raja dalam tradisi Jawa dianggap bukan sekadar penguasa politik dan pemerintahan, tetapi juga diyakini sebagai penerima wahyu dari Tuhan untuk memimpin umat (khalifah fil ardli). Wahyu dalam konsep Jawa adalah takdir berkuasa, yang biasanya disertai dengan kesaktian. Lihat M. Muhsin Jamil, MA. Tarekat dan Dinamika Sosial Politik: Tafsir Sosial Sufi Nusantara, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hal. 9.
[3] David J. Steinberrg, In Search of Southeast Asia: a Modern History, Preager, New York, 1970, hal. 147, sebagaimana dikutip dalam Mortar Lubis dan James Schott, Korupsi Politik, Yyasan Obor Indonesia, Jakarta, hal. 53
[4] Paling tidak, pernyataan mohon petunjuk dan pengarahan ke atasan pada masa Orde Baru sering diungkapkan oleh Menteri Penerangan, yang mengisyaratkan adanya kekuatan sentral yang membelenggu. Rhenald Kasali, “Birokrasi, Reformasi, atau Recode”, dalam Kompas, 2 Maret 2007
[5] Rumusan ide dan aturan pemberantasan korupsi di Indonesia, seperti Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/06/1957 tentang korupsi dalam sistem masyarakat perang , pada 9 Juni 1960 diganti dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 24 tahun 1960 tentang pengusutanm penuntutatn, dan pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Karena kurang efektif, dibuatlah UU No. 3 Tahun 1971. Pada era reformasi (1998), terbit UU No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang pada akhirnya juga disusul adanya UU No. 20 tahun 2001. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia tidak kekurangan aturan dalam upaya memberantas korupsi.
[6] Dua istilah ini seringkali dielaborasi oleh beberapa ahli ilmu sosial. Secara implementatif, dua istilah tersebut diuraikan Ishomuddin sebagai rincian (role set) peran dan fungsi manusia yang selalu ganda dalam kehidupan. Untuk itu, dua istilah ini dapat digunakan untuk mengetahui motivasi yang mempengaruhi kiai memilih peran tertentu dan bertahan dalam peran tertentu juga. Lihat Ishomuddin, Pengantar Sosiologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000.
[7] Clifford Geertz, Tafsir Kebudayaan, Kanisius, Yogyakarta, 1992, hal. 29
[8] Secara rinci diuraikan dalam Pradjarta Dirdjosanjoto, Memelihara Umat: Kiai Pesantren-Kiai Langgar di Jawa, LKiS, Yogyakarta, 1999, hal. 187-208.
[9] Ibid, hal. 115
[10] Abdurrahman Wahid, “Hakekat Kiai Kampung”, dalam [http://www.Gusdur.net]
[11] Muhyidin Arubusman, “Menilai Kembali Ulama Rakyat, Politik Kebangsaan Kiai Kampung”, Jawa Pos, 17 Februari 2007.
[12] Abdul Munir Mulkhan, Runtuhnya Mitos Politik Santri, Strategi Kebudayaan Dalam Dakwah Islam, Sipress, Yogyakarta, 1999, hal. 48
[13] Menurut KH. A. Mustofa Bisri, pengasuh Pesantren Raudhatut Thalibin Rembang Jawa Tengah, menerangkan bahwa cinta dunia adalah pangkal segala malapetaka. Hal ini dengan menghadirkan sejarah kebangsaan Indonesia, dari zaman Bung Karno panglima politiknya, zaman Pak Harto panglimanya politik ekonomi, dan konflik-konflik dalam masyarakat tentu sumber akhirnya adalah kepentingan yang berlebihpada dunia. Dunia sudah menjadi tujuan yang disampuli dengan simbolisasi keberagamaan. KH. A. Mustofa Bisri, Hubb Al Dunya Adalah Akar Korupsi, dalam A.S.Burhan (Ed), Kumpulan Naskah-Teks Khutbah, Menolak Korupsi Membangun Kesalehan Sosial, P3M dan partnership, Jakarta, 2004, hal. 20-21 
[14] Modus operandi tersebut tipis perbedaannya dengan infaq, yaitu pemberian uang yang tidak mengikat. Shodaqoh, pemberian barang dengan mengharap tukarannya. Hibah, pemberian yang tidak membutuhkan tukaran dan tidak ada sebabnya. Bisyaroh, pemberian setelah mengisi kegiatan. Hadiah, pemberian tidak ada tukarannya sekaligus untuk memuliakan. Lihat Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, Sinar Baru Algesindo, Bandung, 1984, hal. 326
[15] KH. Fachrudin Masturo, “Ilmu Ulama dan Pemerintah yang Adil Sebagai Komponen Pendukung Pembangunan Bangsa”, dalam AS. Burhan (Ed), Korupsi di Negeri Kaum Beragama, Ikhtiar Membangun Fiqih Anti Korupsi, P3M dan Partnership, Jakarta, 2004, hal. 127.
[16] Hal ini sebagaimana hasil laporan survey Transparansi International Indonesia (TII) tahun 2007 tentang lembaga-lembaga negara terkorup di Indonesia. Dalam laporannya, Polri dan DPR menempati peringkat atas, baru disusul oleh peradilan, dan instansi-instansi lainnya. Tajuk Rencana Suara Merdeka, “Peringkat Korupsi yang Bikin Risih”, dalam Suara Merdeka, 8 Januari 2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar